METROMINI, angkutan massal yang populer di Jakarta, tiba-tiba menampakkan wajah menyeramkan. Maut terlalu akrab dengan kendaraan rakyat yang berwarna oranye ini. Tak lebih dari dua pekan, sejak awal Maret hingga usai Lebaran ini, jiwa-jiwa melayang dilibas sang metro. Yang paling tragis adalah peristiwa maut yang terjadi 6 Maret lalu. Sebuah metromini yang melayani trayek Semper (Jakarta Utara) -- Senen (Jakarta Pusat) "terjun bebas" di Kali Sunter, Jakarta Utara. Di dalamnya terdapat 45 orang penumpang yang berjejal. Akibatnya, 32 penumpang tewas, terbenam di kali yang airnya menghitam itu. Yang menderita luka berat ada 11 orang. Sopirnya selamat dan lari. Seminggu berikutnya, sebuah metromini "gila" yang memotong jalan arteri Kebayoran Lama "memakan" tewas pengendara sepeda motor. Karena si sopir melarikan diri -- belakangan tertangkap -- metromini itu menjadi sasaran amukan massa. Kemudian, dua hari menjelang Lebaran, metromini yang disewa untuk mengangkut pemudik bertabrakan dengan Suzuki Carry di Pamanukan, Jawa Barat. Enam penumpang Carry meninggal. Lagi-lagi si sopir melarikan diri. Lalu, di hari Lebaran, sepasang suami- istri tewas tersambar metromini yang ngebut di bilangan Grogol, Jakarta Barat. Begitu mudahnya metromini menebar maut, dan begitu ringannya sang sopir melepas tanggung jawab dengan melarikan diri. Ini membuka lembaran sejarah baru. Yakni munculnya seorang pengusaha elektronik di Jakarta, Soegiono, menawarkan hadiah Rp 25 juta bagi siapa saja yang berhasil menangkap dan menyerahkan Ramses Silitonga, sopir metromini yang "terjun bebas" itu. Iming-iming hadiah itu, kabarnya, mendorong para detektif amatir dan para penganggur, juga sejumlah pensiunan ABRI, ikut bergerak mencari jejak si Ramses. Profesi pemburu hadiah (bounty hunter), yang sudah lama dikenal di Amerika, tiba-tiba hadir di tengah masyarakat kita. Bagaimana aturan main para detektif swasta itu? Beberapa kalangan melihat dari sisi lain: pemberian hadiah oleh swasta itu melecehkan kemampuan aparat kepolisian. Di luar dugaan, ternyata polisi tak tersinggung. Menurut Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya Letnan Kolonel (Pol.) A. Latief Rabar, apa yang dijanjikan pengusaha itu justru merupakan bagian positif dari peran serta masyarakat menjaga keamanan dan ketertiban lingkungan. Akibat yang lain, masyarakat mudah main hakim sendiri dalam kasus yang melibatkan metromini. Jumat pekan lalu, di Jagakarsa, Jakarta Selatan, massa merusakkan lima metromini, salah satunya dibakar. Gara-garanya, ditemukan mayat warga setempat di pool metromini di kawasan itu. Padahal belum tentu ada kaitan antara mayat tersebut dan metromini. Ini semua memancing diskusi yang menyangkut perangkat hukum. Sebagian kalangan menilai, rendahnya ancaman hukuman pidana penjara menjadi salah satu penyebab mengapa sopir angkutan umum sering berlaku ugal-ugalan di jalan. Dan di sisi lain, masyarakat lalu main hakim sendiri terhadap awak metromini. Ahli hukum pidana dari Universitas Diponegoro, Prof. Muladi, secara terang-terangan menyebutkan, merosotnya disiplin para sopir angkutan umum tidak terlepas dari adanya kemudahan- kemudahan ilegal yang didapatnya dari petugas. Misalnya, adanya praktek suap dalam memperoleh surat izin mengemudi (SIM), atau praktek damai dengan petugas jika terjadi pelanggaran. "Rendahnya hukuman yang dijatuhkan pada sopir sembrono juga ikut mempengaruhi situasi ini," kata Muladi. Apakah perangkat hukum Indonesia terlalu lunak untuk sopir ugal-ugalan itu? Menurut Muladi, pengemudi lalai yang menyebabkan kematian atau luka berat orang lain, selama ini, selalu dikenai Pasal 359 dan 360 KUHP. Ancaman pidana maksimal dalam pasal itu adalah hukuman lima tahun penjara. Menurut Muladi, penerapan pasal itu masih relevan. "Asalkan digunakan secara optimal oleh hakim, sebenarnya pasal itu bisa juga untuk mendorong penciptaan disiplin lalu lintas." Hanya saja dalam prakteknya, menurut Muladi, tindak kejahatan itu sering diselesaikan secara tidak proporsional. "Hukuman yang dijatuhkan berkisar setahun penjara, malah tidak sedikit pelanggaran itu diselesaikan secara damai di luar pengadilan," katanya. Dampak praktek semacam itu, merosotnya wibawa hukum. Sekjen Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Djohan Djauhari malah mengimbau kepada para perancang KUHP yang baru agar memikirkan kembali ancaman hukuman yang terdapat dalam Pasal 359 dan 360 KUHP tadi. Sebab dalam pasal itu tak dibedakan hukuman antara sopir yang mengakibatkan puluhan jiwa melayang dan sopir yang menyebabkan satu orang meninggal. Ia membandingkannya dengan Pasal 338 KUHP (pembunuhan), yang ancaman hukuman maksimalnya bisa 15 tahun penjara. "Apakah ancaman hukuman pasal kealpaan itu tak terlampau ringan?" tanya Djohan. Djohan berpendapat, sebaiknya para hakim yang mengadili kasus sejenis tragedi metromini maut Sunter yang merenggut banyak korban itu menerapkan hukuman maksimal. "Bila perlu, dicarikan pasal pemberat lainnya," ujar Djohan. Yang lebih penting lagi, menurut Djohan, "Para ahli waris korban bisa menuntut ganti rugi secara perdata kepada si sopir." Atau mungkin juga menuntut ganti rugi kepada perusahaan metromini.Aries Margono, Nunik Iswardhani, dan Bandelan Amarudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini