Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Minoritas Cina dan Globalisasi

Terjadinya minoritas dapat karena faktor keturun- an, perbedaan warna kulit, agama atau fungsi dalam masyarakat. kaum cina perantauan menganggap tak ada hubungan dengan tanah leluhur.

24 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ONGHOKHAM KINI kita sering mendengar istilah globalisasi. Entah sampai di mana istilah ini merupakan slogan, realitas ekonomi dunia, atau suatu proses ke arah sana. Di lain pihak, kita juga melihat adanya blok-blok seperti MEE, AS-Kanada, Amerika Latin, ASEAN. Pembentukan itu dilandasi oleh perkembangan ekonomi, seperti halnya terbentuknya negara nasional (kebangsaan). Dalam tulisan ini saya mencoba memberikan berbagai faktor perkembangan dunia, sejak munculnya konsep negara kebangsaan dan posisi minoritas di dalamnya. Juga kebijaksanaan tentang para emigran ke AS, Kanada, Australia, dan negara-negara Eropa Barat. Dan yang terakhir adalah pengaruh globalisasi terhadap konsep 'Cina' sebagai emigran terbesar di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Konsep kesatuan bangsa atau bangsa nasional pertama kali dicetuskan dalam Revolusi Prancis 1789. Konsep feodal atau dari rezim sebelumnya tak mengenal konsep bangsa. Masyarakat terbagi atas golongan gerejani, bangsawan, dan rakyat biasa dengan privilege berbeda-beda. Konsep kesatuan bangsa menghapus susunan masyarakat lama ini dan mencetuskan konsep warga negara dengan hak dan kewajiban yang sama. Dalam konsepsi nation ini, kaum minoritas Yahudi dan Protestan, di tengah mayoritas masyarakat yang beragama Katolik, disamakan. Semuanya warga Prancis. Setelah lahirnya bangsa Prancis ini, timbullah bangsa lain seperti Belanda, Italia, Jerman (1870). Lalu seusai Perang Dunia I (1918), muncul pula negara-negara Eropa Tengah dan Balkan seperti Cekoslovakia, Hungaria, Yugoslavia. Akhirnya, sehabis Perang Dunia II, tampil negara-negara kebangsaan di Asia-Afrika, termasuk Indonesia. Sementara itu, masalah minoritas, sejak permulaan konsep kebangsaan timbul, belum pernah 100% dipecahkan. Masalah ini sering menyebabkan tragedi, peperangan, diskriminasi, atau permusuhan terhadap minoritas, yang tentunya makan biaya tinggi. Terjadinya suatu minoritas di tengah suatu bangsa, ada sejarahnya sendiri. Kaum minoritas bisa ada karena faktor keturunan, perbedaan warna kulit, agama, ataupun fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat. Contoh yang disebut terakhir misalnya keturunan para pekerja kulit di Jepang yang dahulu dianggap hina, atau kaum kalang (penebang hutan), pedagang lawean (pedagang pecah-belah dari tanah) di Jawa. Minoritas karena beda agama, warna (kulit hitam vs putih), keturunan (Cina di Indonesia) cukup jelas. Menurut berbagai sarjana, desintegrasi masyarakat feodal dan terwujudnya masyarakat kebangsaan merupakan perkembangan tingkat ekonomi, seperti revolusi industri, perdagangan bebas, atau pasar. Akan tetapi, nasionalisme juga meruntuhkan imperium-imperium besar, baik di Eropa maupun kemudian di luar Eropa. Yang menarik perhatian adalah perubahan komposisi etnis di banyak negara maju Eropa dan Amerika. Di Eropa Barat, usai PD II, setelah benua ini pulih dari kerugian dan penderitaan perang, ekonominya berkembang pesat. Maka, benua ini pun dibanjiri oleh orang-orang dari daerah miskin dunia sekitarnya. Eropa Selatan, seperti Portugal, Spanyol, Italia Selatan, dan Turki, masih tergolong miskin. Negeri ini kemudian membanjiri Eropa Barat dengan "buruh tamu", sebagai pekerja. Masih ada lagi orang-orang yang masuk Eropa dari daerah koloni Inggris, Prancis, Belanda. Di samping itu, ada pula golongan cendekiawan, pekerja terampil, golongan menengah dan kaya yang datang dan menetap di Eropa. Jaminan sosial, kesehatan, dan kewarganegaraan diberikan kepada para pendatang itu. Termasuk semua hak dan kewajiban hukum. Di setiap kota besar Eropa, termasuk Roma, bisa ditemukan masjid. Negara-negara maju memberikan pendidikan tinggi dan canggih bagi orang asli, untuk pekerjaan kantoran. Lalu siapa yang harus menggarap pekerjaan kasar seperti penyapu jalan, kebersihan, pekerjaan tangan? Maka, kedatangan "tenaga tamu" pun diperlukan. Mereka diberi kewarganegaraan, walau ada perbedaan etnis dan rasial (kulit, adat, agama). Pendatang baru dianggap pula sebagai aset nasional. Saya ingin mendalami sikap masyarakat yang beremigrasi itu, khususnya orang Cina yang menyebar sampai Amerika Serikat dan Asia Tenggara. Sampai tahun 1950-an, atau sebelum perubahan-perubahan di bawah Deng Xiaoping -- terutama sebelum kematian Mao -- konsep satu negara Cina masih kukuh, baik di RRC maupun Taiwan. Keduanya secara resmi masih memikirkan persatuan kembali, tanpa jalan kekerasan. Akan tetapi, faktanya memang ada dua Cina, yakni RRC dan Taiwan. Selain itu, Hong Kong akan tergabung dengan RRC 1997. Kalau misalnya diadakan pemilihan umum di Hong Kong, apakah mereka memilih bergabung dengan RRC, tetap koloni Inggris, atau menjadi negara merdeka seperti Singapura, hampir bisa dipastikan bahwa suara terbanyak tak ingin bergabung dengan RRC atau wilayah Cina mana pun. Bahkan status koloni pun mungkin akan menjadi pilihan terbaik bagi Hong Kong. Sekarang saja sudah ada semacam eksodus modal manusia, tenaga ahli dan terlatih, karena takut 1997. Jumlahnya akan semakin meningkat mendekati 1997. Hong Kong jatuh ke RRC mungkin bisa diibaratkan seperti pemotongan angsa bertelur emas. Bagi kawasan Pasifik, desintegrasi suatu pusat keuangan, industri, dan ekonomi seperti Hong Kong akan berakibat besar. RRC, Taiwan, Hong Kong adalah masalah Cina tentang konsep "Satu Cina". Padahal, dari sudut Cina perantauan, konsep "Satu Cina" sudah tak laku. Sejak beberapa dasawarsa lalu telah berdiri Singapura dengan mayoritas etnis Cina. Tetapi, jauh sebelum Singapura berdaulat, para Cina perantauan sudah menerima kedudukan: "kaulah Hindia Belanda, Inggris, Prancis, dan lain-lain", atau warga negara Amerika, Australia, atau lainnya. Setelah 1945, orang Cina yang pergi ke Negeri Belanda atau Amerika Serikat dari Indonesia jauh lebih banyak dibanding yang pulang kampung, ke Cina. Di Cina sendiri sudah berkembang konsep tak ada hubungan dengan kaum Cina perantauan. Di kalangan para cendekiawan Cina, kaum Cina perantauan dianggap sama seperti fenomena orang Eropa perantauan yang bermukim di Amerika atau Australia. Perantauan orang Inggris, Jerman, atau Swedia tinggal di Amerika dan menyebut diri orang Amerika. Begitu pula orang Cina. Baik mereka yang di Amerika, Indonesia, maupun Australia. Mereka tak punya hubungan dengan "induknya", tanah leluhurnya. Pulang Sebagai Simalakama Fobia pulang meningkat di Jepang. Para pekerja tidur di hotel kapsul, di kamar mirip sarang semut. ORANG yang tidak punya pulang lazim disebut gelandangan. Corak hidup bagai duri hanyut, di mana tersangkut di situ bergayut, ternyata bukan monopoli kaum papa di kota Dunia Ketiga. Jalan pulang yang gelap juga "nasib" orang kota di negeri mahakaya seperti Jepang. Itu hasil penelitian ahli jiwa di sana. "Jumlah yang enggan pulang sehabis jam kantor kian meningkat tiga tahun terakhir," kata Toru Sekya, Direktur Sekya Psychiatric Clinic di Tokyo. Perilaku ini dijulukinya sebagai fobia pulang, homecoming phobia. Mereka berat hati pulang ke rumahnya masing-masing. Salah satu penyebab adalah permukiman yang jauh. Harga tanah yang melangit di Tokyo mendesak mereka bermukim nun di pinggir atau di luar kota. Untuk mencapai tempat kerja, dengan kereta tercepat sekalipun, perlu waktu satu-dua jam. Mereka berangkat di pagi buta, dan pulang setelah malam sangat larut. Di saat embun mulai turun, bagi pekerja yang giat atau yang membunuh waktu sambil minum dengan konconya, beringsut pulang merupakan perjalanan panjang. Bila ketinggalan kereta terakhir, perlu kesabaran ekstra untuk antre di pangkalan taksi. Tapi ongkosnya lumayan mencekik karena buat sopir yang kerja malam, lemburnya dua kali lipat dari tarif siang. Dan kalkulator di Jepang nyaris melek terus. Apalagi dalam urusan tempat tidur. Inilah yang segera ditangkap jadi peluang bisnis. Di Ikebukuro, distrik supersibuk Tokyo, tiga tahun lalu muncul hotel berlantai enam. Kamarnya 180. Tiap kamar dibuat pas sekadar meluruskan tulung punggung. Fasilitas lain, ruang makan dan sauna. Kini kamar mirip sarang semut itu penuh tiap hari, kecuali Minggu. Hotel berkamar model kapsul pertama kali ada di Osaka, 1977. Tarifnya 25 dolar AS semalam -- lebih murah dibanding ongkos taksi pulang pada waktu dini hari. Tahun lalu sebuah perusahaan asuransi melakukan survei dengan 500 responden pegawai berstatus menikah. Hasilnya, 30% mengaku kadang-kadang ogah pulang sehabis kerja. Perasaan enggan pulang itu melanda separuh dari mereka, dua kali sebulan. Sisanya, ada yang empat kali. Aneka problem psikologi yang melingkungi takut pulang, menurut Sekya, merupakan depresi bentuk ringan. Pria yang fobia libur, misalnya. tidak bakal setop memikirkan kerja, meskipun ia sedang berlibur. Alasan enggan pulang itu, seperti disiarkan majalah Look Japan edisi Agustus ini, lantaran rumah tak lagi dirasa terminal yang nyaman untuk mengendurkan saraf. Kecanduan kerja menyita banyak waktu dibanding jadwal bergaul dengan anak-istri. Kehangatan dan keakraban rumah tangga lalu berubah jadi nafsi-nafsi, dar sampai pada titiknya, di rumah ia kehilangan pamor. Sepuluh tahun silam, Sekya mengurus anak yang ogah ke sekolah. Lima tahun terakhir, yang meningkat adalah jumlah orang dewasa enggan pulang. "Mereka bahkan tak menginap di hotel kapsul," ujarnya. Bukan juga luntang-lantung d jalan, tapi, ya, seakan betah di kantor. Atau minum kopi di warung dekat kantornya. Sejak menangani urusan ini tiga tahun silam, Sekya merawat 60 penderita. Saat ini lima menginap di kliniknya, seraya tetap ke kantor. Tapi, dibanding bocah yang ogah sekolah, ternyata lebih banyak bapak yang dilanda fobia pulang. "Ini jelas penyakit sosial yang serius," komentar Sekya. Masyarakat modern Jepang sendiri telah membuat perangkap untuk semua itu. Yaitu, lingkungan pekerjaan menggiring manusia pada stres yang langgeng. Pengalaman sebagai bangsa yang kalah dalam Perang Dunia II menumbuhkan fanatisme kerja pada manusia Jepang. Dan berkat semangat kerja itulah, seusai perang, Jepang bangkit secara menakjubkan di bidang ekonomi. Iklim ini membiakkan generasi beken dengan sikap monoloyalitas (kesetiaan tunggal) pada perusahaan, hingga faktor senioritas merupakan tempat terhormat. Ketika krisis minyak pada dasawarsa 1970, perusahaan mengetatkan energi. Dan didorong persaingan yang kian buas, kemudian hormat tradisional tadi dikesampingkan, sehingga membuat mulus proses pengurangan tenaga kerja. Tapi dewasa ini semangat gila kerja gencar digugat generasi muda. Antara lain mereka menuntut disunat jumlah jam kerja per tahun, dan bukan hanya menghitung waktu yang cukup untuk libur (lihat Candu Kerja, Enggan Berlibur). Mereka ingin mengisi hidup lebih bermakna. Jadi, perlu ketegasan: hidup bukan untuk kerja, tapi kerja untuk hidup. Makanya, pemerintah serta pengusaha mulai menyadari kenyataan bahwa jiwa tertindih buruk bisa berakibat terhadap perangai dan keadaan fisik manusia. Kementerian perburuhan melansir program kesehatan total, 1988, meliputi latihan tenaga penyuluhan, gaya hidup, dan bimbingan gizi. Sampai tahun lalu, 700 perusahaan mengikutinya. Kelompok industri Asahi, empat tahun lalu, adalah perusahaan pertama yang memiliki program kesehatan mental untuk karyawan. Lembaga ini dikelola Tsuyoshi Senda. Ia menangani rata-rata tiga pasien per hari. Mereka adalah karyawan muda yang bekerja kurang dari tiga tahun, atau pekerja berusia lanjut, dan veteran. Kepedulian perusahaan terhadap problem kesehatan mental ini rendah. Menurut Senda, perlu waktu 10 tahun untuk sampai pada kesadaran itu. Sehingga, sekalipun pemerintah Jepang menyediakan subsidi (10,6 juta dolar AS), baru separuh dari jumlah itu tersalur pada 1989 dan 1990. Karyawan pengidap fobia pulang merupakan korban pertumbuhan ekonomi yang amat cepat. Tapi kaum juragan diingatkan: mereka berutang pada karyawannya lebih dari sekadar dari yang dikira. Sebab, dalam suatu paket kerja kolektif, niscaya tidak ada satu komponen yang mampu bekerja sendiri. Dan jika soalnya adalah pulang tidak pulang, bisa saja orang kerja tak perlu pulang sama sekali. Misalnya, karyawan kerja di rumahnya dengan dukungan fasilitas teknologi yang sesuai dengan kepentingan perusahaan atau kantornya. Namun, di tengah kemajuan yang bergelimang kegelisahan, juga tak mustahil setelah urusan yang satu diselesaikan, lalu bakal muncul lagi simalakama baru. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus