Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sia-sialah salatmu jika kau ambil hak orang miskin dan anak yatim. (Inti sari Surat Al-Maun ayat 1-7)
Surat Al-Maun sebetulnya merupakan pedoman bagi kebijakan fiskal pemerintah. Surat ke-107 Al-Quran ini sejalan dengan salah satu tujuan kebijakan fiskal sebagai alat distribusi pendapatan. Pajak dipungut secara progresif sesuai dengan pendapatan masyarakat dan disalurkan secara tertarget kepada kelompok miskin. Prinsip ini juga sejalan dengan program Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ingin mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan adil.
Namun masih ada ketidakadilan dalam kebijakan fiskal Indonesia, yakni yang menyangkut harga bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM kini mengandung subsidi yang sangat besar, yaitu premium dan minyak solar (lebih dari 70 persen), minyak tanah (lebih dari 330 persen), minyak diesel (lebih dari 80 persen), dan minyak bakar (28 persen).
Ketidakadilan terjadi karena sebagian besar subsidi dinikmati kelompok kaya. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2003 menunjukkan bahwa ketimpangan penggunaan BBM antara kelompok miskin dan kaya sangat besar. Misalnya minyak tanah. Dengan konsumen yang sebagian besar orang miskin, konsumsi kelompok 10 persen teratas 4,5 kali lebih besar dibanding 10 persen terbawah. Yang lain ketimpangannya jauh lebih besar.
Implikasinya, setiap rupiah subsidi BBM akan menambah ketimpangan pendapatan masyarakat. Dengan kata lain, kita memungut pajak (termasuk dari orang miskin melalui pajak pertambahan nilai) kemudian digunakan menyubsidi orang kaya. Masya Allah! Dalam APBN 2004, misalnya, pemerintah menganggarkan subsidi BBM Rp 63 triliun, jauh di atas pengeluaran pendidikan yang cuma Rp 11 triliun. Tahun 2005, walaupun subsidi mungkin turun sejalan dengan perkiraan harga minyak di sekitar US$ 32 per barel, subsidi BBM tanpa kenaikan harga bisa mencapai Rp 45 triliun.
Jangan lupa pula pengeluaran subsidi yang membengkak menyebabkan anggaran lain harus dikorbankan, termasuk biaya pemeliharaan infrastruktur. Jika dilihat pola konsumsinya, konsumsi BBM cenderung urban bias. Jadi, mempertahankan subsidi bukan hanya memperburuk distribusi pendapatan tapi juga memperlebar (kembali) disparitas pendapatan Jawa-luar Jawa dan desa-kota. Pencabutan subsidi jelas akan membebani masyarakat dalam jangka pendek karena akan menaikkan inflasi 1,5 hingga 2 persen. Tapi itu merupakan harga yang harus kita bayar bersama.
Pengurangan subsidi tidak akan berarti tanpa diikuti kebijakan kompensasi. Simulasi dengan menggunakan Keputusan Presiden Tahun 2002 sebagai patokan akan memberikan tambahan dana bagi pemerintah Rp 18,6 triliun. Jika menggunakan harga minyak US$ 32 per barel, akan ada tambahan pendapatan Rp 25 triliun. Penghematan ini sebaiknya difokuskan pada beberapa kegiatan, yaitu pen-didikan, baik dengan menambah biaya pemeliharaan maupun rehabilitasi SD dan SMP, atau menghilangkan semua pungutan secara universal, mulai dari BP3 hingga buku pelajaran?diperkirakan membutuhkan Rp 6-8 triliun. Rehabilitasi gedung sekolah juga akan menciptakan lapangan kerja.
Sektor kedua adalah angkutan umum perkotaan yang diperkirakan membutuhkan tambahan dana Rp 400 miliar. Sektor ketiga adalah pembangunan infrastruktur jalan yang memerlukan Rp 18 triliun?tambahan Rp 6 triliun setiap tahun di atas plafon yang ada akan membantu percepatan perbaikan infrastruktur.
Sektor keempat, jika tarif dasar listrik tidak dinaikkan pada 2005, kenaikan BBM akan menaikkan biaya produksi sehingga PLN membutuhkan tambahan subsidi Rp 2,9 triliun. Beban subsidi bisa berkurang jika pasokan gas bagi PLN segera disediakan. Sebagai gambaran, jika semua PLTG dan PLTGU digerakkan dengan gas, akan ada penghematan subsidi Rp 3 triliun. Tapi hanya 20 persen dari penghematan ini bisa direalisasikan tahun depan, sehingga tambahan subsidi PLN adalah Rp 2,3 triliun.
Kalau kompensasi ini bisa direalisasikan, akan ada sisa Rp 2 triliun yang bisa dipakai memperbaiki jaringan irigasi sekunder di Jawa. Sisa anggaran makin besar jika ke-naikannya dilakukan berdasarkan harga minyak US$ 32 per barel?komponen subsidi cukup besar karena harga minyak sekarang jauh di atas US$ 32 per barel.
Dalam jangka menengah, pemerintah juga harus menyiapkan pilihan energi yang lebih beragam, termasuk menyediakan gas kota. Jika gas kota bisa dialokasikan untuk rumah tangga dan angkutan umum, penghematan subsidi kian besar. Penerbitan comfort letter oleh pemerintah akan memberikan insentif yang cukup besar bagi investor swasta untuk menanamkan dana dalam pembangunan jaringan gas kota dan stasiun gas.
Untuk mendapatkan dukungan publik, sangat penting bagi pemerintah membuka wacana perdebatan publik dengan memaparkan perhitungan-perhitungan di atas secara transparan. Dukungan rakyat sangat penting mengingat rencana pemerintah mengurangi subsidi secara bertahap dan memberikan subsidi tertarget. Kompensasi lain bisa digunakan dengan menggabungkan kebijakan tidak populer ini dengan upaya populer di bidang hukum berupa pemberantasan korupsi. Ambil beberapa kasus besar korupsi dan lakukan sebelum dan bersamaan dengan pengumuman kenaikan BBM. Langkah seperti ini akan mengurangi resistensi masyarakat dalam menolak kebijakan pengurangan subsidi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo