KETIKA malam naik dan suara takbir melangkahkan kaki gaibnya dari pulau ke pulau, dari negeri ke negeri, Kiai Sudrun muncul di tempat persemayaman terakhirnya, di sebuah kampung di Kota Bangil, Jawa Timur. Saya sedang khusyuk menikmati pawai takbir dan oncor. Musik ubudiah cinta Bimbo dengan puluhan wanita penyanyi yang cantik manis shalihah sampai di puncak isyik-nya. Tuhan dipestakan besar-besaran di Jakarta dan Surabaya. Beribu gendang dan terbang, beribu gerak dan keindahan. Tiba-tiba Kiai Sudrun meraih tengkuk saya, mencampakkan badan saya ke sisinya, lalu menangis bagaikan anak-anak yang mainan plembungan-nya meletus. Saya tahu ia menunggu pertanyaan saya: "Kenapa Kiai menangis malam-malam begini?" Tapi saya tak bertanya. Ia, kemudian, menjawab pertanyaan yang dibayangkannya sendiri: "Karena Kekasihku tak mungkin menangis, akulah yang menangis." Lo, apakah Tuhan merasa terharu mendengarkan hamba-hambanya di seantero bumi mengagung-agungkan nama-Nya? "Goblok! Aku baru datang berkeliling. Jakarta. Surabaya. Studio televisi. Panggung-panggung. Aku menyangka Kekasihku adalah Mahalakon Utama di tempat-tempat itu. Semula aku memang menemukan-Nya di sana, tapi tiba-tiba kehilangan, entah ke mana pergi-Nya," begitulah awal ceramah panjang Kiai Sudrun. "Kucari-cari sampai hampir pingsan dan putus asa. Ternyata Ia bersembunyi di belakang punggung setiap orang. Ia tersenyum dan berkata, Kekasihmu tidak bersembunyi. Hamba-hamba-Ku yang amat Kucintai itu tak sadar telah menyembunyikan-Ku di balik punggung mereka masing-masing. Kekasihmu menjadi Pihak Ketiga. Menjadi Dia. Bukan Engkau di hadapan aku manusia. Kekasihmu menyangka mereka sedang memuji-muji kebesaran-Ku, tapi akhirnya Kekasihmu merasakan bahwa mereka sangat sibuk dengan keindahan suara mereka sendiri, mereka sangat asyik dengan kesenian Lebaran mereka sendiri, sehingga Kekasihmu tersisihkan. Tapi Kekasihmu memaafkan mereka karena mereka tak mengerti apa yang mereka lakukan." "Subjektif!" saya memekik. "Itu persepsi subjektif!" "Pasti. Pasti subjektif. Itu ta'riful ghaib," jawabnya sambil menunda tangisnya. "Bisakah ilmu objektif melihat, menembus, dan menilai dimensi keikhlasan dan ketidakikhlasan, dimensi cinta, dan kesungguhan di dalam jiwa manusia? Bisakah ilmu objektif memastikan apakah salat seseorang benar-benar salat? Bisakah ilmu objektif menemukan klaim bahwa seseorang atau sekumpulan orang menyelenggarakan Takbir Akbar tidak untuk soal-soal selain yang Allahu Akbar? Sedangkan takbir dan tauhid adalah peleburan dan peniadaan diri sehingga lenyap ke dalam Diri?" "Allah itu Syakur, Kiai!" saya menyela, "Allah itu Maha Pensyukur. Tidakkah agama Allah terbukti memperoleh perhatian sangat besar dari para hamba-Nya?" "Apa buktinya bahwa mereka sungguh-sungguh ber-Allahu Akbar? Mana indikator budayanya, mana tanda ekonomi dan politiknya, mana perwujudan hukumnya? Tidakkah saudara-saudaramu itu menyangka bahwa Kekasihku itu sedemikian remehnya sehingga cukup dirayu dengan ucapan, lagu, gendang, dan lampu gemerlap?" "Kenapa Kiai tak memilih mensyukuri itu sebagaimana Tuhan mensyukuri dan memuliakan seseorang hanya karena ia memelihara nyawa seekor burung pipit?" Sudrun mulai tersenyum meskipun pipinya masih basah. "Kalau aku nonton TV, menyaksikan anak-anakku bernyanyi dengan kerudung dan baju kurung, aku memang selalu bersyukur dengan penuh kepahitan. Mereka menghormati bulan Ramadan dengan cara yang sukar kupahami. Mereka memuliakan Allah dengan mengenakan pakaian yang sehari-hari hampir tak pernah mereka kenakan. Mereka melantunkan syair-syair yang tak menjadi pedoman kehidupan mereka. "Mereka memperagakan kekhusyukan dan itu tak pasti berarti khusyuk. Mereka memperagakan kebaikan dan tak bisa dijamin benar-benar baik. Mereka menyongsong Idul Fitri dengan berpakaian ketidakaslian, sehingga yang berlaku jangan-jangan adalah justru Tarkul Fitri: meninggalkan keaslian. Hal itu membuat Musa merasuk ke dalam badanku dan tongkatnya tergenggam di tanganku karena ia bepikir bahwa itu semua sejenis sihir. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk bersyukur: masih untunglah mereka tampil seperti itu. Tapi hatiku terasa pahit karena mungkin aku sedang mensyukuri kemunafikan." "Kiai! .... Kehidupan adalah proses ...." "Sejak sebelum lahir aku sudah tahu itu," ia membentak. "Maksud saya begini, Kiai. Syukurlah seseorang melakukan salat meski pertama-tama demi merayu calon mertua. Semoga Allah memberinya hidayah sehingga selanjutnya ia salat dengan ikhlas." "Tapi wajib hukumnya bagiku untuk menangis," mendadak ia menendang-nendang tanah lagi dan menangis meraung-raung lagi. "Betapa tak tahu dirinya aku di hadapan Kekasihku kalau aku tak menangis. Hamba-hamba Kekasihku semakin tak memiliki keyakinan religius. Impian mereka tak terkontrol karena akal sehat mereka menurun. Mencapai tahap kualitas Idul Fitri yang wajar dan pada standar minimal secara objektif tak bisa, mereka pun mencoba mengatasinya dengan cara subjektif. Dengan mengarang sebutan baru, misalnya Mega Idul Fitri, Ultra Lebaran, Giga Allahu Akbar, dan entah apa lagi. Itu eufemisme subjektif: boleh tak bisa makan ayam asalkan ada bumbu rasa kari ayam ...." Saya memotong, "Tidakkah Kiai merasa bahwa ucapan Kiai itu kasar dan menusuk perasaan?" "Kalau hamba-hamba Kekasihku itu memang benar-benar lemah dan tak berdaya, aku masih punya alasan untuk mensyukuri batas pencapaian mereka. Tapi, kalau sebenarnya mereka kuat dan sesungguhnya memiliki kesanggupan untuk berubah, Ibrahim yang harus datang kemari membawa kapaknya. Apakah kapak Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala itu kausebut kasar dan menusuk perasaan Bapaknya?" "Kapan Ibrahim datang, Kiai?" Sudrun meraung-raung semakin keras. "Itulah yang kutangisi. Aku takut Kekasihku tak menegur mereka karena memang hanya hamba-hamba yang dikasihi-Nya yang cepat ditegur, diingatkan, dan dihukum. Sedangkan mereka yang sudah jauh dari kasih-Nya dibiarkan saja ...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini