Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK tak kunjung menerbitkan sprindik baru kasus Eddy Hiariej.
Draf surat itu disebut mandek di meja salah satu petinggi di Kuningan.
Sikap pimpinan KPK pun dipertanyakan.
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menetapkan kembali mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharief Hiariej atau Eddy Hiariej, sebagai tersangka. Status Eddy sempat dipertanyakan saat dia menjadi saksi ahli dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 4 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru bicara KPK Ali Fikri mengatakan pihaknya belum menaikkan status Eddy sebagai tersangka. Meski begitu, Ali memastikan KPK sudah menaikkan status perkara korupsi jual-beli wewenang di Kementerian Hukum dan HAM yang melibatkan Eddy Hiariej ke tahap penyidikan. “Kami pastikan KPK melanjutkan penyidikan perkara dugaan korupsi di Kemenkumham,” kata jAli Fikri pada Jumat, 5 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK sempat menetapkan Eddy Hiariej sebagai tersangka kasus jual-beli wewenang. Eddy diduga menerima suap sebesar Rp 7 miliar dari pengusaha Helmut Hermawan untuk membantunya dalam sengketa kepemilikan saham PT Citra Lampia Mandiri. Suap itu, menurut KPK, dialirkan melalui dua orang kepercayaan Eddy, Yosi Andika Mulyadi dan Yogi Ari Rukmana.
Eddy kemudian mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan menang. Dalam putusannya, hakim tunggal Estiono mempermasalahkan penetapan status tersangka Eddy yang dilakukan pada tahap penyelidikan. Mengutip Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Estiono menilai penyelidikan tidak memiliki nilai pro justicia. Dia tidak mempertimbangkan Undang-Undang KPK yang memperbolehkan lembaga antirasuah itu menetapkan orang sebagai tersangka pada tahap penyelidikan.
Ali memastikan KPK mengikuti putusan praperadilan itu. Penyidik, menurut dia, sudah kembali melakukan gelar perkara setelah kalah dalam sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan. Dalam gelar perkara itu, menurut Ali, seluruh pemimpin sepakat menerbitkan surat perintah penyidikan baru. “Perkembangan akan disampaikan,” kata Ali.
Kasus jual-beli wewenang di Kementerian Hukum sebetulnya sudah lengkap dari sisi substansi penyidikan. Tak ada yang berbeda dari substansi penyidikan terdahulu karena hal itu tak masuk putusan praperadilan. “Substansi materi penyidikan perkara tersebut sama sekali belum diuji di Pengadilan Tipikor. Praperadilan hanya menguji keabsahan syarat formil,” kata Ali.
Edward Omar Sharief Hiariej saat masih menjabat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia setelah memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 28 Juli 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Seorang aparat penegak hukum bercerita bahwa penyidik sebenarnya sudah meminta agar surat perintah penyidikan (sprindik) baru itu diterbitkan sejak 15 Maret 2024. Namun surat itu hingga kini mandek di meja Deputi Penindakan KPK Brigadir Jenderal Rudi Setiawan.
Sumber itu menambahkan, Rudi bahkan berencana melimpahkan kasus itu ke kepolisian tanpa alasan jelas. Sayangnya, menurut dia, Ketua sementara KPK, Nawawi Pomolango, tidak tegas dalam mengambil sikap atas kasus ini.
Sumber aparat penegak hukum lainnya pun memberi konfirmasi ihwal informasi itu. Dia menambahkan, sprindik baru itu sebetulnya belum akan menetapkan Eddy sebagai tersangka. Hal itu, menurut dia, sebagai konsekuensi dari putusan praperadilan.
Tempo berusaha menghubungi Rudi dan Nawawi untuk meminta konfirmasi ihwal informasi tersebut. Namun, hingga berita ini diturunkan, keduanya tak menjawab pertanyaan Tempo ke nomor telepon selulernya.
Konfirmasi datang dari Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Ia membenarkan KPK sudah akan mengeluarkan sprindik baru dalam kasus ini. Namun dia membantah anggapan bahwa surat itu tak kunjung keluar karena adanya perbedaan pendapat di antara para pemimpin KPK.
Alex mengatakan sprindik baru tersebut memerlukan persetujuan seluruh pemimpin lembaga antirasuah itu. Namun, belakangan, para pemimpin KPK sedang banyak dinas luar kota, sehingga pembahasan tertunda. “Setelah Idul Fitri kami bahas kembali. Sering pimpinan tidak lengkap di kantor. Ada yang dinas ke luar kota, sehingga pembahasan tertunda,” kata Alex saat dihubungi kemarin.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan kasus Eddy Hiariej menjadi perkara terlama dalam sejarah KPK menetapkan kembali tersangka setelah kalah praperadilan. Ia mencontohkan kasus Ketua DPR Setya Novanto, tersangka korupsi proyek KTP elektronik, yang tak butuh waktu lebih dari sebulan KPK kembali menetapkannya sebagai tersangka dan dibawa ke meja hijau. Atau kasus korupsi Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.
Kurnia mengatakan, jika dihitung sejak putusan praperadilan yang dibacakan pada 30 Januari 2024, total sudah 65 hari KPK membiarkan Eddy Hiariej bebas dari status tersangkanya meskipun penyidik terus mengembangkan pengusutan dugaan korupsinya.
Soal sprindik baru tak kunjung muncul, Kurnia menduga ada pihak yang memang berusaha memperlambat penanganan kasus ini. KPK, sejak awal penyelidikan, menurut dia, sudah menunjukkan gelagat aneh dengan tidak segera menahan Eddy dan membawanya ke meja hijau.
Kurnia mendesak Dewan Pengawas (Dewas) KPK turun tangan karena melihat ketidaktegasan pimpinan dalam kasus ini. “KPK seharusnya sadar kasus ini menyita perhatian publik sehingga, kalau ada hambatan, maka sebagai pertanggungjawaban, pimpinan patut disalahkan. Dewas punya fungsi mengawasi, seharusnya dalam berbagai forum dipertanyakan,” kata Kurnia.
Mengambangnya status Eddy Hiariej itu sempat menjadi polemik dalam sidang PHPU di Mahkamah Konstitusi pada Kamis lalu. Eddy datang ke dalam sidang sebagai ahli kubu pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kehadiran Eddy itu mendapat protes dari anggota Tim Hukum Nasional pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Bambang Widjojanto.
Bambang keberatan karena mendengar kabar KPK sudah menetapkan sprindik baru terhadap Eddy Hiariej. Dia menilai Eddy yang berstatus tersangka sebaiknya tidak menjadi saksi ahli dalam sidang itu. ”Seseorang yang menjadi tersangka, apalagi dalam kasus tindak pidana korupsi, kalau untuk menghormati mahkamah ini, sebaiknya dibebaskan untuk tidak menjadi ahli," kata mantan pemimpin KPK itu.
Namun keberatan Bambang tak digubris oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo. Bambang Widjojanto akhirnya memutuskan keluar dari ruang sidang saat Eddy menjadi saksi ahli. "Majelis, karena tadi saya merasa keberatan, saya izin mengundurkan diri ketika rekan saya, Prof. Hiariej, akan memberikan penjelasan. Nanti saya masuk lagi di saksi ahli lainnya sebagai konsistensi dari sikap saya," kata Bambang.
Setelah Bambang Widjojanto keluar, Eddy Hiariej pun menjelaskan bahwa statusnya sebagai tersangka sudah gugur dengan memenangi gugatan praperadilan. Mengutip pernyataan Ali Fikri, Eddy menyatakan, KPK akan mengeluarkan sprindik umum tanpa ada nama tersangka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo