Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - “Pulang Malu, Tak Pulang Rindu”. Jargon yang tertulis di belakang sebuah truk lengkap dengan lukisan gadis cantik tersenyum manis itu, mengundang senyum sekaligus rasa simpati. Membayangkan kondisi sang pengemudi yang telah menempuh ribuan kilometer demi mencari rezeki bagi keluarganya. Sungguh kehidupan yang sunyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini, reputasi para pengemudi truk adalah para “raksasa jalan”. Dengan badan truk yang besar dan gagah, mereka melintasi jalan di semua penjuru negeri, menjangkau tempat-tempat yang jauh. Tak jarang langkah “raksasa” mereka menelan korban jiwa. Akibatnya, stigma negatif melekat pada mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesungguhnya pekerjaan mereka tidak boleh dipandang sebelah mata. Jika diperhatikan kehadiran truk dan pengemudinya juga menjadi penanda menggeliatnya perekonomian suatu daerah. Pasalnya, merekalah yang menjadi ujung tombak distribusi di pelosok negeri. Merekalah yang membawa aneka hasil bumi, seperti buah, sayur, dan palawija, dari desa untuk orang-orang di kota. Mereka juga yang menghadirkan barang-barang sandang, papan, hingga barang elektronik, seperti kulkas, televisi, bahkan sepeda motor, dan mobil, hingga ke desa. Tak ada barang yang tak terangkut.
Tak hanya itu, kehadiran pengemudi truk juga menghidupkan usaha-usaha kecil di sepanjang jalur yang dilintasi. Contohnya, warung-warung makan dan penginapan kecil yang menjamur di sepanjang jalur Pantai Utara (Pantura). Mereka juga menjadi pembuka jalan bagi daerah-daerah yang terisolir.
Semua itu karena para pengemudi truk itu rela mengarungi jalanan hingga ribuan kilometer, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, terpisah jauh dari keluarga atau orang-orang yang mereka sayangi. Mereka menjalani kehidupan yang terisolasi dengan kondisi seadanya. Penghasilan yang diperoleh pun kerap jauh dari yang diharapkan karena mereka menggunakan sistem mitra. Rata-rata gaji sopir truk sekitar Rp 4 juta–Rp 5 juta per bulan.
Padahal, pekerjaan sebagai sopir truk bukanlah pekerjaan yang mudah. Pasalnya, truk adalah kendaraan berbadan besar yang membutuhkan kedisiplinan untuk mengendarainya. Bahkan untuk beberapa jenis truk, para pengemudi harus menguasai transmisi manual mengubah antara 13 hingga 18 kali rasio roda gigi. Itu jelas butuh fisik dan konsentrasi yang prima. Belum lagi menjalani kondisi jalanan, mulai mulus hingga berlubang-lubang, dari lurus sampai zig-zag.
Tak hanya itu, para pengemudi umumnya menjalani hidup yang tak teratur. Jadwal perjalanan yang dijalani bisa tak terduga. Hari ini bisa membawa barang ke daerah Jawa, besok ke Sumatera. Hal itu tentu membuat para pengemudi harus siap setiap saat menghadapi waktu tempuh yang tidak terduga. Para sopir truk ini juga harus siap jika sewaktu-waktu kendaraan yang mereka bawa menghadapi masalah. Semua itu masih ditambah dengan medan jalan yang berat atau berbahaya, serta berpacu dengan waktu agar barang yang dibawa bisa tiba tepat waktu dan tidak rusak.
Tak heran jika profesi sebagai sopir truk kurang diminati. Namun tak sedikit dari mereka meningkatkan kompetensi melalui sertifikasi agar lebih profesional, lebih dihargai dan kemungkinan kecelakaan lebih kecil.
Tuntutan pekerjaan dan berbagai ancaman dan risiko membuat pekerjaan sebagai sopir truk tidak mudah. Tak heran jika banyak dari mereka akhirnya menyalurkan curahan hati pada tempelan di belakang truk. Mulai curhat soal selingkuhan hingga ekonomi yang pas-pasan. Sebuah penyaluran yang menghibur sekitar sekaligus gambaran ironi kehidupan dari sang “raksasa jalanan”.
Jadi, ingatlah ketika Anda sedang membaca tulisan di bak belakang, di sana ada pelayanan, perjuangan, dan pengorbanan para sopir truk. Karena itu, patutlah kita mengucapkan #terimakasihsopirtruk.