Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Keuangan memecat PNS penderita skizofrenia karena tak mengisi absen selama dua pekan.
Menderita skizofrenia sejak kuliah di Australia pada 2014.
Diminta mengembalikan uang beasiswa senilai Rp 1 miliar.
KONDISI mental DH, 38 tahun, tidak baik-baik saja pada awal Juni 2021. Selama berhari-hari, pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Keuangan itu kerap berteriak dan melempar barang ke setiap orang di hadapannya. Bicaranya juga tak jelas.
Dua petugas Klinik Yayasan Khalifah, Bekasi, Jawa Barat, menjemput DH pada Ahad, 20 Juni 2021. Ia memberontak dan mengamuk. “Mbak DH marah, melempari petugas kami pakai barang pecah belah. Dia tidak mau ikut ke klinik,” kata Layli Ismania, terapis klinik itu saat bersaksi di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Rabu, 13 Mei lalu.
Petugas klinik menjemput DH atas permintaan sang ibunda yang sudah tak kuasa melihat putrinya menyiksa diri dan mengganggu tetangga sekitar. Meski ditolak, petugas tetap memboyong DH ke klinik.
Baca: Perjuangan CPNS Difabel Netra Menjadi Guru Matematika
Menurut Layli, DH acap membenturkan kepala ke tembok dan menangis hampir tiap malam. DH juga salat berkali-kali tanpa mengenal waktu. Dia juga tidak merasa sedang sakit. “Sementara hasil diagnosis menyebut Mbak DH sakit skizofrenia paranoid,” ucapnya. Ia dirawat di klinik selama tiga bulan.
Di persidangan, ketua majelis hakim, Santer Sitorus, menanyakan perkembangan pengobatan, termasuk keputusan memulangkan DH dari klinik. “Setelah tiga bulan, DH yang meminta pulang atau atas rekomendasi klinik?” ujar Santer.
Layli menjawab DH akhirnya mau meminum obat secara rutin dan menyadari sedang sakit. “Kondisinya mulai membaik. Dia mulai stabil dan ada kemauan minum obat,” katanya.
Layli tengah bersaksi untuk meringankan DH di PTUN Jakarta. DH tengah menggugat pemecatannya dari Kementerian Keuangan ke pengadilan. Sejak 2010, DH bekerja di Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Direktorat Jenderal Pajak.
Penasihat hukum DH dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Charlie Abajili, mengatakan keterangan Layli bertujuan menjelaskan kondisi kliennya yang menderita skizofrenia paranoid. Artinya, DH berstatus penyandang disabilitas mental. “Kondisi DH makin memburuk karena ada berbagai persoalan,” tutur Charlie.
Kementerian Keuangan memberhentikan DH secara tidak hormat pada 12 November 2020. Surat pemecatan baru dikirim ke kediaman DH dan diterima sang ibunda pada Februari 2021. Saat itu, DH sedang tak berada di rumah.
Pemecatan bermula saat DH tak pernah mengisi daftar presensi secara virtual selama 14 hari berturut-turut pada Februari 2021. Kala itu, Kementerian menerapkan kebijakan bekerja dari rumah (work from home).
Pada 9 Maret 2020, Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi Iwan Djuniardi menerbitkan surat panggilan kepada DH. Ia diminta mengikuti pemeriksaan pada 17 Maret 2020 atas dugaan pelanggaran disiplin tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah.
DH menghadiri panggilan tersebut. Pemeriksa hanya bertanya ihwal kehadiran. “DH membenarkan tak hadir pada tanggal yang disebutkan, tapi pemeriksa tidak menanyakan alasan ketidakhadiran,” ujar Charlie.
Kondisi mental DH juga sedang tak sehat saat itu. Menurut Charlie, penyakit DH saat itu sedang kambuh.
DH mulai mengalami gangguan kesehatan mental dengan gejala psikotik saat menjalani beasiswa pendidikan magister di Melbourne, Australia, pada 2014. Di Negeri Kanguru, DH sempat berkonsultasi dengan seorang psikiater.
Psikiater tersebut menyatakan DH butuh perawatan lanjutan dan mengonsumsi obat. “Setelah balik ke Indonesia pada 2016, Mbak DH masih konsultasi dan minum obat. Tapi dia berhenti pada 2017 karena merasa tidak nyaman dan mudah mengantuk,” tutur Charlie.
Teman-teman DH di Kementerian Keuangan diperkirakan mengetahui gangguan mental DH. Saat pemeriksaan psikolog, dua kolega DH menyatakan kerap melihat DH menangis dan berlari tak tentu arah sepanjang 2018-2019.
Pada awal 2020, gangguan kesehatan mental DH makin parah. DH juga ditengarai menghadapi persoalan rumit karena keluarganya berpindah agama.
Psikolog Naomi Soetikno menyatakan DH mengalami waham atau delusi. Disabilitas mental, dalam hal ini skizofrenia, biasanya terjadi karena ada kelainan dalam fungsi neurologis. “Penderita skizofrenia membutuhkan obat-obatan,” ujar dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara itu.
Saat sudah terkendali oleh obat, orang tersebut bisa beraktivitas seperti pada umumnya. Namun akan muncul perbedaan jika penderita tersebut mengalami stres sehingga memicu simptom. “Akan berbahaya sekali kondisi pasien tidak mengonsumsi obat-obatan secara rutin. Mudah kembali gejalanya,” kata Naomi.
Ketika pasien kambuh dan tidak minum obat, Naomi menyatakan orang tersebut tak akan bisa menyadari realitas dan akan mencurigai banyak hal, bahkan bisa melanggar peraturan. “Sebab ada waham atau pikiran-pikiran yang mengganggunya,” ujar Naomi.
Charlie mengatakan tak ada upaya Kementerian Keuangan untuk mencari tahu tentang penyakit yang diderita DH. Itu sebabnya ia menganggap pemecatan itu tidak adil dan melanggar hukum karena dijatuhkan saat DH tengah sakit.
Undang-Undang Penyandang Disabilitas menyebutkan semua penyandang disabilitas mental mendapat kesempatan yang sama untuk bekerja, termasuk melanjutkan pekerjaan sebagai PNS. “Pihak Kementerian seharusnya berupaya mencari kebenaran penyakit DH, bukan langsung main pecat,” ucap Charlie.
Bukan hanya itu, Kementerian Keuangan meminta DH mengembalikan uang beasiswa senilai Rp 1 miliar. Mereka beralasan DH berhenti kerja di luar perjanjian ikatan dinas selama lima tahun sejak beasiswa diterima.
Padahal selama ini DH merasa sudah bekerja dengan baik. Ia menjadi salah satu pegawai yang mengembangkan sistem aplikasi persuratan di lingkungan Kementerian Keuangan.
Awalnya, DH mengajukan permohonan banding atas pemecatan ini ke Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) pada 17 September 2021. Namun permohonan itu ditolak dengan alasan telah lewat dari masa 14 hari sejak surat keputusan diterbitkan.
Anggota tim hukum BPASN, Ivan Nur Aziz tetap, meyakini permohonan banding yang diajukan DH telah kedaluwarsa. BPASN juga menyampaikan tidak ada bukti yang sah bahwa status DH adalah penyandang disabilitas. “Lagi pula tidak ada pembedaan atau perlakuan khusus dalam hal permohonan banding administratif seorang disabilitas,” ucapnya.
Anggota tim hukum Kementerian Keuangan, Calvin Nababan, menganggap waktu banding sudah lewat dan DH dianggap menerima putusan itu. Ia juga menganggap pemeriksa tak wajib menanyakan penyakit DH. “Alasan penggugat sakit mengada-ada,” katanya.
Menurut Calvin, Kementerian Keuangan juga tak melanggar Undang-Undang Penyandang Disabilitas karena tidak mengetahui penyakit DH. “Penggugat tidak pernah memanfaatkan kesempatan yang diberikan untuk membela diri dalam pemeriksaan pelanggaran disiplin,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo