Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebebasan pers adalah unsur terpenting dalam mewujudkan keterbukaan informasi. Apalagi dalam era reformasi saat ini, perolehan informasi adalah hak asasi setiap manusia. Tapi sangat disayangkan, kebebasan pers di Indonesia kembali terancam. Pasalnya, dengan pengajuan gugatan perdata dan tuntutan pidana secara bertubi-tubi terhadap majalah Tempo dan Koran Tempo, hal itu dapat menjadi preseden buruk terhadap kebebasan memperoleh informasi, demokrasi, dan kepastian hukum di Indonesia.
Kekhawatiran tersebut cukup beralasan melihat banyaknya perkara pidana dan perdata terhadap Tempo. Perkara Tempo yang pertama adalah gugatan pencemaran nama baik, yang mewajibkan Tempo membayar ganti rugi yang fantastis, US$ 1 juta. Selanjutnya Tempo juga menghadapi tiga gugatan perdata?semuanya gugatan pencemaran nama baik?masing-masing satu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dua di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ketiga perkara ini masih dalam proses banding.
Belum lagi tuntas perkara itu, Tempo kembali dituntut secara pidana karena melakukan pencemaran nama baik dan fitnah (berita bohong). Dalam perkara pidana yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini Tempo kembali kalah. Dalam vonisnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum 1 tahun penjara Pemimpin Redaksi Tempo, Bambang Harymurti.
Jika ditelusuri lebih lanjut, ada kejanggalan dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut. Melihat dasar yang hukum yang digunakan, jaksa penuntut umum memakai pasal tentang pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP) dan pasal tentang fitnah (Pasal 311 KUHP) yang ada dalam KUHP. Padahal negara Republik Indonesia sejak tanggal 23 September 1999 telah mengundangkan UU No. 40/1999 tentang Pers (UU Pers).
UU Pers dibuat dengan semangat menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan bangsa. Prinsip undang-undang ini adalah bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat menurut hati nurani dan hak memperoleh informasi adalah hak asasi manusia yang sangat hakiki dan mutlak harus dijamin.
Begitu pula dalam Pasal 8 UU Pers diatur bahwa wartawan mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya. Dengan adanya perlindungan hukum, wartawan berhak atas jaminan perlindungan saat melaksanakan tugasnya. Kebebasan pers juga sangat penting dalam penegakan demokrasi.
Dalam dakwaan kasus Tempo, jaksa penuntut umum juga mendakwakan adanya penyertaan (Pasal 55 KUHP). Namun anehnya wartawan yang ikut dalam penyertaan justru dibebaskan dari tuntutan. Tampaknya, majelis hakim berpendapat bahwa permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers di media adalah tanggung jawab pemimpin redaksi, bukan tanggung jawab wartawan. Padahal pemikiran seperti ini tidak lazim dalam hukum pidana.
Jika kita menengok pada perkembangan KUHP di Belanda, pasal mengenai pencemaran nama baik (smaad/ slander) yang diatur dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP dan pasal mengenai fitnah (laster) yang diatur dalam Pasal 311 KUHP sendiri telah dihapuskan. Bahkan lebih lanjut, menurut Prof. Jan De Meij, tidak ada lagi pencemaran nama baik dan fitnah dalam hal kebebasan pers, apabila ada niat baik dan dilakukan atas dasar untuk kepentingan umum.
Di Belanda sendiri, negeri yang tidak memiliki UU Pers, kasus seperti Tempo tidak lagi dapat dipidanakan, tetapi justru dikategorikan sebagai perkara perdata dan ganti ruginya juga tidak besar. Di negeri itu, kasus pelanggaran terhadap pers tergolong perkara perdata yang proses pengadilannya memakan waktu singkat (kort geding)?hal yang sebetulnya diatur dalam HIR yang berlaku di Republik Indonesia.
Justru pada hakikatnya, putusan atas perkara pelanggaran pers dalam kasus Tempo adalah salah satu bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan pers. Artinya, ini adalah langkah mundur dalam perkembangan demokrasi. Penggunaan ketentuan KUHP dalam pelanggaran pers kasus Tempo jelas tidak tepat dan terkesan dipaksakan. Mengapa? Karena pada prinsipnya KUHP berfungsi memberikan sanksi terhadap pelaku kriminal biasa dengan maksud untuk membuat si pelaku menjadi jera, bukan dimaksudkan terhadap insan pers.
Alasan mengapa harus digunakan UU Pers terhadap masalah yang timbul karena pemberitaan yang dianggap salah, tidak akurat atau fitnah, adalah karena UU Pers dibuat untuk maksud menyelesaikan permasalahan pers sebagaimana maksud pembuat undang-undang semula. Karena itu, penggunaan KUHP untuk masalah pers adalah di luar maksud dan tujuan pembentukan UU Pers. UU Pers di sini bukanlah lex specialis dari KUHP, tetapi merupakan undang-undang yang berdiri sendiri. Sebab, baik dari segi maksud dan tujuan maupun dari segi fungsi dan sifatnya pun UU Pers jelas berbeda dengan KUHP.
Berpijak dari hal tersebut, jelas bahwa putusan terhadap Pemimpin Redaksi Tempo telah menyimpang dari prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Kebebasan untuk memperoleh informasi, kebebasan pers, kebebasan mengemukakan pendapat, demokrasi, dan kepastian hukum sekali lagi terancam di negeri ini hanya demi mempertahankan kepentingan sekelompok orang. Sungguh memprihatinkan.
Semoga kelak tidak ada lagi insan pers yang dipidana dengan KUHP. Penghukuman secara perdata dan pidana yang berlebihan adalah pengingkaran terhadap kebebasan pers dan menafikan rasa adil yang berkembang dalam masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo