Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Teka-teki di balik jeruji

Iwan nirwana, 21, meninggal di tahanan polsek pacet, cianjur, ja-bar. kematiannya dirasa tak wajar. keluarga korban mengadu ke LBH bandung. dengan sejumlah uang, polisi minta kasus ini tak diperkarakan.

3 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLISI sering dibuat sibuk bila ada tahanan yang mati di balik jeruji. Lihat saja kasus matinya Iwan Nirwana, 21 tahun, 9 April lalu di tahanan Polsek Pacet, Cianjur, Jawa Barat. Kematian Iwan yang ditahan selama 24 hari itu mengundang tanda tanya. Mulut dan hidungnya mengeluarkan cairan kuning bercampur busa. Karena sebelumnya ia tak pernah sakit, pekan ini keluarga Iwan mengadukan kasus itu lewat LBH. "Untuk menjernihkan kematiannya," kata paman Iwan, Nandang Wirahma. Atas pengaduan itu, Direktur LBH Bandung, Dindin S. Maulani, menyatakan siap membela, dan segera menuntut Polsek Pacet. Iwan, pegawai sebuah perusahaan bangunan, ditangkap polisi ketika sedang di rumah pacarnya di Sukabumi. Ia dituduh mencuri. Ceritanya, sekitar pertengahan Maret, Iwan diajak kawannya menginap di toko potret Sinar Baru, tempat kawannya itu bekerja, di Pacet. Esoknya, begitu Iwan pergi, pemilik toko mengaku kehilangan uang Rp 30 ribu, rokok, dan sebuah tustel. Iwan dituduh sebagai pencurinya. Iwan lantas ditahan selama 24 hari. Tanal 9 April malam, Kapolsek Pacet, Kapten Nunung M. Nuh, memberitahukan kepada keluarga Iwan bahwa Iwan sakit dan ketika itu sedang dirawat di RSU Cianjur. Tapi, seperti disambar geledek, ibunya, Nyonya Anon, lunglai setelah mendapatkan anaknya sudah terbujur kaku. Malam itu juga, jenazahnya diusung ke Desa Cieundeur, Kecamatan Warungkondang, Cianjur. "Ajal sudah takdir, tapi kematiannya menyedihkan kami," kata Nyonya Anon. Hari itu juga, Nunung menjenguk keluarga korban sambil menyerahkan uang duka Rp 150 ribu, plus sayur-mayur sebanyak satu Colt. "Kematian anak saya tak bisa ditebus dengan uang," kata ayah Iwan, Obing, menolak pemberian itu. Tapi, karena didesak terus, Obin menerimanya. Pemberian Kapolsek itu malah berlanjut hampir setiap hari. Jumlah uang duka mencapai Rp 255 ribu, ditambah pakaian dan sayur-mayur. Yang kemudian menyulitkan Obing ialah ketika ia diminta polisi untuk membuat pernyataan tidak akan mengadukan kematian anaknya ke pengadilan. "Saya harus memberitahukan kepada anak-anak, saya minta waktu," kata Obing, 76 tahun. Karena merasa tertekan, Obing kemudian menjadi pendiam, suka melamun. Tragisnya, beberapa hari kemudian, 8 Mei, Obing meninggal. Mungkin hanya kebetulan, setelah Obing mati, Nunung tak pernah menjenguk lagi. Kecurigaan bahwa Iwan mati tak wajar di tangan polisi segera dibantah Nunung. Iwan benar-benar sakit, bukan karena disiksa. Malah Nunung pula yang membawanya ke Puskesmas Pacet. Di situ tercatat: tekanan darahnya rendah, tubuh panas, mual, dan sesak napas. Untuk mengurangi rasa sakit itu, Iwan diberi obat sakit lambung. Pada malam harinya, menurut Nunung, Iwan sakit lagi dan dilarikan ke rumah sakit. Tapi cerita Nunung ini diluruskan dokter jaga Swarsyaf dari RSU Cianjur. "Iwan datang ke rumah sakit sudah jadi mayat," ujar Swarsyaf. Kesimpulan dr. Swarsyaf setelah disuruh polisi memeriksa bagian luarnya: tak ada luka-luka dan memar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus