Fobia pulang meningkat di Jepang. Para pekerja tidur di hotel kapsul, di kamar mirip sarang semut. ORANG yang tidak punya pulang lazim disebut gelandangan. Corak hidup bagai duri hanyut, di mana tersangkut di situ bergayut, ternyata bukan monopoli kaum papa di kota Dunia Ketiga. Jalan pulang yang gelap juga "nasib" orang kota di negeri mahakaya seperti Jepang. Itu hasil penelitian ahli jiwa di sana. "Jumlah yang enggan pulang sehabis jam kantor kian meningkat tiga tahun terakhir," kata Toru Sekya, Direktur Sekya Psychiatric Clinic di Tokyo. Perilaku ini dijulukinya sebagai fobia pulang, homecoming phobia. Mereka berat hati pulang ke rumahnya masing-masing. Salah satu penyebab adalah permukiman yang jauh. Harga tanah yang melangit di Tokyo mendesak mereka bermukim nun di pinggir atau di luar kota. Untuk mencapai tempat kerja, dengan kereta tercepat sekalipun, perlu waktu satu-dua jam. Mereka berangkat di pagi buta, dan pulang setelah malam sangat larut. Di saat embun mulai turun, bagi pekerja yang giat atau yang membunuh waktu sambil minum dengan konconya, beringsut pulang merupakan perjalanan panjang. Bila ketinggalan kereta terakhir, perlu kesabaran ekstra untuk antre di pangkalan taksi. Tapi ongkosnya lumayan mencekik karena buat sopir yang kerja malam, lemburnya dua kali lipat dari tarif siang. Dan kalkulator di Jepang nyaris melek terus. Apalagi dalam urusan tempat tidur. Inilah yang segera ditangkap jadi peluang bisnis. Di Ikebukuro, distrik supersibuk Tokyo, tiga tahun lalu muncul hotel berlantai enam. Kamarnya 180. Tiap kamar dibuat pas sekadar meluruskan tulung punggung. Fasilitas lain, ruang makan dan sauna. Kini kamar mirip sarang semut itu penuh tiap hari, kecuali Minggu. Hotel berkamar model kapsul pertama kali ada di Osaka, 1977. Tarifnya 25 dolar AS semalam -- lebih murah dibanding ongkos taksi pulang pada waktu dini hari. Tahun lalu sebuah perusahaan asuransi melakukan survei dengan 500 responden pegawai berstatus menikah. Hasilnya, 30% mengaku kadang-kadang ogah pulang sehabis kerja. Perasaan enggan pulang itu melanda separuh dari mereka, dua kali sebulan. Sisanya, ada yang empat kali. Aneka problem psikologi yang melingkungi takut pulang, menurut Sekya, merupakan depresi bentuk ringan. Pria yang fobia libur, misalnya. tidak bakal setop memikirkan kerja, meskipun ia sedang berlibur. Alasan enggan pulang itu, seperti disiarkan majalah Look Japan edisi Agustus ini, lantaran rumah tak lagi dirasa terminal yang nyaman untuk mengendurkan saraf. Kecanduan kerja menyita banyak waktu dibanding jadwal bergaul dengan anak-istri. Kehangatan dan keakraban rumah tangga lalu berubah jadi nafsi-nafsi, dar sampai pada titiknya, di rumah ia kehilangan pamor. Sepuluh tahun silam, Sekya mengurus anak yang ogah ke sekolah. Lima tahun terakhir, yang meningkat adalah jumlah orang dewasa enggan pulang. "Mereka bahkan tak menginap di hotel kapsul," ujarnya. Bukan juga luntang-lantung d jalan, tapi, ya, seakan betah di kantor. Atau minum kopi di warung dekat kantornya. Sejak menangani urusan ini tiga tahun silam, Sekya merawat 60 penderita. Saat ini lima menginap di kliniknya, seraya tetap ke kantor. Tapi, dibanding bocah yang ogah sekolah, ternyata lebih banyak bapak yang dilanda fobia pulang. "Ini jelas penyakit sosial yang serius," komentar Sekya. Masyarakat modern Jepang sendiri telah membuat perangkap untuk semua itu. Yaitu, lingkungan pekerjaan menggiring manusia pada stres yang langgeng. Pengalaman sebagai bangsa yang kalah dalam Perang Dunia II menumbuhkan fanatisme kerja pada manusia Jepang. Dan berkat semangat kerja itulah, seusai perang, Jepang bangkit secara menakjubkan di bidang ekonomi. Iklim ini membiakkan generasi beken dengan sikap monoloyalitas (kesetiaan tunggal) pada perusahaan, hingga faktor senioritas merupakan tempat terhormat. Ketika krisis minyak pada dasawarsa 1970, perusahaan mengetatkan energi. Dan didorong persaingan yang kian buas, kemudian hormat tradisional tadi dikesampingkan, sehingga membuat mulus proses pengurangan tenaga kerja. Tapi dewasa ini semangat gila kerja gencar digugat generasi muda. Antara lain mereka menuntut disunat jumlah jam kerja per tahun, dan bukan hanya menghitung waktu yang cukup untuk libur (lihat Candu Kerja, Enggan Berlibur). Mereka ingin mengisi hidup lebih bermakna. Jadi, perlu ketegasan: hidup bukan untuk kerja, tapi kerja untuk hidup. Makanya, pemerintah serta pengusaha mulai menyadari kenyataan bahwa jiwa tertindih buruk bisa berakibat terhadap perangai dan keadaan fisik manusia. Kementerian perburuhan melansir program kesehatan total, 1988, meliputi latihan tenaga penyuluhan, gaya hidup, dan bimbingan gizi. Sampai tahun lalu, 700 perusahaan mengikutinya. Kelompok industri Asahi, empat tahun lalu, adalah perusahaan pertama yang memiliki program kesehatan mental untuk karyawan. Lembaga ini dikelola Tsuyoshi Senda. Ia menangani rata-rata tiga pasien per hari. Mereka adalah karyawan muda yang bekerja kurang dari tiga tahun, atau pekerja berusia lanjut, dan veteran. Kepedulian perusahaan terhadap problem kesehatan mental ini rendah. Menurut Senda, perlu waktu 10 tahun untuk sampai pada kesadaran itu. Sehingga, sekalipun pemerintah Jepang menyediakan subsidi (10,6 juta dolar AS), baru separuh dari jumlah itu tersalur pada 1989 dan 1990. Karyawan pengidap fobia pulang merupakan korban pertumbuhan ekonomi yang amat cepat. Tapi kaum juragan diingatkan: mereka berutang pada karyawannya lebih dari sekadar dari yang dikira. Sebab, dalam suatu paket kerja kolektif, niscaya tidak ada satu komponen yang mampu bekerja sendiri. Dan jika soalnya adalah pulang tidak pulang, bisa saja orang kerja tak perlu pulang sama sekali. Misalnya, karyawan kerja di rumahnya dengan dukungan fasilitas teknologi yang sesuai dengan kepentingan perusahaan atau kantornya. Namun, di tengah kemajuan yang bergelimang kegelisahan, juga tak mustahil setelah urusan yang satu diselesaikan, lalu bakal muncul lagi simalakama baru. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini