Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awas pelumas palsu!

24 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah melalui kurun waktu berpuluh tahun, aksi daur ulang pelumas bekas semakin merebak ke setiap pelosok Nusantara. Dan sesuai dengan harganya yang sangat murah, pelumas hasil sulingan konvenisonal ini juga bermutu super rendah. Itulah sebabnya, agar tak sampai merembet ke sektor industri, aparat pemerintah diminta bertindak ekstra keras dalam menghadapi penyuling-penyuling gelap ini. OLI palsu, yang belakangan ini muncul sebagai berita-berita kecil di surat kabar, kini sudah menjadi masalah nasional. Indikasi ini terlihat ketika sebuah surat kaleng melayang ke Tromol Pos 5000. Surat yang ditujukan kepada Menko Polkam itu, dengan gamblang menguraikan tentang adanya pemalsuan pelumas yang dilakukan oleh seorang pengusaha di Desa Geluran, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo. Hebatnya usaha terlarang yang sudah berlangsung selama 10 tahun itu, sekalipun belum pernah tersentuh oleh aparat penegak hukum. Sehingga, demikian surat itu berbunyi, pengusaha gelap tersebut hingga kini diperkirakan sudah meraih omset Rp 180 milyar. Atau rata-rata sekitar Rp 10,8 milyar per tahun. Untungnya? Jangan tanya. Menurut sebuah sumber, bisnis pelumas palsu ini bisa mendatangkan laba berlipat. Ya, bagaimana tidak begitu kalau modalnya hanya berupa oli-oli bekas yang diendapkan. Coba saja hitung. Pelumas bekas -- yang biasanya dikumpulkan dari bengkel-bengkel mobil -- lazimnya dibeli hanya dengan harga Rp 200 per liter, alias Rp 40 ribu per drum. Setelah melalui proses pengendapan yang sederhana, ditambah dengan beberapa zat pewarna yang sekaligus bisa menghilangkan bau, maka biaya produksinya hanya bertambah sekitar 50%. Sehingga, total biaya untuk menyulap satu drum pelumas bekas menjadi oli aspal (asli tapi palsu) hanya membutuhkan modal Rp 60 ribu, atau Rp 300 per liter. Di pasar, oli-oli yang dihasilkan oleh proses daur ulang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan itu dijual dengan harga berlipat. Contoh, ada pelumas dengan merek N-150 yang dijual setara Mesran-40 (yang diproduksi oleh Pertamina) dengan harga Rp 190 ribu per drum. Padahal Mesran-40 yang benar-benar dibuat oleh BUMN itu dipasarkan dengan harga Rp 400 ribu per drum. Tapi, kendati demikian, toh si pemalsu sudah bisa meraih keuntungan 216%. Tidak hanya Mesran-40. Pelumas palsu juga dijual dengan menggunakan merek-merek lainnya, seperti Pelumas P 5 yang dijual sebagai Meditran S40 dengan harga Rp 300 ribu per drum. Sementara Meditran 40 yang tulen harganya Rp 404 ribu. Dan yang tidak dilewatkan oleh para pemalsu adalah merek-merek pelumas impor. Itulah sebabnya, wajar kalau aksi mengolah oli bekas menjadi oli terkenal pun tambah hari makin menjadi. Buktinya, simak saja berita-berita yang dilansir berbagai media belakangan ini. Di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta saja, hingga kini -- yang sudah terdeteksi, dan sebagian telah terjaring oleh aparat hukum -- ada 11 perusahaan yang mengolah pelumas palsu. Di Jakarta, misalnya, pengolahan oli bekas dengan mudah bisa ditemukan di jalan Warung Gantung Kalideres (perbatasan Jakarta-Tangerang), dan di Kali Malang (perbatasan Jakarta-Bekasi). Dikatakan "mudah ditemukan" karena para produsen oli aspal itu tampak tak menutupi kegiatannya dengan rapat. Entah sengaja, entah tidak. Seperti yang terlihat di Warung Gantung. Mereka (pemalsu, maksudnya) menggunakan tanah seluas 1,5 hektar. Di lahan tersebut, ada puluhan buruh yang mengerjakan puluhan (bahkan ratusan) drum oli bekas. Lantas, kenapa mereka bisa tenang bekerja tanpa terusik oleh aparat keamanan? Jawabnya, ternyata, mudah saja. Sebab kegiatan mereka juga dilindungi oleh oknum-oknum aparat keamanan. Pengolahan oli bekas, juga ditemukan wartawan Kompas di Cirebon, dan Subang. Seperti diberitakan di harian ini 27 Juni lalu, di dua tempat tersebut -- di mana terlihat drum yang berjumlah lebih dari 1000 -- setiap harinya masing-masing mampu menyulap 200 liter oli yang siap dipasarkan. Atau sekitar 72 ribu liter setahun, untuk setiap perusahaan. Tak kalah dari Jawa Barat, adalah Jawa Timur. Wilayah ini pun disinyalir merupakan gudang pelumas palsu. Salah satu faktanya terungkap Juni lalu, ketika Polda Ja-Tim menggrebek dua lokasi tempat penyimpanan dan pengolahan oli. Seperti yang terjadi di Jawa Barat dan DKI, di dua tempat ini pun oli-oli bekas ini dikemas ke dalam kaleng bekas yang diproduksi Pertamina. Dan harganya, seperti biasa, sangat miring jika dibandingkan dengan oli yang asli diproduksi oleh BUMN ini. Akan halnya di luar Pulau Jawa, produksi oli palsu juga berlangsung habis-habisan. Coba simak pengalaman seorang sopir truk di Jambi baru-baru ini. Ketika membeli pelumas di sebuah toko, ia merasa ragu untuk langsung menggunakannya. Alasannya, oli yang dibungkus plastik itu tampak mengandung serbuk logam. Kepalsuan semakin jelas, ketika pelumas yang dibeli dengan harga Rp 2.500 per liter itu diendapkan selama sepekan. Di dalam oli tersebut terlihat adanya genangan air. "Kalau asli, tak mungkin mengandung air," kata pengemudi yang akhirnya membuang oli yang telah dibelinya. Berdasarkan hasil pelacakan sementara, di antaranya, Polda Sumatera Utara kini tengah menangani empat kasus yang ke semuanya menyangkut pelumas palsu. Sedang sebelumnya, di tahun 1989, Polda Sumut juga telah berhasil membongkar sembilan kasus serupa. Menurut Kapolda, kasus oli palsu dibedakan dalam empat kategori, yakni pemalsuan merek (milik Pertamina, maupun merek impor), penjualan pelumas palsu, pemalsuan kualitas dan pengolahan kembali oli bekas. Dari kota Medan inilah, akhirnya terungkap bahwa pemalsuan pelumas ternyata memiliki jaringan yang berskala nasional. Seperti salah satu kasus yang kini sedang ditangani Poltabes Medan. Dari sebuah perusahaan, polisi berhasil menyita 280 drum oli beserta 241 botol plastik bekas oli -- pembungkus-pembungkus bekas ini biasanya diperoleh dari para pemulung. Menurut sebuah sumber, pelumas itu merupakan hasil kiriman dari cabang perusahaan tersebut yang berada di Bandung-Jawa Barat. Dan setelah diolah (diendapkan) oli tersebut dipasarkan di wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, dan Riau dengan merek ACI. Yang tak kalah dari Jawa dan Sumatera adalah Sulawesi. Ujungpandang, salah satunya, kini disinyalir sebagai salah satu pusat pengolahan oli bekas. Diduga, ada sekitar 1.000 drum oli bekas yang masuk ke kota ini dalam setiap bulannya. Menurut sebuah sumber, nilai oli bekas yang masuk ke sana diperkirakan mencapai sekitar Rp 150 juta per bulan. Itu hanyalah sebuah contoh. Sebab, di Sulawesi, bukan hanya Ujungpandang yang diduga menjadi basis pengolahan pelumas aspal tapi juga beberapa kota besar lainnya. Sulawesi, boleh dibilang, merupakan sasaran pasaran empuk produsen pelumas daur ulang yang datang dari pulau Jawa. Nah, kalau melihat jaringan yang sudah hampir me-Nusantara seperti itu, maka layak kalau kasus pelumas bermutu super rendah ini digolongkan ke dalam kasus nasional. Jika dibandingkan dengan jumlah total pelumas yang beredar, yang aspal ini sudah cukup mengkhawatirkan: Sumber di Pertamina memperkirakan jumlahnya saat ini berkisar antara 3-5% dari total konsumsi pelumas yang setahunnya diperkirakan 300 ribu kilo liter, alias kurang lebih 12 juta liter. Tapi, menurut Kepala Dinas Pelumas Pertamina, jumlah itu akan terus bertambah jika tidak ditangkal dengan segera. Dan lebih berbahaya lagi, jika oli-oli palsu ini merembes ke dunia industri (sementara ini, sebagian besar hanya digunakan untuk kendaraan bermotor). Berdasarkan sebuah penelitian, oli palsu akan menyebabkan usia sebuah mesin (life time) menjadi sangat pendek. Mesin yang semestinya berusia 20 tahun misal, jika kemasukan pelumas palsu usianya akan memendek menjadi lima tahun saja. Makanya, jika dilihat dari sudut ini, yang merugi bukanlah Pertamina tapi (sekali lagi) konsumen yang termasuk di dalamnya sektor industri. Seperti yang diungkapkan oleh seorang pengamat ekonomi, "Oli palsu pada akhirnya akan mengancam aset nasional," katanya. Lantas apa yang harus dilakukan? Pakar ekonomi ini menghimbau agar pemerintah bersikap agresif dalam memberantas pemalsuan oli. Maksudnya, tentu bukan hanya pihak kepolisian, tapi juga kejaksaan. Alasannya, jelas, yang dipalsu bukan cuma produk Pertamina, melainkan juga oli-oli impor. "Coba kalau merek impor yang mereka kerjain, siapa yang akan menuntut?" kata pakar tersebut. Akibatnya, seperti yang sudah sering terjadi, banyak pemalsu akhirnya lolos dari tuduhan karena tak ada pihak yang menuntut. Selain itu, yang tampaknya mesti dibenahi adalah peraturan pemerintah sendiri. Seperti diketahui, selama ini, sesuai dengan Keppres Nomor 18 tahun 1988 hanya Pertaminalah yang mempunyai hak dan kewajiban mengadakan pelumas kebutuhan dalam negeri. Hanya saja, Keppres tersebut juga menyiratkan bahwa selain Pertamina, ada pihak-pihak yang diperbolehkan mengolah kembali pelumas bekas menjadi pelumas yang siap pakai (kendati mutunya, tentu, akan kebih rendah). Pengolahan oli bekas tersebut boleh dilakukan oleh koperasi, bisa juga oleh perusahaan swasta. Tapi prosesnya tidaklah mudah. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh badan di luar Pertamina yang berminat mengolah oli bekas tersehut. Pertama, pengolahan kembali pelumas bekas harus dengan teknologi yang menggunakan proses hidrotreating atau extracting. Syarat ke dua, badan swasta/koperasi tersebut harus memperoleh izin dari Menteri Pertambangan plus rekomendasi dari Pertamina sendiri. Dan terakhir, produk hasil daur ulang yang dipasarkan dengan proses tersebut di atas, harus memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan yakni API Service SC untuk pelumas mesin bensin dan API Service CC untuk pelumas mesin diesel. Kategori-kategori itu merupakan pelumas yang mutunya paling rendah jika dibandingkan dengan yang diproduksi Pertamina -- di atas itu masih ada oli dengan kelas SD, SE, dan SF untuk mesin bensin, dan CD, CE, dan CF untuk mesin diesel. Ditambah lagi, setiap produk yang dihasilkan dari proses pengolahan oli bekas, dalam setiap kemasannya, mesti mencantumkan tulisan "Daur Ulang". Nah, mungkin, karena persyaratannya yang demikian ketatlah yang menyebabkan hingga kini belum satupun badan swasta yang beroperasi untuk mengolah kembali oli-oli bekas. Maklum, untuk menggunakan teknologi seperti yang disyaratkan sedikitnya dibutuhkan investasi 15 juta dolar, atau sekitar Rp 30 milyar. "Keraguan" swasta untuk menanamkan modal tampak, misalnya, dari dua perusahaan yang telah memperoleh izin mengolah oli bekas, yakni PT Wiraswasta Gemilang Indonesia di Bekasi, dan PT Sinar Pejambon Indah yang bermarkas di Surabaya dan Medan. Kendati sudah memperoleh rekomendasi sejak tiga tahun lalu, hingga kini, ke dua perusahaan tersebut relatif belum melakukan hal yang berarti. Termasuk investasi yang masih kecil. Nah, sementara perusahaan yang sudah direkomendasi praktis belum berbuat tuntas, pihak yang berwajib mensinyalir bahwa pemalsuan oli bekas makin menjadi-jadi. Tapi ini -- tidak bisa dibantah lagi -- merupakan akibat dari adanya lubang dalam Keppres tersebut. Karena keputusan tersebut tidak melarang kegiatan swasta yang mengumpulkan oli bekas. Padahal jika diurut ke belakang, pemerintah sebenarnya sudah bertindak ekstra ketat. Tengok saja Keppres Nomor 66 tahun 1983. Di situ disebutkan bahwa kecuali Pertamina, siapa pun dilarang melakukan kegiatan daur ulang dengan cara atau proses apapun. Keppres ini sekaligus mencabut peraturan sebelumnya yang masih membolehkan daur ulang oleh pihak swasta. Selain itu, masih dalam Keppres nomor 66-1983, pelumas bekas dengan tegas dilarang diperjualbelikan dan harus diserahkan kepada Pertamina, tanpa imbalan sama sekali. Sehingga, oleh Pertamina, pelumas bekas tersebut bisa dijadikan sebagai bahan pencampur minyak bakar (setelah melalui proses pembersihan, tentunya). Dan sama sekali bukan untuk digunakan sebagai pelumas. Tapi, ya itu tadi. Keppres yang datang belakangan akhirnya mensyahkan siapapun untuk mengumpulkan oli-oli bekas. Maka, tak perlu heran jika yang namanya pemalsuan menjadi sangat sulit untuk diberantas. Apalagi, seperti yang diungkapkan tim dari Bagian Pelumas Pertamina, membedakan pelumas palsu dan yang asli bukanlah perkara mudah. Memang, oli yang dihasilkan dari proses daur ulang konvensional -- seperti yang banyak dilakukan oleh para pemalsu selama ini -- tidak lagi mengandung aditif. Bahkan, di samping kadang-kadang masih mengandung air, bubuk besi, dan pasir, pelumas aspal ini sering masih mengandung asam sulfat yang cukup tinggi. Tapi, bagaimana membedakannya? Ini dia yang sulit. Sebab, secara fisik keduanya -- yang palsu dan yang asli, maksudnya -- nyaris serupa. "Sulit dibedakan dengan mata telanjang," kata Kuswadi, Kepala Dinas Pelumas Pertamina. Apalagi, dengan pengalaman yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, kini pemalsuan oli semakin canggih. Sebagai indikasi, tengok saja ketika Keppres Nomor 66 tahun l983 pertama kali diberlakukan. Ketika itu, untuk mempermudah pengumpulan pelumas bekas, Pertamina menawarkan "uang jasa" sebesar Rp 125 untuk setiap liter pelumas bekas yang disetorkan. Tapi apa yang terjadi? Dari 40% pelumas bekas yang beredar, Pertamina hanya berhasil mengumpulkan tak lebih dari 1%. Jadi kalau dalam setahun konsumsi pelumas nasional mencapai 300 ribu kilo liter, maka yang berhasil dikumpulkan Pertamina hanya 3 ribu kilo liter saja. Padahal, oli bekas ini setiap tahun jumlahnya mencapai sekitar 120 ribu kilo liter. Lantas, apa yang harus dilakukan oleh konsumen agar tidak terkecoh? Satu-satunya cara untuk membedakan, kata seorang pemilik bengkel di Jakarta, adalah dengan membandingkan harganya. Maksudnya, yang dinamakan oli palsu sudah pasti akan dijual dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang yang asli. Perlu juga diketahui selain pelumas hasil daur ulang, yang perlu diwaspadai oleh konsumen adalah RPO (rubber processing oil) yang sering disalahgunakan oleh importirnya sebagai pelumas. Biasanya, para importir yang nakal ini menjual RPO sebagai gulf gear. Kegiatan pemalsuan model RPO ini, tampaknya, memerlukan perhatian ekstra ketat dari berbagai instansi. Sebab penyulapan RPO menjadi oli kini sudah menjadi "mode" untuk meraih laba sebanyak-banyaknya. Indikasinya, Indonesia setiap tahunnya hanya membutuhkan sekitar 5.000 kilo liter RPO per tahun. Sementara, kenyataannya, impor minyak untuk mengolah karet ini bisa berlangsung hingga jumlah yang berlipat-lipat dari kebutuhan. Sialnya, RPO inipun memiliki fisik yang tidak jauh berbeda dengan pelumas. Oleh sebab itu, agar konsumen tidak terkecoh, ada baiknya kalau merekapun memiliki pengetahuan tentang pelumas yang baik. Di samping, konsumen juga dianjurkan untuk tidak tergiur pada pelumas yang ditawarkan dengan harga rendah, dan tidak cepat tertarik oleh stasion-stasion yang menawarkan "ganti oli gratis". Sebab, siapa tahu, di bengkel itulah kendaraan anda dijejali oleh oli hasil daur ulang. Selain itu, untuk lebih menyadarkan pemakai, pengetahuan tentang pelumas yang baik juga sangat penting. Misalnya saja, mereka konsumen, maksudnya harus mengetahui bahwa meramu pelumas bukanlah perkara mudah. Ini disebabkan, bukan hanya karena dibutuhkan alat-alat produksi yang menelan puluhan milyar rupiah, tapi membuat formulanya-pun tidak gampang. Buktinya, hingga kini, Pertamina belum memiliki formula sendiri. Dan BUMN ini, selama ini, masih menggunakan formula milik Shell dan Mobil OiL. "Membuat formula pelumas yang bisa diakui oleh dunia internasional tidaklah mudah. Lihat saja buktinya, di dunia ini hanya beberapa negara saja yang mampu membuat formula oli," kata Kuswadi. Akan halnya Pertamina, saat ini, baru sampai pada langkah pengembangan saja. Rencananya, tak lama lagi BUMN ini akan memperkenalkan FPI (Formula Pelumas Indonesia). Nah, sementara formula sendiri belum jadi, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Pertamina juga diizinkan untuk mengimpor. Dengan catatan, hak impor semua jenis pelumas sepenuhnya berada di tangan BUMN ini. Mulai dari bahan baku pelumas, pelumas cair, hingga gemuk. Singkat kata, semua yang berfungsi untuk melumas, berdasarkan SKB Tiga Menteri, hak impornya berada di Pertamina. Sedangkan jenis-jenis minyak di luar itu -- seperti RPO, minyak rem, dan minyak traffo -- boleh dimasukkan oleh importir umum. Dan, memang, di sinilah salah satu yang menyebabkan munculnya oli-oli palsu. Padahal kalau konsumen bermata jeli, yang namanya pelumas impor itu sangat mahal harganya (sekitar 20%-30% dari harga pelumas buatan Pertamina). Sebagai contoh, Motul dan Esso Ultra Oil yang harganya masing-masing Rp 8.085 dan Rp 6.600 per liter. Sedangkan produksi Pertamina yang setara dengan itu (Mesran S) harganya hanya Rp 3.740 seliter. Akibatnya, mereka tidak hanya terkecoh oleh pelumas impor yang harganya jauh lebih mahal sementara buatan Pertamina, dengan fungsi yang sama, berharga murah. Tapi, akhirnya para konsumen yang impor minded ini juga sering tertipu oleh aditif palsu. Bagaimana tidak begitu, yang namanya aditif impor itu setiap kalengnya berharga sampai ratusan ribu rupiah. Sementara, di toko-toko, ataupun bengkel kita lebih sering menemukan aditif bermerek impor yang dijual hanya dengan harga Rp 25 ribu per kaleng. Padahal untuk memperoleh pemeliharaan yang maksimal bagi mesin-mesin kendaraan, sebenarnya konsumen tak perlu bersikap impor minded. Yang penting, mereka membeli oli dengan harga yang wajar. Di samping itu, konsumen juga harus bisa memilih sendiri pelumas yang dibutuhkan oleh kendaraannya. Soalnya, kendati sebuah formula sudah diakui secara internasional tidak setiap pelumas bisa digunakan pada sembarangan kendaraan. Contohnya, klasifikasi yang dibuat oleh American Petroleum Institutes (API) Lembaga ini, untuk mesin bensin saja telah membuat tujuh klasifikasi. Mulai dari SA, SB, SC, hingga SG. Klasifikasi SA dan SB misalnya, hanya diperuntukkan bagi mesin bensin yang punya tugas umum, atau ringan. Dan dilarang digunakan untuk mesin-mesin bensin modern. Sebab, API Service SA hanya merupakan minyak mineral murni yang tidak mengandung aditif. Sedangkan API Service SB hanya mengandung aditif anti oksidasi. Akan halnya klasifikasi SC, SD, SE, dan SF -- kendati lebih bagus dari dua klasifikasi yang terdahulu -- juga tidak dapat digunakan secara sembarangan. API Service SC, misalnya, hanya dianjurkan untuk mesin bensin yang diproduksi antara tahun 1964 -1967. Sedangkan klasifikasi SD diperuntukkan bagi mesin kendaraan yang diproduksi 1968-1970, SE untuk mesin produksi tahun 1972-1979, SF untuk mesin bensin buatan mulai tahun 1980, dan SG sangat baik untuk mesin-mesin bensin produksi l989 ke atas. Hal serupa, berlaku pula untuk pelumas bagi mesin-mesin diesel yang terdiri dari CA, CB, CC, CD dan CE. Dengan mengetahui klasifikasi-klasifikasi -- yang dengan mudah dibaca di setiap kemasan pelumas -- itulah, diharapkan konsumen tidak hanya lolos dari kecohan pelumas hasil daur ulang. Tapi juga bisa memberikan perawatan yang optimal pada mesin-mesin kendaraan yang mereka pakai. Di samping itu, tentu saja, untuk "lebih meringankan beban konsumen" dalam memilih pelumas yang baik, diperlukan tindakan yang ekstra keras dari aparat pemerintah untuk membrantas pelumas palsu, maupun oli hasil penyulingan gelap yang tegas-tegas telah dilarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus