ADA yang membikin orang Jepang malas pulang ke rumah, setelah jam kantor. Entah karena rumah di Jepang umumnya sempit, tapi mungkin juga -- terutama bagi eksekutif -- kerja sudah membuat orang ketagihan. Menurut majalah Time, 8 Juli lalu, setahun orang Jepang bekerja 65 hari lebih lama ketimbang orang Jerman, atau 25 hari lebih lama dari orang Amerika. Ekonomi Jepang melonjak karena itu. Tapi baik negara maupun perusahaan bukannya bebas menghadapi pecandu kerja, "penyakit" yang kini disebut workalholic. Bagi penderitanya, bersantai ibarat kemewahan tiada tara. "Saya biasa memberikan 100 persen hidup saya untuk kerja. Ketika dianjurkan menguranginya jadi 60 persen, saya bingung. Itu sulit sekali," kata Matoshi Yamada, 43 tahun, eksekutif perusahaan konstruksi bangunan. Kini ia tak punya pilihan lain. Ia mengidap tuberkulosa. "Saya terpaksa memotong waktu kerja, daripada saya mati," ia menambahkan. Ia merancang sejumlah jadwal bersantai. Dalam sepuluh tahun mendatang, ia ingin menambah ilmu di berbagai bidang, seperti kesehatan dan real estate sampai memperoleh sertifikat. Ia ingin membaca 480 judul buku, naik sepeda keliling dunia, masuk sekolah seni, jadi sukarelawan perdamaian, membangun rumah, dan menyiapkan makam untuk dirinya. Banyak orang Jepang, seperti Yamada, terlambat menemukan keriaan untuk santai. Padahal, untuk mengendurkaa ketegangan akibat kerutinan kerja, pekerja keras butuh penyegaran. Tapi, bagi yang tak biasa, sulit melakukannya. Perlu latihan dan usaha. Maka, untuk merangsang karyawannya berlibur, Mazda Motor menawarkan: Kontes Impian Liburan. Peminat kontes boleh mengajukan impiannya, hingga yang paling ideal. Perusahaan berusaha mewujudkannya. Tahun lalu, Ryuko Yamaguchi, trainer manager, terpilih sebagai pemenangnya. Kemudian, Yamaguchi dan istrinya ikut kejuaraan dansa ballroom di Royal Albert Hall, Inggris. Mazda memberi sangu 3.500 dolar AS kepadanya. Ia bangga namanya tercantum dalam buku program. Kendati begitu, ia menolak tawaran memperpanjang libur. "Dua minggu saja sudah lama," katanya. Jusco, pemilik perusahaan swalayan, juga repot menawan cuti bulanan untuk karyawan di tingkat manajer ke atas. Setelah dibujuk, Hitoshi Murakami, 36 tahun, setuju. Manajer supermarket di Nagoya itu mengisi liburan dengan jalan kaki keliling Nagoya dan mengunjungi neneknya di Osaka. Ini pertama kali ia berlibur bersama keluarganya sejak 14 tahun bekerja di perusahaan itu. Murakami juga mengunjungi pertemuan sekolah anak lelakinya yang berumur 8 tahun. Di situ, ia baru tahu bahwa anaknya yang di rumah dikenal ceriwis dan pelamun, ternyata patuh dan tertib di sekolah. Ia terharu. Sampai bulan lalu,ia memang tak pernah berlibur lebih dari lima hari. "Saya tak membuat rencana, jadi saya tidak pernah merasa perlu berlibur," ujarnya. Membudayakan kesantaian memang tak semudah membudayakan kerja. Tapi Jepang kini punya ahli yang memberi nasihat untuk perusahaan dan perorangan yang mencari cara mengisi waktu libur. Misalnya, Asosiasi Rekreasi Nasional Jepang membantu menunjukkan tempat melancong, mengatur uang, sampai ke teman perjalanan. Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Jepang bahkan akan bekerja sama dengan asosiasi itu membantu karyawan merencanakan waktu luang. Namun, kaum muda Jepang agaknya mampu mengatur waktu untuk bekerja maupun bersantai. Misalnya Yoshiko Murata, 23 tahun. Tahun lalu, humas perusahaan otomotif Toyota ini empat kali melancong ke Eropa dan Hawaii. Bulan lalu, ia ke Bali dan mengaku senewen dengan pulau ini, sampai ogah balik ke Jepang. Tapi kepada teman seperjalanan ia bilang, "Kita mesti kerja keras, supaya bisa ke sini lagi." Bosnya, Kimiaki Kuroki, 42 tahun, tahun ini cuti cuma dua hari. Sebuah. masalah, Kuroki-san. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini