KECENDERUNGAN baru dalam dunia kejahatan, yakni membunuh, memotong-motong mayat, dan melenyapkan identitas korban, rupanya, telah membuat polisi bekerja ekstrakeras untuk mengusutnya. Modus baru ini -- setelah terungkap kasus mayat terpotong sepuluh Nyonya Diah di Jakarta -- seakan merebak ke berbagai daerah. Dua pekan lalu, polisi Sukabumi dan Polda Jawa Barat punya "PR" seperti kasus Nyonya Diah. Mayat wanita potong enam -- kepala, badan, kaki kiri, dan kanan sebatas dengkul, tangan, serta potongan lengan kiri -- ditemukan di Sukabumi. Hingga awal pekan ini, setelah memasuki hari ke-12 kabut masih menyelimuti misteri korban yang ditemukan di tepi Kali Cimandiri itu. "Belum ada perkembangan baru. Sementara sampai di situ saja dulu," kata Kapolda Jawa Barat, Mayor Jenderal Drs. Sidharto. Berdasarkan temuan itu tim dokter di RSU Sukabumi baru bisa memberi gambaran kasar bahwa korban berputing besar berwarna cokelat tua -- menandakan wanita itu pernah punya anak. Wajah oval dan rambut berombak. Ia sedang mengandung lima bulan dan diperkirakan berusia 25 tahun. Selain potongan tubuh, juga ditemukan celana kulot warna cokelat, sepatu cokelat, dan cincin plastik warna hitam. Hingga kini sedikitnya sudah ada 10 orang mengaku kehilangan saudaranya dan mencocokkan dengan ciri-ciri mayat "potong enam" Sukabumi ini. Kebetulan ada keluarga yang mengaku kehilangan Fatimah -- tiga orang kebetulan bernama sama -- dari Garut, Sukabumi, dan Semarang. Yang dari Sukabumi belakangan ternyata sehat. "Melihat ciri-ciri yang diberitakan koran, 50 persen kemungkinannya mayat itu famili saya," kata Syarifudin, saudara Fatimah yang asal Semarang. Rambut Fatimah disebutnya juga ikal sebahu. Ia memakai cincin plastik hitam. Fatimah yang dipanggil Asma itu berumur 35 tahun. "Sudah lama Asma tidak mens. Gigi-gigi gerahamnya juga rusak," tambah istri Syarifudin. Asma, wanita kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, itu menikah dengan lelaki asal Semarang. Setelah beranak empat, ia diboyong suaminya ke Semarang, tanpa anak-anak mereka. Tahun 1987, Asma ditinggal suaminya ke Jakarta. Kepergian suami Asma ke Jakarta itu membawa uang milik istrinya Rp 25 juta. Karena setahun tak ada kabar beritanya, Asma menyusul ke Jakarta. Pada Maret 1989, secara kebetulan Asma dan suaminya bertemu di rumah Syarifudin di Klender, Jakarta. Dari pertemuan ini, diperoleh cerita dari Asma, bahwa suaminya sedang mengurus tanah di Sukabumi yang tak pernah beres. Katanya ia tertipu. Sejak Maret itulah, Asma dan suaminya pergi dari rumah Syarifudin, dan tidak kembali. Itu sebabnya Syarifudin mencurigai mayat itu dan lapor ke Serse Polda Jawa Barat. Selain itu, polisi juga sempat mengusut hilangnya Nona Iing. Bekas pelajar SMTA dari Semarang yang menjadi pelacur di Cipanas itu pertengahan Mei lalu menghilang dari rumah bordilnya. Amoi yang cantik itu, konon, juga sedang hamil. Setelah diusir orangtuanya, ia menjadi pelacur di bawah lindungan germo Burhan (bukan nama sebenarnya) dan sekaligus sebagai pacarnya. Pada minggu kedua Mei lalu, Burhan kabur dari rumah setelah membacok rekannya, Darwis. Beberapa temannya menduga, mayat itu adalah Iing. Namun, informasi itu konon mentah lagi setelah ciri utamanya berbeda. Pelacur berusia sekitar 20 tahun itu, menurut polisi, punya bibir agak tebal dan berambut lurus. Sedangkan korban berbibir tipis dan berambut ikal. Artinya, siapa yang bernasib seperti Nyonya Diah di Sukabumi itu masih tetap teka-teki. Ternyata, mayat terpotong enam serupa -- yang memusingkan polisi itu -- juga ada di Desa Batu Beragung, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Seorang pengawas rel kereta, Usman, Sabtu pagi, 20 Mei, menemukan potongan tubuh -- sebatas leher hingga betis -- di tengah rel kereta. Mayat berkulit putih mulus itu ditemukan tanpa busana, hanya mengenakan BH warna pink. Potongan kaki, kepala, dan tangan wanita itu berserak sekitar tiga meter dari badannya. Penduduk semula menduga bahwa korban tewas terlindas kereta api. Tapi dugaan ini diragukan setelah diketahui posisi serakan anggota badan tidak menunjukkan bahwa korban mati tergilas kereta api. Apalagi, setelah kolong lokomotif dan gerbong kereta yang pagi itu lewat diperiksa, ternyata tak ada percikan darah sama sekali. Juga tak ada bekas-bekas lecet pada tubuh korban -- sebelum mati sama sekali biasanya masih sempat menggelepar karena terseret kereta api. Polisi, untuk sementara, mencurigai mayat itu bukan korban kecelakaan atau bunuh diri tergilas kereta. Dugaan kuat, korban dibunuh, dipotong-potong, dan ditaruh di rel jalur Solok-Padangpanjang itu untuk mengaburkan jejak. Ada petunjuk yang menguatkan argumentasi ini. Korban sama sekali tak berbusana. Baju, celana dalam, rok atau celana panjang, sandal atau sepatu korban sama sekali tak ditemukan di sekitar lokasi. "Masa, mau bunuh diri saja harus telanjang, kan nggak lucu," kata seorang warga yang ikut mengurus jenazah. Siapa pembunuhnya? Ini yang masih gelap dan menjadi "PR" polisi dari Polres Tanah Datar. Namun, cara warga di situ menemukan identitas korban agaknya benar-benar unik. Mereka tak menyebarkan rekaan gambar lewat koran atau menaruhnya di kamar penyimpan mayat rumah sakit. Sabtu pagi itu juga, sekitar pukul 10.00, kepala korban dipajang di pinggir jalan. Serombongan anak muda mulai menyodorkan kotak derma ke mobil yang lewat untuk biaya penguburan jenazah tak dikenal itu -- seperti meminta sumbangan masjid. Mobil berhenti sejenak, dan penumpangnya melongok ke wajah mayat itu, sebelum melemparkan uang derma. Tiba-tiba, dari sebuah mobil terdengar teriakan: "Rahmiiiii... Rahmi ...." Salah seorang penumpang wanita meloncat turun dan mendekap mayat terpotong itu dengan histeris. Ternyata, menurut wanita itu, korban tak lain adalah Rahmi, 38 tahun, janda beranak empat dari Desa Silungkang, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Sehari-hari, ia dikenal sebagai pedagang yang bolak-balik Silungkang-Padangpanjang, sejauh 75 kilometer. Pada Jumat malam itu -- sebelum mayatnya ditemukan -- ia memang belum kembali ke rumah. Karena gelisah, keluarganya mencari ke Padangpanjang. Tapi, sebelum sampai di kota itu, Rahmi sudah ditemukan menjadi mayat terpotong enam. Wakapolres Tanah Datar, Kapten Edi Soelono, ketika ditanyai mengenai kasus ini belum bersedia berkomentar banyak. "Kami masih bekerja keras menyidik kasus ini. Kemungkinan dia dipotong lalu diletakkan di atas rel, bisa saja terjadi," katanya kepada Elprisdat dari TEMPO. Korban lain, dibunuh dan dicincang, adalah Rusli, 28 tahun. Warga Seuneubok Buloh, Idi Rayeuk, Aceh Timur, itu dibantai dan dipotong-potong oleh abang kandungnya M. Nur dan pamannya, Usman. Pada 4 Mei lalu, Rusli pergi memetik buah kelapa di kebun milik abangnya, M. Nur, untuk sekadar tambahan kebutuhan Lebaran (TEMPO, 20 Mei 1989). Rupanya, tindakan Rusli tak berkenan di hati abangnya dan Usman, pamannya. Dua orang terakhir ini kemudian mengatur siasat. Leher korban digorok, tangan dipangkas, dan mayatnya ditimbun daun kelapa. Adegan pembantaian dan memotong mayat ini disaksikan oleh Ismail, kakak Usman. Ia segera melapor ke kepala desa dan polisi di Idi Rayeuk. Sayang, kedua pelaku keburu kabur ke tengah hutan sebelum polisi datang meringkusnya.WY, Riza Sofyat dan Heddy Susanto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini