Usianya Mei ini 30 tahun, tapi baru belakangan nama Bank Internasional Indonesia (BII) menonjok ke atas -- peringkat ketiga bank swasta nasional 1989, di belakang Bank Duta dan BCA. Ini terjadi setelah ditangani Eka Tjipta Widjaja, pengusaha kawakan bertangan dingin. Cita-citanya ingin menjadikan BII "supermarket" lembaga keuangan dan dengan "pelayanan melekat" bertekad menjembatani bisnis dunia. Sebuah gedung baru, jangkung, berdinding kaca, dalam warna keemasan, tampil monumental sejak satu-dua tahun ini di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Satu lagi bangunan cantik menghias Ibu Kota. Satu lagi tonggak pembangunan dipacakkan, bagai hendak mengisyaratkan laju pertumbuhan perekonomian bangsa menyongsong era lepas landas. Tapi siapa punya? Dua puluh enam huruf yang tertera di puncak bangunan menyatakan siapa pemiliknya: Bank Internasional Indonesia (BII). Sebuah bank swasta baru, sangka orang tadinya. Ternyata sudah cukup dewasa. Mei ini BII berusia 30 tahun? Tak salah. BII sungguh didirikan pada 1959, tepatnya 15 Mei tahun tersebut. Tapi, mengapa kurang dikenal? Perihal citranya yang low profile ini bisa dicari sebabnya pada perkembangannya yang tak menonjol sejak bank itu didirikan, kendati keadaannya sebagai lembaga keuangan cukup sehat. Rupanya, kelompok pengusaha yang mendirikan BII pada tahun 1959 itu punya kegiatan usaha lain, hal yang turut berperan pada agak tertahannya kemajuan bank tersebut. Menyadari keterbatasan waktu, dan mungkin juga dana, mereka akhirnya memilih memindahtangankannya. Toh kemajuan BII di tangan kedua tetap berjalan di tempat. Agak kabur sebab-musababnya. Tapi yang jelas, bank ini kembali dialihtangankan. Penerima tongkat estafet tingkat ketiga itu bernama Oei Ek Tjong, alias Eka Tjipta Widjaja, seorang pengusaha dari Ujungpandang yang berpengalaman menangan berbagai kegiatan bisnis. Kendati hanya berpendidikan sekolah dasar, ia sejak kecil terbiasa berusaha, membantu orangtuanya sambil mencari uang saku dari hasil keringat sendiri. "Pada usia 15 tahun," papar Eka, "subuh-subuh, sebelum ke sekolah, saya lebih dulu kelual menjajakan kue-kue." Dengan pencarian sendiri itu, ia berniat melanjutkan sekolahnya. Rupanya Eka lebih tertarik terjun langsung ke dalam praktek di lapangan. Hasilnya, ia mengantungi beragam pengalaman berusaha, dari berdagang minyak kelapa, menjadi kontraktor, mengelola pabrik roti milik sendiri -- dengan segala jatuh dan bangunnya. Ia juga bergiat di bidang ekspedisi, mengirim barang-barang milik Angkatan Darat ke Sulawesi Utara. Pindah ke Surabaya pada 1950an, ia berdagang tekstil. Berikutnya terjun di bidang perdagangan kopra, sampai ia menguasai pasar kopra dan minyak kelapa di Jakarta, Surabaya, Sulawesi, dan Maluku. Eka juga pernah berjualan kain cita. Setelah melotok di bidang perdagangan, sebagian minatnya mulai beralih ke sektor industri. Dari pengalaman berdagang minyak kelapa timbul keinginan mendirikan pabriknya. Cita-citanya terlaksana pada 1970, dengan membangun pabrik minyak kelapa Bimoli di Bitung, Sulawesi Utara. Pabrik yang namanya merupakan akronim dari "Bitung Manado Oil Limited" ini hingga sekarang masih mampu bersaing bahkan relatif mengungguli produk minyak kelapa dari merek lainnya. Ia mengolahnya bukan saja dari buah kelapa, tetapi juga dari kelapa sawit, seperti yang dianjurkan pemerintah. Pengalamannya berjualan tekstil membuahkan gagasan pendirian pabrik bahan sandang. Berpatungan dengan mitra dari Hongkong, Eka mendirikan Superbitex dan Grandtex, 1971. Kedua pabrik tekstil ini berlokasi di Bandung. Sebelas tahun kemudian, Grandtex dijualnya. Eka juga membangun pabrik kertas di Mojokerto, Jawa Timur. Terlalu panjang untuk menyebut nama-nama pabrik milik Eka satu per satu. Tapi pada pokoknya ia bergerak di bidang-bidang perkebunan (terutama kelapa sawit) industri kertas industri kimia proyek perumahan produk-produk konsumsi sehari-hari (susu kaleng, sabun, minyak goreng) asuransi, dan peternakan. Berpatungan dengan pengusaha biskuit Khong Guan Singapura, ia juga mendirikan pabrik serupa di Surabaya. Lalu, sekarang, mengapa Eka Tjipta Widjaja tertarik terjun dalam bisnis perbankan? Ini sebenarnya cita-cita lamanya. Sebagai pengusaha yang baik, dalam diri Eka melekat prinsip: kalau hanya mampu bertahan, alias tidak berkembang, berarti kemunduran. Jadi, seperti juga inovasi, diversifikasi merupakan jurus wajib bagi pengusaha yang tidak cuma puas berjalan di tempat. Apalagi bagi pengusaha yang sukses seperti Eka, tantangan-tantangan baru bagaikan gimnastik, yang melancarkan aliran darah di dalam tubuh. Kendati tanpa sesuatu pendidikan formal di bidang keuangan dan perbankan, tapi itu tidak menjadi kendala bagi Eka untuk melaksanakan cita-citanya. Ia bisa merujuk pada buku-buku, dan dengan itu ia menjadikan diri-otodidak. Usaha bidang perbankan, yang dianggapnya sebagai "bisnis terpandang", memotivasi dirinya. Ketika niatnya sudah bulat, iklim dunia perbankan Indonesia sedang kurang menggembirakan. Masih dipagut regulasi -- izin pendirian bank sudah tertutup. Sesaat ia terhenyak. Lalu dengan tidak terduga-duga datang pemilik tahap kedua BII menawarkan pengalihan bank tersebut pada tahun 1982, yang langsung disambutnya. "Tapi saya tidak mau tergopoh-gopoh," kata pengusaha yang sangat berpengalaman itu. Ia harus menelitinya lebih dulu dengan secermat-cermatnya. "Ternyata bank kecil itu cukup sehat," ungkapnya pula. Sebagai realisasi dari tekad dan keyakinannya, Agustus 1982 Eka menutup 70% saham BII. Dan hanya dalam beberapa bulan kemudian ia mengambil alih seluruh saham bank tersebut. Assetnya ketika itu hanya Rp 13 milyar, dengan satusatunya kantor cabang di kawasan Jembatan Merah, Surabaya. BII, yang ketika itu berpusat di Jakarta Barat (Kota), mulai dibenahi. Beruntung ia mempunyai seorang putra, Indra Widjaja, yang menyelesaikan ilmu manajemen bisnis industri di Universitas Nanyang, Singapura, 1974. Walaupun anaknya itu sedang memimpin pabrik minyak goreng Bimoli di Manado, ia tetap dipanggil ke Jakarta untuk menjabat wakil presiden direktur BII. Sambil merekrut tenaga-tenaga profesional -- konon yang terbaik di Jakarta, karena berasal dari bankbank swasta dan pemerintah yang terkenal -- Eka bersama stafnya menetapkan filosofi perusahaan. Sebagai bank yang ingin menekankan pada pelayanannya, menurut Eka, kualitas manusia yang bergabung dalam BII menjadi perhatian utama. "Manusia yang siap bekerja keraslah yang menjadi pilihan BII," katanya. Manajemen lalu berusaha meningkatkan modal dasar bank, yang didukung penuh oleh para pemegang saham, dengan meningkatkan jumlahnya jadi Rp 60 milyar. Karena itu, Anggaran Dasar BII pun, dalam hal ini butir Modal Dasar, mengalami revisi. Upaya ini tampaknya akan segera terpenuhi, meski dalam ancer-ancernya baru tercapai 10 tahun kemudian. Menurut Indra modal yang disetor kini telah mencapai Rp 38,5 milyar, sehingga iaamat optimis jumlah modal dasar yang ditingkatkan menjadi Rp 60 milyar itu bakal segera terealisasi. "Karena jumlah modal yang disetor dan laba yang ditahan saat ini sudah mencapai Rp 50 milyar," ujar sang wapresdir. Hendaknya dicatat, dengan posisi permodalan itu, BII dewasa ini menempati peringkat ketiga di antara 65 bank swasta nasional (menurut catatan Perbanas, Maret 1989), setelah Bank Central Asia (BCA) dan Bank Duta. Prestasi yang lumayan mencengangkan. Ini jelas hasil dari filosofi perusahaan yang tepat, kebijaksanaan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan, dan, sekali lagi, penanganan sumber daya manusianya. Untuk menghimpun tenaga-tenaga profesional yang terbaik ke pihaknya, apa boleh buat, BII terpaksa merekrutnya dari "limpahan" bank-bank asing dan pemerintah. Sebut nama Boediarto Boentaran, misalnya, berasal dari Chase Manhattan Taiwan, yang sebelumnya bertugas pada bank yang sama di Jakarta. Boedi bergabung dengan BII pada 1984. Dialah, bersama para rekan "mantan" bank-bank asing lainnya, yang membantu menggerakkan roda BII. Sambil menerima "limpahan" tenaga profesional dari luar, BII juga membenahi kemampuan tenaga yang sudah ada sebelumnya yang ini juga berarti meningkatkan keterampilan seluruh karyawan, lama maupun baru. Bahkan yang sudah dianggap ahli pun perlu mengalami peningkatan lebih jauh, minimal penyegaran. Karena baik manajemen modern yang diterapkan maupun perangkat mutakhir yang digunakan (komputer dan sejenisnya, umpamanya) terus menerus mengalami pembaruan dan perbaikan -- yang jelas perlu diantisipasi. Untuk mendukung kebijaksanaan yang mendasar ini, BII menyelenggarakan program pengembangan manajemen, yang disebut dengan Management Development Program (MDP). Dari berlangsung dua kali setahun, MDP kini ditingkatkan menjadi tiga kali dalam setahun. Setiap angkatan menghimpun 30 sampai 50 peserta. Di sana tersedia fasilitas pendidikan yang baik, termasuk tempat praktek, diikuti praktek langsung di lapangan (bank). Para peserta bahkan mendapat semacam "imbalan". MDP, yang berasal dari gagasan Boediarto, bukan cuma menggunakan tenaga pengajar dari para pimpinan BII sendiri -- yang nota bene berpengalaman di sejumlah bank asing dan pemerintah yang terkemuka. Program pendidikan tersebut juga memanfaatkan jasa para pakar perbankan dari luar. "Tujuannya jelas, untuk mendapatkan tenaga terampil yang siap pakai," papar Boedi. Tenaga terampil yang siap pakai memang diperlukan menghadapi persaingan antar-bank yang kian tajam. Di samping itu, juga untuk memenuhi kebutuhan tenaga berkenaan dengan upaya pelebaran sayap BII, yang merencanakan sudah memiliki 25 cabang pada akhir 1989. Sekarang, bank ini telah mempunyai 19 cabang -- suatu peningkatan dari jumlah 11 cabang sebelumnya, yang diakui sebagai dampak positif Paket Kebijaksanaan Perbankan 27 Oktober 1988 (Pakto 27). Jumlah cabang yang akan didirikan dalam lima tahun mendatang lebih dari empat kali lipat dari yang dimilikinya sekarang. "Seratus cabang," sebut Eka, didampingi Hidayat Tjandradjaja, direktur Kredit dan Pemasaran BII, yang juga tadinya bekerja di Chase Manhattan Bank. MDP memang seperti dipacu untuk memenuhi kebutuhan BII akan tenaga terampil yang siap pakai kendati karenanya bank tersebut harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit. Yaitu Rp 2 milyar setahun. Bagaimana membuat para karyawan merasa betah di BII juga dianggap tak kurang penting oleh pendiri dan para pemegang sahamnya. Di samping memberikan imbalan yang sepadan dan memperhatikan kesejahteraan mereka, para karyawannya juga mendapat kesempatan berinisiatif dan berkreasi serta mengemukakan gagasan-gagasannya. Ini pada gilirannya dapat menimbulkan rasa ikut memiliki pada diri setiap insan BII, yangbanyak berperan dalam mencegah mereka tergiur dengan tawaran bekerja di tempat lain. Soalnya, tawaran imbalan yang lebih tinggi tidak selamanya merupakan senjata ampuh para pembajak -- faktor yang bersifat manusiawi (kenyamanan kerja, rasa dihargai) acapkali lebih berperan. Masih dalam kaitan ini, Hidayat melihat bahwa bank sebagai organisasi yang relatif mapan, biasanya memberlakukan penjenjangan karier secara ketat. Ketat tentu tidak usah berarti kaku, karena salah-salah bisa membuat seseorang karyawan mengambil jalan pintas: menerima tawaran yang dianggap menggiurkan dari bank lain. Suasana kerja seperti itu yang agaknya membuat banyak profesional perbankan "lari" ke BII. Termasuk Philip H. Soelistio, general manager Kredit dan Pemasaran, yang sebelumnya bergabung dengan Chase Manhattan Bank. Juga Okkie Monterie yang menjabat direktur. BII memang bermula dari perusahaan keluarga, tapi tidak menyumbat "naik ke atas"nya karyawan yang bukan anggota keluarga -- biji plus lainnya yang menarik para profesional datang berhimpun di sekelilingnya. Sambil meniadakan sistem kekeluargaan dalam perekrutan tenaga, kata Hidayat, "Para pemegang saham di sini sangat menghargai profesionalisme." Philip memperkuat pernyataan rekannya dengan mengakui bahwa berbagai kenyamanan itulah yang mendorong dia ikut bergabung. Bahkan, ada rekannya, yang sempat tergiur oleh kedudukan tinggi yang ditawarkan oleh sebuah bank asing, ujung-ujungnya kembali lagi ke BII. Ternyata suasana dan kondisi bank nasional ini lebih menawan. * Setelah membenahi hal-hal yang dianggap penting bagi perkembangan dirinya -- filosofi, modal, sumber daya manusia -- BII melangkah lebih lanjut. Jauh sebelum Pakto 27, bank ini sudah duluan melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk menjadikannya bank devisa. Sambil mempersiapkan kondisi karyawannya sesuai sasaran, mereka menjalin korespondensi dengan pelbagai bank internasional. Begitu Pakto 27 keluar, mereka langsung mengajukan diri, dan hanya beberapa minggu kemudian sudah diizinkan beroperasi sebagai bank devisa. "Pemerintah melihat BII cukup sehat dan sudah siap berperan sebagai bank devisa," ujar Indra Widjaja. Berkat namanya, Bak Internasional Indonesia, BII konon lebih leluasa bergerak menjalankan misi barunya. Begitu izin tadi dikeluarkan pada November 1988, para nasabah dengan serta-merta menyambut dengan hangat. Buktinya, pada pekan pertama Desember tahun itu juga, letter of credit (LC) pertama dibuka, dan pada Maret 1989 sudah dibuka lebih dari 350 LC. "Terpaksa kami bendung dulu," ungkap Heru Budiman, direktur Urusan Luar Negeri BII, yang, lagi-lagi, "limpahan" dari Chase Manhattan. Mengapa dibendung, ya karena prinsip mengutamakan pelayanan tadi, berkenaan kemampuan tenaga yang ada sekarang. Ditambahkan oleh Heru, begitu izin bank devisa keluar, langsung sembilan mata uang asing diperjualbelikan transaksinya dengan BII. BII dan pelayanan tampaknya sudah melekat. Ditupang oleh Pakto, yang memberi peluang bagi konsolidasi diri, pelayanan semakin baik saja -- yang dalam hal ini ditupang oleh meningkatnya mutu para manajer. Seorang manajer yang baik memang harus mengarahkan operasi bank untuk hari esok dari sejak hari ini berdasarkan informasi hari kemarin. Dalam hal ini, komputerisasi di segala lini banyak membantu. Kalau di sini banyak disebut-sebut peran sejumlah profesional hasil "rembesan" bank asing dan pemerintah, tak berarti tenaga "asli" menjadi tak penting. Sebagai contoh dapat disebut nama Artine S. Utomo, kepala Cabang BII Jalan Juanda, Jakarta Pusat. Wanita karier ini adalah hasil tempaan MDP yang disebut tadi. Masih muda, giat, dan ulet. Antine adalah alumnus pentama program pendidikan manajemen tersebut. Cabang BII yang dipimpinnya termasuk banyak menarik nasabah. Ini, bisa jadi, karena ia mendapat otoritas penuh untuk menjalankan tugas yang dipercayakan kepadanya. Mengingat salah satu sasaran BII adalah meningkatkan hubungan dengan nasabah corporate banking, Artine tampaknya cukup jeli melirik berbagai perusahaan besar yang banyak terdapat di wilayah operasinya itu. Ini, tentu, tanpa harus menghiraukan peran consumer banking-nya. Soalnya, di antara para nasabhnya terdapat para klien yang memerlukan kredit pembelian rumah atau sepeda motor. Di sekitar Jalan Juanda, yang terletak di pusat kota Jakarta, itu memang banyak terdapat perusahaan besar -- yang membutuhkan jasa corporate banking -- dan karyawan mereka, yang memerlukan jasa consumer banking. Para kepala dan wakil kepala cabang BII ternyata hampir didominasi alumni MDP. Beberapa di antaranya malahan mendapat kesempatan menimba lebih jauh Stanford University Advanced Program dan Bank Management and Marketing Program oleh Asia Institute of Management, Pilipina. Rekan Artine, Suryadi, yang mengepalai Cabang BII Kebayoran Baru adalah "lepasan" Citibank. Cabang yang dipimpinnya lebih merupakan private bank. Penduduk kawasan orang berada ini sudah lebih memahami arti bank bagi keamanan uangnya. Toh para nasabahnya banyak juga terdiri dari para pemilik kedai dan pengusaha kecil di wilayah itu. "Kebayoran Baru memiliki pasar yang potensial," papar Suryadi. Agar mampu memberi pelayanan yang lebih baik, sebuah cabang pembantu sudah dibuka di wilayah yang berdekatan, Warung Buncit. Kalau penggalakan pembukaan cabang-cabang merupakan bagian dari pelayanan BII yang sudah melekat, komputerisasi adalah untuk mendudukkan bank tersebut sebagai "supermarket" lembaga keuangan -- hal yang menjadi cita-cita Eka. "Saya menginginkan, segala keperluan nasabah kami untuk transaksi dapat terlayani," cetus pengusaha kawakan itu. Berbagai produk sudah pula disiapkan, bahkan banyak di antaranya telah dilaksanakan. Kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan kendaraan bermotor, misalnya. Pertimbangan pemberian KPR amat rasional: setiap keluarga pasti memerlukan rumah tinggal, sehingga dana buat itu menjadi pemikiran utama untuk diupayakan. Karena membeli rumah secara kontan lebih kecil kemungkinannya bagi kebanyakan penduduk Indonesia, maka membeli secara angsuran lebih realis. Mengingat rumah kreditan biasanya langsung ditempati, risiko bagi bank kecil. Apalagi nilainya tak pernah susut. Tersedia peluang pasar lain bagi bank-bank. Yaitu memberikan pinjaman modal kepada perusahaan kecil -- tentunya yang berjalan baik, omset penjualannya meyakinkan, dan mantap. Tetapi mereka umumnya tidak memiliki tata administrasi yang baik dan baku, kecuali catatan seadanya, yang merupakan kendala untuk memenuhi persyaratan perbankan yang lazim. Agar kelompok ini tetap terlayani, BII mencoba melakukan terobosan. Yaitu dengan mendirikan anak perusahaan di bidang venture capital, yang mempermudah pemberian dana. Caranya, modal diberikan, perusahaan menikmati keuntungan dari sahamnya. Dan perusahaan venture capital itu sendiri menempatkan orang-orangnya untuk ikut mengelola perusahaan -- mungkin untuk batas waktu tertentu yang disepakati bersama. Bila masa kontraknya habis, perusahaan venture capital harus menjual kembali saham-saham yang dimilikinya kepada pemiliknya, atau kepada pasar modal. Ada produk BII lain -- yang tak kalah menariknya -- dan sudah pula disiapkan. Yaitu leasing company dan anjak piutang (factoring), yang membantu membiayai piutang nasabah untuk mempersehat cash flow-nya. Produk berikutnya, yang siap dipasarkan, adalah kredit pendidikan. Kredit jenis ini bukanlah bea siswa yang penerimanya harus "menabung" lebih dahulu. BII melalui kreditnya itu memberikan pinjaman lebih dahulu kepada mahasiswa yang sedang menyiapkan skripsinya dan memerlukan banyak dana. Juga bisa berupa pembayaran uang kuliah, yang kemudian mahasiswa yang bersangkutan atau orangtuanya dapat mencicil pinjamannya. Beragam produk yang hingga saat ini sudah dilayani BII, antara lain, adalah: KIK/KMKP untuk pengusaha lemah, dengan bunga rendah (12-15%) seperti dianjurkan pemerintah kredit ekspor kredit investasi, dalam rupiah maupun mata uang asing (dolar). BII juga siap menjadi pialang pasar modal guarantor membayar rekening telepon dan listrik membayar pajak (bekerja sama dengan BRI). Di samping itu, bank ini mendirikan usaha asuransi umum dan jiwa. Sebuah produk yang memberi nilai khusus dan menaikkan citra bank adalah pengeluaran kartu kredit VISA. Ny. Ryza Adam, direktur Operasi BII yang menangani BII VISA Center, mengemukakan alasan yang bernada sama. "Lepasan" Chase Manhattan Bank ini menyatakan, kerja sama BII dengan VISA dilakukan karena kartu kredit tersebut beredar luas secara internasional di banyak negara, dengan citra yang sangat universal. Manfaat besarnya pun diakui. "Dalam keadaan darurat, pemegang kartu kredit ini dapat menarik uang tunai dari bank-bank yang melayani kartu kredit VISA," katanya. "Atau melalui Automatic Teller Machine yang melayani VISA." Dan ternyata memang laris. Beberapa bulan setelah BII mengeluarkan VISA, 4.000 kartu kredit itu telah diterbitkan bank tersebut. "Ini menunjukkan kepercayaan masyarakat kepada BII," ia menegaskan. Risikonya memang ada. Bank bisa saja kebobolan, bila kartunya dipakai orang yang tak berhak. Kemungkinan ini dicoba amankan dengan bersikap agak "rewel" kepada pengguna kartu yang mencurigakan. Masih dalam rangka pengamanan, BII membuka pelayanan VISA selama 24 jam. Soalnya, penggunaan kartu ini berlaku di seluruh dunia, dengan perbedaan waktu yang beragam. Dengan membuka pelayanan sepanjang hari dan malam, kemungkinan yang merugikan tentunya dapat diketahui dan dikomunikasikan sedini mungkin, dan kemudian dicegah. Pemegang kartu kredit yang diminta melaporkan keberadaannya di sesuatu negeri pun menjadi dipermudah untuk berkomunikasi. "Kartu kredit memberi banyak kemudahan bagi pemakainya," ucap Boediarto. "Dan kini sudah menjadi kebutuhan sebagian masyarakat." Bank-bank pun bisa saling bantu dan bekerja sama, yang dapat memperakrab hubungan, yang tentu bermanfaat pula dalam memberantas jenis kejahatan di bidang perbankan lainnya, secara nasional maupun internasional. Soalnya VISA dikeluarkan oleh berbagai bank di seluruh dunia. "Kartu kredit akan menjadi produk paling menarik bagi bank-bank," masih kata Boediarto. Menurut dia, banyak daerah Indonesia yang masih belum terjangkau oleh pelayanan kartu kredit. Padahal kartu ini bukan saja memberi sejenis "gengsi" kepada pemegangnya, tetapi juga, terutama, lebihpraktis dan aman. "Kartu kredit memberi kredibilitas yang tinggi kepada pemegangnya," kata Boediarto sambil menyebut jumlah 200.000 pemegang kartu itu di seluruh Indonesia. Menyebarkan "budaya" kartu kredit tampaknya dianggap kian perlu. Kini hanya baru toko dan restoran besar yang melayani para pemaKainya. Bengkel-bengkel mobil sudah waktunya memberi pelayanan kartu kredit, kata seorang bankir. Soalnya, orang cenderung semakin enggan membawa-bawa uang tunai, kecuali untuk keperluan yang terbatas saja. Menurut Boediarto, nantinya kegiatan usaha yang tidak melayani kartu kredit akan dianggap ketinggalan zaman, dan ini merugikan yang bersangkutan. Dari sini ia menyimpulkan akan kian populernya kartu kredit, nantinya. Pasar untuk produk ini dilihat Ryza Adam masih terbuka lebar. Menurut dia, sekarang sudah banyak karyawan perusahaan swasta yang berpendapatan sekitar Rp 1,5 juta sebulan -- dan umumnya belum memiliki kartu kredit. "Itulah pasar VISA BII," katanya. Pasar ini mulai dicoba dekati. BII juga menerbitkan kartu kredit suplemen, untuk istri atau anggota keluarga lain pemilik kartu kredit. "Tentunya mereka perlu diingatkan agar menggunakannya berhati-hati, agar pembelanjaannya tidak melebihi batas," ucap Ryza. Di samping itu, bank ini menerbitkan pula rekening VISA yang dikaitkan dengan kartu kredit VISA. Dengan produk tersebut, nasabah dapat menabung uangnya pada rekening VISA dan mendapatkan jasa giro yang dihitung dari saldo harian. Suku bunganya sama dengan suku bunga deposit berjangka satu bulan. Keurltungan tambahannya, rekening itu dapat pula digunakan untuk membayar tagihan kredit VlSA, bila nasabah bersangkutan menghendakinya, dan pembelian dengan kartu kredit VISA bisa dibayar kemudian. Keberhasilan BII dengan kartu VlSA-nya tampaknya akan disusul dengan kartu kredit lain, Master Card. Waktu peredarannya tidak lama lagi, karena segala persiapannya sudah rampung. Mudah-mudahan sudah dapat terlaksana pada Juli yang akan datang. * Pada usianya yang ke-30, Mei ini, BII tampak semakin kekar dan menjulang. Pelayanan kepada nasabah tampak kian melekat dengan dirinya. Divisi pemasaran, sebagai ujung tombaknya, kini dibagi dalam: Investment Banking Group, Corporate Banking Group, Consumer Banking Group, dan Credit Card Centre. Arahnya yang pasti menuju one stop banking, yaitu, seperti sudah disinggung: suatu pelayanan mirip pasar swalayan yang serba lengkap. Dikatakan, upaya ini membuka peluang bagi memasyarakatkan bank. Bank jadinya seperti "pasar", setiap orang boleh masuk dan berbelanja. Eka Tjipta Widjaja telah membawa Bank Internasional Indonesia yang sedang merencanakan go public -- ke puncak prestasi. BII kini berarti pelayanan, dedikasi, profesionalisme, dan kepercayaan. Dalam hal kepercayaan, bank ini tidak cuma mendapatkannya di dalam negeri, juga dari luar negeri. Diungkapkan, Fuji Bank (Jepang) dan Credit Lyonnais (Prancis) siap bekerja sama dengan BII untuk membuka bank campuran di Jakarta. Izinnya sudah diperoleh. Tujuan bank campuran itu adalah menggiatkan ekspor non-migas, sambil memberi peluang pada BII dan nasabahnya untuk kegiatan kredit-kredit besar secara sindikasi. Dalam hal sindikasi, yakni sebesar Rp 50 milyar, untuk satu nasabah, tahun lalu BII menjadi lead manager-nya. Suatu kepercayaan besar yang tidak setiap bank besar bisa memperolehnya. Langkah BII jelas kian tegap dan mantap. Gedung cantik megah di Harmoni itu bukan satu-satunya lambang kebesarannya -- tetapi juga di dalam gedung itu sendiri. Dan juga pada pendiri dan pimpinan puncaknya, serta staf dan seluruh karyawan pada filosofinya pada sistem manajemennya pada pelayanannya. Kini, markas besar BII telah dipindahkan ke gedung megah lainnya, bangunan bertingkat 12 di Jalan MH Thamrin, kawasan paling elit di Jakarta. Berlapis kaca warna perak, tampil mencolok dan monumental di antara gedung-gedung bertingkat lainnya di kawasan itu. Bagi bisnis perbankan, yang mengandalkan pada kepercayaan, gedung yang di Thamrin maupun yang di Harmoni itu bukanlah suatu kemegahan, apalagi kepongahan, tapi suatu jaminan. Seperti namanya, Bank Internasional Indonesia, bertekad tampil di gelanggang percaturan keuangan dunia. Dengan kepercayaan, mereka dapat menarik dana dari luar, yang dapat dimanfaatkan untuk ikut urunan dalam pembangunan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini