Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Alma, pelajar di sebuah sekolah swasta Jakarta Selatan, mengambil air mineral kemasan secara acak dari dalam lemari pendingin di sebuah warung. Selesai minum dua pertiga bagian, botol itu diletakkan di pinggir lapangan, dan ia kembali bergabung dengan teman-temannya bermain basket.
“Memang berbahaya kalau kena sinar matahari?” ujarnya seolah tak peduli kepada Info Tempo, Sabtu, 6 Juli 2024. “Memang ada peraturan bahaya kandungan di dalam botol, apa namanya, BPA? Belum pernah denger, tuh.”
Pendapat serupa diucapkan temannya, Chris, yang mengaku belum mendengar ihwal peraturan air kemasan harus mencantumkan label BPA. “Sempat ramai sih lihat di medsos, tapi kayaknya netizen jadi saling berdebat, deh,” kata dia.
Muhammad Mufti Mubarok, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional atau BPKN, mengakui masih minimnya sosialisasi tentang kewajiban air minum dalam kemasan (AMDK) mencantumkan label BPA. Padahal peraturan tersebut sudah diundangkan melalui Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
“Padahal sudah sejak April, kan. Sampai tiga bulan ini (Juli) kok sepertinya nggak terdengar apa-apa,” ucap Mufti. Sebab itu, ia akan mendorong BPOM segera menjalankan sosialisasi. “Kami mendesak BPOM segera sosialisasi, memberi juknis (petunjuk teknis) kepada produsen, karena ini informasi penting bagi konsumen.”
Sebagai lembaga perlindungan konsumen yang dibentuk pemerintah, BPKN menyatakan siap mengawal regulasi ini, bahkan membantu BPOM untuk sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.
“Kita punya banyak LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) se-Indonesia. Ada komunitas di kampus dan sekolah. Kita siap kalau BPOM minta BPKN melakukan sosialisasi supaya edukasi tentang peraturan ini lebih terstruktur, sistemik, dan masif,” tutur pria asal Jawa Timur itu.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tubagus Haryo menjabarkan lebih detail langkah sosialisasi yang patut dijalankan BPOM. Pertama, melalui kampanye edukasi yang masif melalui media sosial, televisi, radio, dan media cetak.
Kedua, mengadakan workshop dan seminar untuk produsen dan konsumen tentang bahaya BPA dan pentingnya peralihan ke kemasan BPA-free. Ketiga, bekerja sama dengan asosiasi industri untuk memastikan produsen memahami dan menerapkan peraturan ini.
“Terakhir, jangan lupa mengintesifkan pengawasan dan inspeksi terhadap produsen untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan baru ini,” kata Haryo.
Haryo memastikan YLKI berlanjut mendorong BPOM untuk melakukan audit dan inspeksi secara berkala untuk memastikan produsen mematuhi peraturan ini. “BPOM juga harus memberikan sanksi tegas bagi produsen yang tidak mematuhi peraturan ini,” ujarnya.
YLKI juga akan menjalankan fungsi advokasi guna memastikan memberikan informasi yang transparan mengenai pergantian kemasan ke BPA-free. Salah satu langkah dengan mendorong produsen menggunakan label yang jelas dan mudah dipahami oleh konsumen mengenai produk BPA-free.
Haryo menyadari, Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 mungkin akan menimbulkan polemik. Dari sisi konsumen, boleh jadi menimbulkan kebingungan menetapkan produk yang aman, apalagi jika informasi yang diberikan kurang jelas.
Sedangkan dari sisi produsen mungkin mengalami kesulitan dalam menyesuaikan proses produksi dan biaya tambahan untuk beralih ke kemasan BPA-free. “Karena itu, YLKI akan bekerja sama dengan BPOM untuk mengatasi potensi polemik ini melalui edukasi yang tepat dan dialog yang konstruktif antara semua pihak yang terlibat,” kata Haryo menegaskan. (*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini