Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tongkat Sakti dari Bekasi

Seorang bocah lima tahun diduga memukul neneknya hingga tewas. Pemeriksaannya harus melibatkan psikolog.

25 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN langkah terburu, Farah, 12 tahun, pulang ke rumahnya. Setelah berjam-jam menuntut ilmu di bangku sekolah, menempuh jarak cukup jauh pulang, siang itu ia berharap bisa segera makan dan minum. Tapi rasa haus dan laparnya langsung terlupakan setelah menemukan neneknya, Asimah Anwar, tergeletak di lantai kamar tidur. Tubuhnya bersimbah darah.

Farah buru-buru berteriak minta tolong. Para tetangganya pun segera datang. Melibat keadaan sang nenek, gemparlah warga di Pekayon Jaya, Bekasi. Menggunakan mobil tetangga, Asimah, 72 tahun, lalu diusung ke Rumah Sakit Medika Galaxi. Hanya dua jam di rumah sakit, ia mengembuskan napasnya yang terakhir.

Semula, kejadian di rumah keluarga Untung Cahyo, Selasa pekan lalu, itu dianggap sebagai kecelakaan. Pihak keluarga menyatakan Asimah meninggal karena terjatuh dari tempat tidur. Tapi polisi menemukan fakta yang mencurigakan: sekujur tubuh si nenek penuh memar. Diduga, Asimah jadi korban pembantaian.

Pelakunya? Inilah yang mengejutkan. Tiba-tiba muncul pengakuan dari mulut Yoga, 5 tahun, cucu Asimah. Dengan polos, putra bungsu Untung ini mengaku dirinya yang memukuli neneknya. "Pakai tongkat sakti," ujarnya tanpa merasa berdosa. Dia mengaku kesal karena dipaksa neneknya makan. Yoga mengatakan kondisi neneknya yang berlumuran darah itu seperti kejadian yang dilihatnya di televisi tentang bom Kuningan.

Beberapa saksi juga menduga Yoga sebagai algojo yang menghabisi neneknya. Saat peristiwa terjadi, di rumah itu memang hanya ada korban dan Yoga. Untung dan istrinya, Desi, sedang bekerja. Putra sulung mereka, Rangga, 14 tahun, baru saja berangkat sekolah.

Ketika sore harinya polisi mendatangi tempat kejadian, pengakuan serupa kembali diungkapkan bocah itu. Bahkan, dengan tertawa-tawa, Yoga mempraktekkan bagaimana caranya memukul neneknya. "Dia mempraktekkan dengan cara memukul pohon belimbing yang ada di depan rumah. Kayaknya pukulannya cukup keras karena beberapa ranting yang kering sempat jatuh karena pukulannya," kata seorang saksi. Hanya, sejauh ini polisi masih enggan menjelaskan. "Kami masih melakukan penyelidikan lebih lanjut," kata Komisaris Polisi Yudi A.B. Sinlaeloe dari Kepolisian Resor Bekasi.

Yoga bersekolah di sebuah taman kanak-kanak tak jauh dari rumahnya. Menurut para tetangganya, ia dikenal berbeda dengan bocah seusianya. Sejumlah orang menyebut perilakunya hiperaktif. "Bahkan pembantu di rumah itu pun tak pernah ada yang bertahan lama karena tak kuat dengan ulahnya," kata seorang tetangga. Tetangga lain menyebutkan, kalau main, Yoga suka sembarangan menggigit kawannya.

Menurut psikolog Sarlito Wirawan, kejadian ini bukanlah sesuatu yang baru. "Bahkan ada kasus yang lebih ekstrem lagi, anak kecil menembak temannya sampai meninggal," tuturnya.

Dengan informasi terbatas, Sarlito sulit memastikan penyebab tindakan Yoga. Perilaku agresif anak dipicu banyak faktor, antara lain karena meniru, hubungan interpersonal yang buruk antara anak dan lingkungannya, atau juga karena anak memiliki masalah kendali emosi.

Sederhananya, "Kemungkinannya ada dua. Ada masalah tertentu pada si anak atau dia belajar secara sosial dari lingkungan terdekatnya," ujar psikolog lain, Kristi Purwandari, dari Universitas Indonesia.

Kristi juga menjelaskan, pada usia lima tahun, seorang anak belum sepenuhnya paham salah dan benar. Kebenaran bagi dia adalah apa yang ditangkapnya dari kejadian sehari-hari. Bila dia memukul lalu dihukum orang tuanya, dia akan memahami bahwa memukul itu salah. Sebaliknya, "Bila dia melihat ada keluarganya yang memukul anggota keluarga lain dan tidak ada konsekuensi apa-apa, dia juga menyerapnya sebagai kebenaran," katanya.

Yang jelas, baik Sarlito maupun Kristi sepakat, dalam kasus ini pemeriksaan oleh psikolog merupakan suatu keharusan. Bahkan pengakuan si anak di hadapan wartawan atau polisi juga tak bisa jadi pegangan. Dia harus kembali diperiksa oleh seorang psikolog yang ahli soal anak.

Zulfirman, Nurdin Saleh, Siswanto (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus