Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pinokio Jawa

Pinokio Jawa mewariskan kultur kebohongan dalam politik. Kebohongan demi kebohongan menjadi strategi permainan kotor kekuasaan. 

4 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Edi RM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KISAH Pinokio dimulai dari Florence. Di kota di Italia itu lahir Carlo Lorenzini (1826-1890). Tahun 1881, Carlo Lorenzini menulis Pinocchio dengan nama pena Carlo Collodi. Ia membuka paragraf Pinocchio dengan membandingkan raja dengan sebatang kayu. Ini mungkin satire dan kritik politik yang ditujukan kepada raja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebatang kayu itu menjadi Pinokio, yang kisah menariknya berhasil ditransformasikan sebagai karya sastra pertama bagi anak-anak Italia. Inilah kisah terlaris tentang boneka kayu yang hidungnya memanjang setiap kali dia berbohong. Kebohongan adalah karakter Pinokio.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari Florence, saya membawa kisah Pinokio ke tanah Jawa. Di sini lahir Pinokio Jawa (Javanese Pinocchio). Ia bermula dari tukang kayu dan berakhir sebagai penguasa tiran populis. Ia mempraktikkan kebohongan dalam politik melalui tampilan kepribadian Jawa yang santun dan merakyat. Mayoritas rakyat pun tertipu oleh kebohongan yang diekspresikan dengan kesantunan dan kebaikan politik yang karikatural.

Dengan mempraktikkan kebohongan dalam realpolitik, Pinokio Jawa menjungkirbalikkan tatanan moral yang dianut sebagai konsensus bersama dalam kehidupan republik. Batas-batas moral yang tegas antara baik dan buruk, benar dan salah, publik dan personal menjadi tunggang-langgang.

Di ujung kekuasaannya, Pinokio Jawa mewariskan kultur kebohongan dalam politik. Tanpa tersisa sedikit pun rasa bersalah dalam hidupnya, ia mempraktikkan kebohongan demi kebohongan dalam politik sebagai strategi permainan kotor untuk kekuasaan.

Dalam realisme politik, tulis Michael Walzer (1973), “Tak ada seorang pun yang berhasil dalam politik tanpa berkotor tangan.” Realpolitik yang dipraktikkan dan dirutinkan selama ini melalui politik kebohongan menempatkan Pinokio Jawa sebagai ikon pembohong terbesar, yang diilustrasikan seniman monolog Butet Kartaredjasa (2024) dalam bentuk “patung Petruk berhidung panjang”.

Pinokio Jawa menjadikan kebohongan politik sebagai bagian sentral dari karakternya. Saya pun kembali teringat Florence sebagai kota kelahiran Niccolò Machiavelli (1469-1527). Dalam risalahnya yang klasik, The Prince (1532), Machiavelli memberikan legitimasi atas keharusan kebohongan dalam realpolitik.

Berbeda dengan genre umum Mirrors for Princes yang berisikan nasihat luhur kepada penguasa agar bertindak ideal sesuai dengan ajaran Kristen, Machiavelli justru menjadikan The Prince sebagai the Bible of realpolitik—meminjam istilah Tim Parks (2009)—untuk memandu penguasa dalam meraih kekuasaan dan mempertahankannya dengan segala cara, termasuk dengan kebohongan.

Nasihat Machiavelli kepada penguasa untuk menjadi pembohong hebat sejalan dengan pandangannya tentang karakter manusia, yakni “manusia pada umumnya tak tahu berterima kasih, plintat-plintut, egois, dan serakah”. Semua ini merefleksikan karakter Pinokio Jawa. Ia tak pernah berterima kasih kepada perjuangan partai, Seorang Ibu, dan semua yang berjasa membesarkannya; punya kebiasaan plintat-plintut; berorientasi sempit pada kepentingan diri sendiri dan keluarganya; serta bersikap serakah pada kekuasaan.

Dengan karakternya yang Machiavellian, Pinokio Jawa merobohkan tatanan moral dalam republik. Hasilnya adalah situasi sosial dan politik yang kacau, yang diilustrasikan dalam pasemon Jawa sebagai Petruk Dadi Ratu.

Inilah yang menjadi kegelisahan intelektual Benedict R. Anderson dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990 : 170): “Di masa modern, lakon Petruk Dadi Ratu telah menjadi pepatah umum untuk menggambarkan kondisi sosial dan politik nyata yang penuh kekacauan, korupsi, dan tontonan jahat.”

Kegelisahan Ben Anderson menjadi kenyataan hari-hari ini ketika republik dipimpin bukan dengan keutamaan publik, melainkan dengan kebohongan, korupsi, nepotisme, dan berbagai praktik kejahatan lain. Praktik yang sudah telanjur banal ini diterima luas sebagai kewajaran tanpa terlihat “sikap hidup dengan rasa malu selamanya”—Long Live Shame, meminjam slogan kecil Ben Anderson dalam pidato ulang tahun Tempo ke-28 di Hotel Borobudur, 4 Maret 1999.

Kekuasaan negara jatuh terlampau dalam di tangan seorang Pinokio Jawa dan aliansi jahatnya. Ia menikmati dominasi kekuasaan yang tiranik melalui aliansi jahat, relasi kuasa, dan dukungan rakyat luas.

Sekitar lima abad silam, William Shakespeare (1564-1616) memotret dengan masygul situasi negerinya yang jatuh ke tangan tiran yang justru ditopang oleh rakyat luas yang menerima kebohongan. “Why do large numbers of people knowingly accept being lied to?” katanya (Greenblatt, Tyrant: Shakespeare on Politics, 2019).

Sebagaimana Shakespeare, saya pun masygul saat melihat mayoritas rakyat, terutama kaum intelektual dan “ulamā” yang tersihir oleh fatamorgana duniawi, menerima banalitas kebohongan, nepotisme, dan otoritarianisme Pinokio Jawa sebagai kebiasaan dan kewajaran umum dalam politik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Sukidi

Sukidi

Pemikir kebinekaan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus