Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Keuangan telah meluncurkan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2025. Salah satu kebijakan itu adalah intensifikasi kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) melalui tarif multi years, kenaikan tarif yang moderat, penyederhanaan layer, dan mendekatkan disparitas tarif antar-layer. Poin-poin kebijakan ini mendapat kritik dan penolakan dari berbagai pihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembahasan kenaikan tarif CHT akan dilakukan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Agustus 2024 setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) membacakan Nota Keuangan RAPBN 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan sedang melakukan studi besaran kenaikan tarif ideal dengan mempertimbangkan beberapa parameter. “Yakni parameter industri, parameter kesehatan, parameter tenaga kerja, maupun penerimaan negara," ujarnya.
Tauhid menjelaskan perubahan kenaikan tarif CHT biasanya dilakukan setiap tahun. Namun, mulai tahun 2023-2024, kenaikan ini akan dilakukan setiap dua tahun sekali. Kebijakan ini memberikan kepastian bagi pelaku industri dan pemerintah untuk menyesuaikan diri, seperti menyesuaikan kapasitas produksi dan menaikkan harga. Selain itu, industri bisa lebih siap dengan persiapan bahan baku, tenaga kerja, dan kebutuhan lainnya.
"Ketimbang ditetapkan tiap tahun sehingga antisipasi kalangan industri tidak pas. Jadi menurut saya itu langkah positif," kata Tauhid.
Menurut dia, pasca Covid-19 ada perubahan yang mendasar dari perilaku masyarakat akibat kenaikan harga rokok, terutama pada sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Hal ini membuat masyarakat berpindah kepada rokok yang lebih murah seperti sigaret kretek tangan (SKT) dan rokok ilegal, dimana berdampak kepada sumbangan CHT terhadap penerimaan negara pada 2022 dan 2023 berkurang. "Saya kira ini penting, karena CHT ini kontribusinya sangat besar, yakni sebesar 12,2 persen dari penerimaan negara,” kata Tauhid.
Kenaikan cukai yang tinggi terhadap produk SKM dan SPM menyebabkan munculnya produk-produk ilegal. "Mereka sudah tidak kena tarif cukai, tapi harga masih bisa bersaing. Nah sekarang rokok ilegal marak bahkan naik, data pada 2023 angkanya 6,9 persen dan 2022 sebesar 5,5 persen," ucapnya.
Karena itu, Tauhid meminta pemerintah berhati-hati menentukan kenaikan tarif CHT dan meminta kenaikan yang proporsional untuk tiap layer. "Jadi saya kira bagi industri kalau kenaikannya terlalu tinggi akan sangat memberatkan, meskipun penerimaan negara ternyata juga turun".
Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Chandra Wahjudi, mengatakan pemerintah perlu merumuskan kebijakan CHT dengan mempertimbangkan keberlanjutan industri hasil tembakau (IHT). Kenaikan cukai harus mengedepankan asas prediktabilitas.
"Kenaikan CHT seharusnya didasarkan pada parameter yang jelas dan mengikuti benchmark inflasi, sehingga tidak membebani industri secara berlebihan," kata Chandra.
Menurut dia kenaikan cukai rokok yang tinggi dan diterapkan tidak merata
akan berpotensi membuat perubahan perilaku konsumen beralih ke rokok ilegal. “Hal itu mendorong masyarakat untuk mencari rokok murah, termasuk beralih ke rokok ilegal," ujarnya.
Menurut Chandra, penyederhanaan layer cukai juga berpotensi meningkatkan konsumsi rokok ilegal. Pemerintah seharusnya melakukan kajian mendalam dan mendengarkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan sebelum menerapkan kebijakan ini. Agar kebijakan kenaikan cukai dapat meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan manfaat bagi semua pihak.
Dia meminta pemerintah melakukan intensifikasi pemberantasan rokok ilegal yang meningkat tiap tahun. “Sanksi keras tidak hanya berupa denda dan peringatan, tetapi juga tindakan pidana tegas terhadap produsen, distributor, dan pihak-pihak terkait dalam peredaran rokok ilegal," ucapnya.
Chandra berharap pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dapat mengkaji secara komprehensif sehingga dapat mewujudkan iklim usaha yang adil dan berimbang. "Agar perusahaan besar berserta UKM dapat terus bertumbuh dan berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian nasional," kata dia.