Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para pelaku kejahatan jalanan Yogyakarta diperkirakan semakin banyak dan brutal.
Salah satu bentuk kekerasan itu adalah klitih yang sudah memakan korban puluhan orang.
Mereka tergabung dalam geng dan mengikuti pelatihan.
SELEMBAR kertas bertulisan “Waspada Klitih” menempel di dinding warung makan Indomie atau Warmindo Barakuda di Jalan Gedongkuning, Yogyakarta, pada Jumat, 15 April lalu. Ada lagi tulisan “Jogja, bukan GTA”. GTA merujuk kepada video game petualangan kriminal Grand Theft Auto: San Andreas. “Pelanggan memasang kertas itu setelah peristiwa klitih yang merenggut nyawa Daffa dua minggu lalu,” ujar penjaga warung, Muhammad Nurropik.
Daffa Adzin Albazith, 17 tahun, meninggal setelah dihantam gir sepeda motor pada Ahad, 3 April lalu. Sebelum mengalami penganiayaan, putra seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kebumen, Jawa Tengah, itu tengah memesan mi instan bersama tujuh rekan sekolahnya di Warmindo Barakuda sekitar pukul 02.00 WIB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dirreskrimum Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi (kanan) dan Kabid Humas Kombel Pol Yuliyanto melakukan konferensi pers kasus kejahatan jalanan di Mapolda DIY, 11 April 2022/instagram.com/ ditreskrimum_polda_diy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menjadi korban kejahatan jalanan yang dipicu ulah sekelompok remaja yang menggeber gas sepeda motor di depan warung. “Sempat terdengar makian dalam bahasa Jawa dari tiga orang yang menaiki satu sepeda motor itu,” ujar Nurropik.
Belum sempat menyantap makanan, Daffa dan rekannya mengejar ketiga pria tersebut hingga ke kantor Kelurahan Banguntapan, Bantul, yang berjarak sekitar 2 kilometer. Rupanya, ada dua remaja lain yang sudah menunggu Daffa dan temannya. Di antaranya RS, 18 tahun, salah seorang pelajar sekolah menengah kejuruan di Yogyakarta.
RS mengayunkan gir yang diikat sabuk bela diri berkelir kuning ke arah kepala Daffa hingga ia terjatuh dan tak sadarkan diri. Sepeda motor yang dikendarai Daffa juga terjerembap ke sisi kanan. Daffa sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong.
Polisi menangkap kelima pelaku pada Kamis, 7 April lalu. Mereka berusia 18-20 tahun. Tiga di antaranya masih pelajar SMK, satu orang penganggur, dan satu orang mahasiswa yang juga alumnus SMK yang sama dengan dua pelaku lain.
Mereka tergabung dalam satu geng berinisial Mo***a. Polisi enggan menyebut lengkap nama kelompok ini karena menganggap keberadaan mereka makin populer sehingga perilaku anggotanya berpotensi makin brutal.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi menyebut Daffa sebagai korban tawuran kelompok pelajar. Peristiwa ini dipicu saling melontarkan ejekan, makian, dan tantangan. “Rene... Rene (kemari),” ujar Ade menirukan ucapan para pelaku kepada kelompok Daffa.
Ia menolak anggapan Daffa menjadi korban klitih. Menurut dia, klitih merupakan istilah lokal yang dipahami sebagai aktivitas jalan-jalan di sore hari atau sekadar iseng mencari angin di jalan. “Yang terjadi kemarin itu tawuran, berantem versi daerah sini,” katanya.
Menurut Ade, kelompok Mo***a dan Daffa tidak saling kenal. Kelompok Daffa tidak membawa senjata. Tapi polisi masih mendalami keterlibatan anggota kelompok Daffa dengan geng sekolah lain.
Sebelum menyerang kelompok Daffa, kelima pelaku terlibat perang sarung di Perempatan Druwo, Jalan Parangtritis, dengan geng lain. Perang sarung merupakan bentrok antar-remaja dengan saling mengayunkan sarung untuk menyakiti lawan. Beberapa di antaranya mengisikan batu di ujung sarung.
Petugas Kepolisian Resor Bantul yang sedang berpatroli sempat membubarkan tawuran itu. RS dan kawan-kawannya kabur menuju Kotagede melalui jalur lambat ringroad.
Di sanalah kelompok itu bertemu dengan rombongan Daffa yang menyalip sembari menggeber gas sepeda motor. Kelompok pelaku tersinggung dan menantang kelompok Daffa yang tengah berhenti di Warmindo Barakuda.
Kekerasan yang menimpa Daffa menambah panjang catatan kejahatan jalanan yang melibatkan remaja selama dua tahun terakhir. Polda Yogyakarta mencatat terdapat 45 kasus kejahatan jalanan dengan jumlah tersangka 90 orang pada 2020. Setahun kemudian, angka kasusnya naik menjadi 57 dengan jumlah tersangka sebanyak 79 orang.
Kematian Daffa juga membuat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Bowono X turun tangan. Ia menerbitkan surat edaran dan meminta semua kepala daerah merancang program penanggulangan kekerasan di kalangan remaja, empat hari setelah Daffa meninggal.
Salah satu bentuk kekerasan jalanan yang meningkat beberapa tahun belakangan ini dan menjadi fokus adalah klitih. Istilah yang awalnya bermakna positif ini menjadi negatif akibat makin banyak penganiayaan yang dilakukan remaja di jalanan Yogyakarta. Perilaku ini ditengarai warisan dari para senior mereka di geng masing-masing.
Di antaranya adalah pemuda 23 tahun yang dipanggil Damar—bukan nama sebenarnya. Ia pertama kali melakukan klitih pada 2016, saat usianya baru 17 tahun. Kala itu, ia didapuk menjadi kepala geng sekolah. Damar sempat mendekam di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas IIB, Wonosari, setelah divonis bersalah lima tahun penjara karena membacok korbannya hingga tewas.
Sejak 2000-an, ia menjelaskan, setiap pelajar yang terlibat kejahatan jalanan, seperti tawuran dan klitih, hampir semuanya bergabung dalam geng sekolah. Motifnya adalah eksistensi diri dan ingin disegani oleh teman.
Mereka merekrut anggota geng sepulang sekolah. Bentuk aktivitas mereka hanya ada dua. Yang pertama adalah klitih dengan berkonvoi sepeda motor untuk mencari dan melukai korban, khususnya musuh mereka. “Metode lain adalah tawuran,” ujar Damar.
Tawuran lazim melibatkan pelajar dalam jumlah yang banyak. Tapi dalam klitih jumlah orangnya lebih sedikit. Klitih bisa dilakukan oleh empat orang dengan menggunakan dua sepeda motor. Bisa juga 20 orang dengan dipecah dalam beberapa kelompok.
Satu kelompok berbagi peran saat melakukan kekerasan. Pengendara sepeda motor disebut joki, sedangkan fighter adalah orang dibonceng dan bertugas menyerang korban. Sweeper adalah anggota yang berada di deretan belakang dan bertugas mengamati sekeliling, khususnya patroli polisi.
Pelaku klitih kerap berkeliling di tempat-tempat yang kerap dilewati pelajar dari sekolah menengah atas yang dianggap sebagai lawan. Mereka biasanya melakukan tindakan kriminal ini pada akhir pekan atau libur sekolah.
Namun pola klitih ditengarai sudah berubah. Awalnya, kata Damar, klitih ditujukan kepada musuh tertentu. Kini para pelaku menyasar korban dari kelompok mana saja, bahkan jika secara tak sengaja bertemu di jalan. “Acak, tak terkendali, dan sulit diidentifikasi. Yang penting bisa melukai,” tuturnya.
Anggota geng juga bisa berasal dari sekolah lain. Ada juga yang bukan berstatus pelajar. Mereka yang dikeluarkan dari sekolah karena terlibat tawuran tercatat masih bergabung di dalam geng, bahkan menjadi patron.
Mereka awalnya sempat memiliki “aturan main” yang tak tertulis. Misalnya, tak boleh membunuh lawan, tidak boleh melukai pelajar yang sedang berpacaran, atau merusak fasilitas umum. Tapi aturan itu banyak dilabrak. “Kini mereka makin brutal dan bertindak di luar kendali koordinator mereka,” ujar Damar.
Jumlahnya pun makin banyak. Mereka juga dilatih. Anggota geng belajar kekerasan dengan mengamati tindakan koordinator masing-masing. Pelatihan ini mencakup cara menghadapi polisi ketika tertangkap.
Pakar sosiologi kriminal Universitas Gadjah Mada, Soeprapto, memastikan terjadi perubahan dalam prilaku klitih. Dulu klitih terjadi karena pertarungan antar-geng sekolah. Contohnya, sekolah A bermusuhan dengan sekolah B. Tujuannya hanya ingin balas dendam.
Tapi sekarang korban diambil secara acak. Pelaku menyasar kelompok pelajar dari sekolah mana pun yang ditemui di jalan. Artinya, siapa pun bisa menjadi musuh. “Motifnya eksistensi. Kami ada, kuat, dan menang,” tutur Soeprapto.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan kejahatan jalanan oleh para remaja berkembang karena kemunculan geng baru di luar sekolah. Kondisi ini makin runyam karena para alumnus yang memiliki pengaruh buruk tetap bercokol di geng sekolah. “Kami berfokus memisahkan alumnus dengan siswa sekolah untuk memutus pengaruh senioritas dalam geng,” katanya.
Soeprapto membenarkan bahwa anggota kelompok atau geng tidak selalu berasal dari satu sekolah. Dia membagi tiga macam struktur keanggotaan geng sekolah. Yang pertama adalah organisasi inti yang koordinator dan anggotanya berasal dari satu sekolah yang sama.
Yang kedua, organisasi inti plus yang anggotanya berasal dari sekolah lain dan alumnus yang berperan mempengaruhi anggota dengan modus indoktrinasi atau cuci otak. Doktrin itu berisi solidaritas almamater atau keunggulan kelompok geng.
Damar, nama samaran, mantan pelaku klitih yang pernah divonis lima tahun penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II B Wonosari Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, 14 April 2022/TEMPO/Shinta Maharani
Ada pula organisasi inti plus yang anggotanya tidak hanya pelajar dan alumnus, tapi juga preman. Organisasi inti plus kerap digunakan oleh penyedia jasa keamanan. Pada 2021, Soeprapto menemukan data 108 kasus klitih yang 80 persen pelakunya adalah pelajar, selebihnya bukan pelajar.
Selain itu, senjata untuk melukai korban ikut berkembang. Semula pelaku hanya menggunakan batu. Kini mereka menggunakan sarung yang diisi batu, gir, sabit, celurit, golok, dan pedang. Alat-alat yang mereka gunakan lebih variatif dengan tujuan menakut-nakuti lawan. “Bila musuhnya melawan, yang terjadi adalah perang,” ucapnya.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo