Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah Peristiwa Mei 1998, Wawasan Kebangsaan Masyarakat Tionghoa Tetap Tumbuh

Paska terjadinya kerusuhan, etnik Tionghoa di Indonesia semakin aktif memperlihatkan kepada publik bahwa mereka sama seperti komponen bangsa Indonesia lainnya.

16 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Johanes Herlijanto, Ketua Forum Sinologi Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peristiwa Mei 1998 silam, memang menimbulkan kegetiran yang sangat dalam bagi etnik Tionghoa. Namun, menurut Ketua Forum Sinologi Indonesia Johanes Herlijanto, tragedi itu tidak mengerus semangat kebangsaan Indonesia di kalangan orang-orang Tionghoa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan pengamatannya, selama dua dasawarsa lebih, paska terjadinya kerusuhan tersebut, etnik Tionghoa di Indonesia semakin aktif memperlihatkan kepada publik negeri ini, bahwa mereka pun orang-orang Indonesia, sama seperti komponen bangsa Indonesia lainnya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan, kalangan Tionghoa terjun untuk mewujudkan partisipasi pada kegiatan sosial dan politik yang ada sehingga kontribusi dalam masyarakat Indonesia tetap berjalan," kata dia.

Herlijanto menilai kegiatan sosial dan politik tersebut bisa memperbaiki berbagai stereotip yang telah melekat selama berdasawarsa, antara lain mengenai kualitas wawasan kebangsaan mereka.

Namun, dalam pandangan ahli Tionghoa sekaligus dosen Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan ini, kenyataan sejarah menunjukkan etnik Tionghoa sejatinya telah mengalami proses akulturasi selama berabad di Nusantara. "Akulturasi tersebut membentuk sebuah jati diri tersendiri sebagai orang Tionghoa Peranakan Indonesia, yang khas dan unik, dan tidak lagi memiliki hubungan, dengan masyarakat maupun pemerintah yang berkuasa di daratan Tiongkok,” ujarnya.

Padahal, Herlijanto melanjutkan, tak sedikit tokoh-tokoh Tionghoa yang memiliki andil penting dalam proses pembangunan kebangsaan Indonesia. Studi mengenai politik peranakan Tionghoa di Jawa, yang ditulis oleh Leo Suryadinata pada tahun 1979, sebenarnya cukup untuk memperlihatkan bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia bukan melulu terdiri dari orang-orang yang menganggap diri asing dan berorientasi pada daratan Tiongkok.

Bahkan sebelum Republik Indonesia berdiri, terdapat sekelompok aktivis politik Tionghoa yang mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dibawah pimpinan Liem Koen Hian, mereka membentuk Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932. Partai ini bahkan tidak memperbolehkan kaum Tionghoa totok, yaitu mereka yang baru berimigrasi dari Tiongkok dan berorientasi pada daratan Tiongkok, menjadi anggotanya. 

Pendirian untuk mengedepankan kebangsaan Indonesia terus dipertahankan oleh para tokoh Tionghoa pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Pasca kemerdekaan Indonesia, seruan agar orang-orang Tionghoa menjadi bagian dari bangsa Indonesia dan berpartisipasi aktif dalam membangun negeri ini makin menguat di kalangan para tokoh Tionghoa. 

Seruan tersebut disambut sejumlah besar orang-orang Tionghoa yang sejak berdirinya negeri ini telah memberi sumbangsih bukan hanya di bidang bisnis, seperti stereotip yang dilekatkan pada mereka, tetapi juga pada bidang pendidikan, hukum, bahkan militer. Bahkan semasa pemerintahan Orde Baru pun, tak sedikit tokoh Tionghoa berperan sangat penting dalam bidang seni dan budaya nasional Indonesia.  

Memasuki era Reformasi, seiring dengan makin meningkatnya iklim demokrasi di Indonesia, partisipasi etnik Tionghoa dalam dunia politik, sosial, dan seni budaya pun semakin terlihat. Terciptanya masyarakat Indonesia yang makin demokratis meningkatkan peluang bagi etnik Tionghoa untuk lebih berperan dalam membangun wajah Indonesia yang bersifat multikultural dan mengedepankan toleransi antar etnik.

Karena itu, bagi Herlijanto, pertanyaan mengenai loyalitas Tionghoa sejatinya telah usang. “Namun sayangnya, pertanyaan usang tersebut masih kerap dilontarkan kembali, khususnya di kalangan masyarakat yang menyebut diri sebagai 'Pribumi'," kata dia.

Dalam pandangan Herlijanto, ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pegiat Tionghoa yang sedang berjuang untuk melawan stereotip yang mempertanyakan semangat keindonesiaan mereka. “Merujuk pada pernyataan Professor A. Dahana, guru besar Sinologi yang turut membidani berdirinya FSI, saya memandang pentingnya para pemimpin masyarakat Tionghoa untuk menyikapi hubungan dengan Tiongkok secara bijak, karena itu berpotensi menyentuh perasaan dan sensitivitas dalam masyarakat 'Pribumi'," kata dia.

Iklan

Iklan

Artikel iklan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus