INI memang bukan laporan pandangan mata tentang bencana yang mengerikan. Ini adalah persoalan yang timbul ketika dana akhirnya terkumpul untuk memugar Candi Borobudur. Begitu banyak arca yang terpenggal kepalanya. Banyak pula serpih-serpih ukiran yang sulit dikenali lagi di mana seharusnya ia ditempelkan. Komputer pun lantas dipanggil. Tidak lucu, memang. Candi yang dibangun seluruhnya dengan tangan, kini dipugar dengan bantuan teknologi canggih. Tetapi, adakah cara lain? Lucu tidak lucu, IBM melalui agen pemasarannya di Indonesia lalu mengangkat jari untuk menawarkan bantuannya. Seorang tenaga ahli dan beberapa perangkat komputer IBM kemudian dikirim dan ditempatkan selama dua tahun di Proyek Pemugaran Candi Borobudur proyek kerja sama Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO. Setelah melalui survei pendahuluan yang mendalam, jasa komputer IBM lalu diterapkan dalam tiga bidang aplikasi. Ratusan arca di Candi Borobudur itu kini telah menemukan kepalanya kembali. Sebagian kepala memang tak ditemukan lagi, mungkin disimpan para kolektor pribadi. Keping-keping dan serpih-serpih batu yang tadinya dibongkar untuk dirawat dan diawetkan, kini telah kembali ke tempatnya semula. Candi Borobudur telah menjadi lebih elok dan lebih patut untuk dibanggakan. Komputer memang belum ada pada saat Candi Borobudur didirikan sebelas abad yang silam. Jasa IBM dalam pemugaran itu pun tidak perlu mengacau sejarah dengan menambahkan sebuah relief baru bergambar komputer. Tetapi, kehadiran IBM (International Business Machines) di Indonesia harus diakui--memptlnyai sejarahnya yang panjang. Pada 26Mei 1937di bilangan Molenvliet Oost, Batavia (sekarang Jalan Hayam Wuruk, Jakarta), sebuah perusahaan didirikan dengan nama Watson Bedrijfsmachines Java NV. Bedijfsmachines identik dengan business machines, sedangkan Watson adalah nama Bapak perusahaan besar yang kemudian bernama IBM Corporation - Thomas J. Watson Sr. (1914-1950) Karena karyawannya tak lebih dari tiga orang, mungkin dianggap terlalu berat untuk menyandang nama sepanjang itu. Lalu disingkatlah menjadi Watson Java NV saja. Kantor ini sebenarnya hanya merupakan cabang dari Watson Bedrijfsmachines NV di Negeri Belanda. Tugasnya hanya melakukan instalasi mesin IBM dan kemudian menagih pembayarannya. Pemakai jasa IBM pertama di Indonesia adalah kantor pusat Jawatan Kereta Api SS (Staats Spoorwegen) di Bandung. Sama sekali tak mirip komputer modern seperti yang biasa kita lihat kini. Mesinnya besar, dengan sistem kartu berlubang, dan seluruh prangkat tersebut dilayani sekitar 50 orang. Ke-50 orang Indonesia yang melayani mesin ini dilatih oleh Watson Java NV. Mereka boleh dikata adalah orang-orang Indonesia pertama yang memahami teknologi pengolahan data. Seluruh mesinnya digerakkan secara mekanis, menggunakan pedal, pegas, dan roda gigi. Mesin bisnis seperti itu terutama dipakai untuk mengerjakan administrasi pembukuan dan penggajian. "Keajaiban" yang kemudian terjadi di Kantor Pusat SS itu tentu saja lantas menjadi buah bibir. Kantor Dana Pensiun dan Maskapai Pelayaran (KPM = Koninklijke Paketvaart Maatschappij) pun segera memesan mesin bisnis yang sanggup mengubah impian efisiensi menjadi kenyataan. Mesin pengolah data mekanis yang telah memancing kekaguman masyarakat bisnis ketika itu, lalu membuat Watson Java NV menjadi sibuk melayani pesanan. Kantor di Molenvliet Oost itu segera jadi penuh sesak, sehingga lantas dipindahkan ke Koningsplein Weg (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara). Demikianlah IBM memulai kehadirannya di Indonesia. Ketika Jepang masuk, Watson Java NV tetap bertahan, padahal banyak perusahaan Belanda lain yang ambruk. Kemerdekaan Republik Indonesia yang kemudian tercapai pun membuat Watson Java NV semakin bertambah pekerjaannya. Baru pada 1953 Watson Java NV berubah menjadi IBM Indonesia Ltd. NV. Pegawainya sudah meningkat menjadi delapan di antaranya adalah ahli mekanik bangsa Indonesia. Dalam perkembangan sejarahnya, nama perusahaan itu kemudian berubah menjadi IBM Indonesia Ltd. PT, lalu berubah lagi menjadi PT IBM Indonesia. Reformasi ekonomi yang dilakukan Pemerintah Indonesia. terutama sejak masa Orde Baru, membawa pula perubahan bagi perwakilan IBM di Indonesia ini. Pada 1968 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomer 6 yang mengharuskan semua perusahaan asing di bidang dagang dan jasa mengalihkan usaha mereka kepada perusahaan bumiputra, selambat-lambatnya pada akhir 1977. "Itu memang menjadi soal besar bagi IBM," kata Drs. J. P. Soebandono, Presiden Direktur PT Usaha Sistim Informasi Jaya atau PT USI Jaya atau USI. IBM adalah perusahaan besar yang demi kepastian layanannya tidak pernah bersedia menyerahkan produknya untuk ditangani pihak lain. Di India pun telah diberlakukan peraturan yang mirip dengan UU No.6/1968, dan IBM memutuskan untuk meninggalkan India. Akankah UU No.6/1968 itu juga membuat IBM meninggalkan Indonesia? Ketika populasi komputer justru sedang meningkat pesat? Menjelang 1977, perundingan-perundingan pun dilakukan antara IBM dengan Pemerintah Indonesia. Soebandono yang ketika itu Manajer Personalia dan sekaligus Manajer untuk Hubungan dengan Pemerintah ikut serta dalam perundingan-perundingan tersebut. "Pokoknya, perusahaan asing tak boleh melakukan pemasaran dan perdagangan di sini," kata Soebandono menirukan ucapan Radius Prawiro, Menteri Perdagangan ketika itu. "Perdagangan harus dilakukan oleh perusahaan nasional yang sahamnya pun harus seratus persen saham nasional. " "Alternatif bagi kami memang tidak hanya satu, untungnya," kata Soebandono. Itu terutama karena Pemerintah Indonesia pun tentu tak ingin IBM pergi dari negeri ini. Alternatif pertama, IBM bekerja sama dengan Pemerintah. Itu akan sulit. Alternatif kedua, bekerja sama dengan pengusaha Indonesia yang cukup dana untuk membiayai operasi yang cukup besar ini. Kesulitan alternatif kedua ini adalah bahwa mitra lokal itu belum paham dan mungkin tak akan pernah sepaham dengan konsep bisnis IBM. "Apalagi karena jenis kegiatan di bidang komputer ini belum tentu ROI-nya (return on investment) tinggi," kata Soebandono. "Padahal, pengusaha di sini biasanya menuntut ROI yang relatif tinggi, yang dicapai dalam waktu pendek. Standar perkantoran dan penggajiannya pun berbeda. Alternatif ketiga adalah menyerahkan pekerjaan pemasaran itu kepada para karyawan PT IBM Indonesia yang tentu saja telah menghayati konsep bisnis IBM. "Tetapi, susahnya, mereka ini adalah orang-orang yang tak punya uang," kata Soebandono tertawa. Tetapi ternyata justru alternatif ketiga inilah yang paling masuk akal. " Teryata, kalau kami-kami ini menjadi agen, modalnya tak perlu harus banyak. Karena sudah percaya kepada kami, IBM bersedia meminjamkan barang-barangnya yang kami pakai sebagai stok," kata Soebandono. "Bagi IBM pun cara ini menguntungkan karena masih ada unsur pengawasan yang dapat mereka lakukan terhadap barang-barangnya yang kami pasarkan." Demikianlah di Indonesia kemudian dipersiapkan bel dirinya agen eksklusif IBM. Doing business on behalf of IBM, demikian menurut Soebandono apa yang sebenarnya ia dan kawan-kawamya lakukan. "Dengan menyatakan kami adalah wakil IBM maka kami pun dapat bertindak seolah-olah kami IBM. Untuk itu kami memperoleh power of attorney dari IBM," tambahnya. Pilihan ini memang ternyata yang paling masuk akal. Pada 178 didirikanlah PT Usaha Sistim Informasi Jaya (selanjutnya disingkat USI) sebagai agen eksklusif IBM di Indonesia. Nama itu sebenarnya merupakan terjemahan dari business information system sebuah nama yang menunjukkan bahwa pada 1978 pun mereka sudah berpikir tntang konsep sistem informasi, bukan sekadar pengolahan Nama Jaya ditambahkan karena saran dari Departemen Kehakiman. Untuk pertama kalinya di seluruh dunia, IBM mundur selangkah untuk mengakomodasikan kehendak Pemerintah Indonesia. "Cara Indonesia" itu memang lantas menjadi model bagi IBM untuk memecahkan masalah serupa di negara-negara lain. Diperkrakan pada waktu itu akan diperlukan dana sebesar Rp 75 milyar untuk memulai keagenan IBM. Pada awal masa Orde Baru itu, jelas sulit mencarl bank yang bersedia meminjamkan dana sebesar itu. Padahal risiko bisnis ini bukan kepalang besarnya. Untuk membuka L/C mahal. Bila pembeli meleset membayar sebulan saja, biaya yang terjadi atas keterlambatan itu setidaknya sudah membebani perusahaan. "Tetapi, yang paling penting dalam keagenan ini adalah dukungan total dari principal ' kata Soebandono. "Setiap kali kami harus di-update dengan teknologi baru . Setiap kali kami membutuhkan sejumlah besar suku cadang untuk memastikan mutu layanan kami. Dengan cara keagenan ini. kami bisa mendapatkan semuanya dari IBM Pusat." Apakah itu berarti bahwa sebenarnya USI hanya boneka yang hanya bergerak bila benangnya ditarik oleh IBM Pusat. Soebandono langsung bereaksi keras. "Kami sama sekali tidak di bawah kendali maupun pengawasan mereka," katanya keras, sambil mengguncang tangan lama sekali. We are the one who call the shot. Always! Dalam sistem keagenan ini, USI menerima pembayaran kembali atas semua biaya operasi yang dikeluarkannya: gaji karyawan, biaya pendidikan dan pelatihan, serta ongkos-ongkos lain. Wajar bila karena itu USI menerima persentase komisi yang lebih rendah. "Kami benar-benar menjalankan perusahaan ini seolah-olah kami menjalankan IBM Company," kata Soebandono. "Kami tidak pernah merasa terkekang karena kami memang sudah menghayati The IBM Way. itu. Kalau pun kami harus meminta persetujuan dari principal, kami menerimanya sebagai cara terbaik untuk melakukan check and balance. Wajar kan bila sebagai pemilik barang mereka berkepentingan untuk mengetahui apa yang terjadi dengan barang mereka yang berada di tangan kami?" USI karenanya, bukanlah pialang. Ia adalah perpanjangan tangan IBM Corporation di Indonesia. Kerja sama USI/IBM dengan IBM Corporation selama sembilan tahun ini telah berjalan mulus. "Kuncinya adalah kejujuran dan kepercayaan. Juga saling ketergantungan. IBM Corporation toh tak akan dapat beroperasi sendiri di Indonesia. Kami sebagai agen pada awalnya pun hanya bermodal dengkul," kata Soebandono. Dalam daya saing, mekanisme kerja sama itu ternyata juga memberikan sisi yang menguntungkan. USI/IBM tetap dipandang sebagai IBM-nya Indonesia, dan sebagai perusahaan Indonesia ia tentu saja lebih luwes menjalankan usaha di negeri sendiri. Keluwesan itu tentu saja bersifat relatif. "Sebagai perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan besar Amerika, tak ada suap dan komisi dalam kamus kami," tutur Soebandono. "Kami bangga dapat melakukan hal itu, karena dengan demikian kami tidak ikut-ikutan dengan mereka yang menganggap seolah-olah Indonesia ini adalah hutan rimba yang hanya bisa dimasuki bila sesajennya komplet. Kami tak ingin terjebak dengan praktek bisnis yang kami sendiri memberinya label sebagai tak etis." Mungkinkah melakukan hal seperti yang dikatakan Soebandono itu secara murni di negeri kita? "Memang, kadang-kadang itu membuat hidup kita lebih sulit," tutur Soebandono. "Tetapi, kami kan tetap hidup? Kami memberikan barang yang terbaik dengan harga yang terbaik pula. Kami tidak membiasakan tawar-menawar karena menurut konsep kami, tawar-menawar itu mengandung unsur penipuan. Coba kami pasang harga sepuluh rupiah, padahal sebenarnya kami hanya ingin harga delapan rupiah. Kalau ditawar, kami akan mundur menjadi sembilan rupiah. Kalau ditawar lagi, kami mundur lagi menjadi delapan rupiah. Tetapi, kalau tak ditawar'? Kan keuntungan kami bertambah dua rupiah?" "Yang kami tawarkan adalah pemecahan masalah, bukan sekadar mesin. Dalam bisnis komputer orang tak bisa melakukan hit and run. Mereka membutuhkan mitra untuk memecahkan masalah pengolahan informasi. Dan kami ingin menjadi mitra mereka. Karena itu kami tidak bermain dengan harga dan janji. Kami pun beruntung mendapat dukungan total dari IBM Corporation," kata Soebandono, pria yang semasa mudanya aktif dalam resimen mahasiswa dan menyukai olah raga keras seperti berburu, terjun payung, dan mengembara di alam bebas. Tentu ada risiko bagi USI/IBM untuk menerapkan konsep itu secara tegas dan konsisten. "Ada orang yang berpendapat bahwa kami angkuh dan tidak luwes. Maaf saja, kita semua kan ingin menjadi bangsa yang bermoral tinggi dan berprestasi. Apakah salah bila kami memegang prinsip etika atau tata cara dan tatalaku yang memang seharusnya dipakai. Dan tidakkah pada tempatnya bila kami mempunyai kebanggaan atas hasil kerja kami dengan tanpa menyombongkannya?" kata Soebandono, sedikit pun tanpa kesan ragu. Dengan nama IBM pada tulang punggung, USI/IBM memang tak punya alasan untuk ragu melangkah. Keperintisan dan kepeloporan IBM dalam mesin pengolah data dan informasi sudah cukup untuk membuatnya tetap tegak. Komputer elektronik pertama baru menjadi kenyataan pada 1944. Lahir dengan nama Mark I di Universitas Harvard, dengan bantuan teknologi IBM, kelahirannya segera diikuti komputer-komputer IBM lainnya, seperti: mesin IBM 604, mesin seri 700, dan komputer IBM 650. Komputer generasi pertama ini masih memakai tabung hampa seperti yang pada waktu itu digunakan pada radio. Penemuan transistor--awal revolusi elektronika - pun mengakibatkan lahirnya komputer generasi kedua. Pada 1961 IBM memperkenalkan komputer generasi kedua ini. Agustus tahun berikutnya, sebuah komputer generasi kedua--IBM 1401--sudah dipasang di PT Stanvac Indonesia. Langkah Stanvac ini segera diikuti oleh berbagai instansi lain di Indonesia. Bagian Personalia TNI-AD di Bandung segera memesannya, disusul kemudian oleh yang lain-lainnya. Meningkatnya volume kegiatan tentu pula menambah jumlah karyawan. Kantor yang telah pindah ke Jalan Medan Merdeka Utara, dipindah lagi ke Gedung Bumiputera 1912 di Jalan HOS Cokroaminoto. Tetapi, ketika karyawannya mencapai jumlah 75 orang, kantor pun pada 1969 terpaksa dipindahkan lagi ke Gedung Bank Dagang Negara di Jalan MH Thamrin. Pada tahun itu pula komputer generasi ketiga mulai masuk Indonesia. Sistem komputer S/360 dipasang di Markas Besar Angkatan Kepolisian Republik Indonesia. Komputer ini telah menggunakan teknologi sirkit elektronik secara lebih terpadu. Transistor yang dipakai sudah sedemikian canggihnya sehingga kotak sebesar dadu saja sudah bisa menampung 50.000 transistor. IBM S/360 pun dipesan oleh Pemerintah Daerah DKI Jaya. Hanya beberapa tahun kemudian, karena meningkatnya volume pekerjaan di Pemda DKI, komputer IBM S/360 itu ditukar dengan tiga unit IBM S/370. Data kependudukah, Ireda, STNK, pajak bangsa asing, izin gangguan, izin perumahan, penagihan rekening air minum, sampai urusan kepegawaian, semuanya dipercayakan kepada komputer. Komputer induk di Balai Kota secara on line dihubungkan dengan terminal-terminal yang tersehar di berbagai jawatan. Pada 1976, jumlah karyawan telah mencapai 240 orang. Gedung Bank Dagang Negara tak mampu lagi menampungnya. Kantor pun dipindahkan ke Wisma Metropolitan di Jalan Jenderal Sudirman. Tetapi, USI/ IBM berkembang terus bersama kebutuhan pengolahan informasi yang semakin meningkat dan canggih. Kantor di Wisma Metropolitan itu pun mulai kewalahan. Ada yang di lantai 14, 15, 16 dan 17, ada yang di lantai 3, ada PUIL yang di lantai 4 dan 6. Bahkan, unit layanan terpaksa ditempatkan di gedung lain, yaitu di Gedung Panin Centre, di ujung lain Jalan Jenderal Sudirman. Dengan karyawan yang telah membengkak menjadi lebih dari 400 orang, pada 1987 ini kemudian diputuskan untuk menggabungkan seluruh operasi USI/IBM dari satu lokal. Gedung Landmark di Jalan Jenderal Sudirman dipilih sebagai alternatif terbaik. Tidak kurang dari enam lantai --luas total kurang lebih 10.000 meter persegi - diperlukan untuk menampung seluruh kegiatan PT USI/IBM itu. Kepindahan dilakukan pada 12 Juni 1987, yang kemudian disusul dengan IBM Expo pada bulan Juli 1987 di lokasinya yang baru ini. Prestasi USI/IBM sendiri pun makin diakui IBM Corporation. "Dulu hubungan kami sejarak armlength," kata Soebandono. "Sekarang saya selalu diundang untuk mengikuti rapat di IBM Corporation. Beberapa teknisi kami pun ada yang harus selalu hidup paspornya karena setiap saat harus siap terbang ke negara-negara lain di Asean untuk membantumengatasi kesulitan teknis yang terjadi pada instalasi komputer IBM di negara-negara tetangga tersebut kalau diperlukan." Instalasi-instalasi komputer IBM itu sudah membuktikan manfaatnya di perusahaan-perusahaan besar, bank-bank, instansi-linstansi Pemerintah, juga di lembaga-lembaga penelitian dan pendidikan tinggi. Salah satu di antara prestasi yang membanggakan adalah sistem ARGA (Automatic Reservation Garuda Indonesia Airways) yang dipakai Garuda Indonesia di seluruh Indonesia. Melalui jaringan Indosat dan Perumtel, komputer induk dihubungkan dengan terminal-terminal di dalam dan di luar negeri untuk melayani pemesanan tempat selama 24 jam. Sebagai perusahaan yang telah mencapai tingkat kebesaran seperti itu. wajarlah bila USI/IBM harus pula memikirkan fungsinya sebagai corporat citizen yang baik. Pandangan ini bermula dari filsafat dasar yang diletakkan oleh Thomas J. Watson Sr., pendiri dan Chairman pertama IBM Corporation. Tanggung jawab sosial sebuah perusahaan, menurut konsep IBM ini lebih dari sekadar bersikap dermawan, tetapi harus diterapkan dalam sikap berusaha sehari-hari. Filsafat dasar itu dikembangkan Watson menjadi tujuh prinsip yang diterapkan oleh segenap karyawan IBM di mana pun. "Dengan melayani kepentingan umum, kami yakin telah sekaligus melayani kepentingan kami sendiri," kata Soebandono. Itu terutama terlihat dalam salah satu prinsip IBM untuk ikut serta melestarikan lingkungan hidup. "Kami tidak ingin ketinggalan dalam bidang ini," tambah Soebandono. Tak heran bila USI/IBM pun menjadi anggota Dana Mitra Lingkungan, misalnya. Mereka pun menjadi sponsor pelayaran Phinisi Nusantara ke Expo 86 Vancouver, Kanada. Juga acara serial televisi, Planet Earth. Keikutsertaan IBM Indonesia dalam pemugaran Candi Borobudur, seperti dijelaskan pada awal tulisan ini, merupakan salah satu perwujudan nyata tanggung jawab sosial USI/IBM. Yang mungkin merupakan puncak dari pernyataan tanggung jawab sosial USI/IBM di Indonesia adalah program yang diselenggarakannya bersama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan beberapa perguruan tinggi. Program yang diberi nama PIKSI (Pusat Ilmu Komputer dan Sistem Informasi) dan telah menelan anggaran senilai US 8 juta itu telah atau sedang diimplementasikan di Universitas Brawijaya Malang, IKIP Negeri Jakarta. Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gajahmada Yogyakarta. "Pengetahuan komputer telah menjadi kemustahakan baru di perguruan tinggi," kata Soebandono. "Rektor ITB sendiri pernah mengatakan bahwa dalam waktu lima tahun mendatang, tak akan ada insinyur yang tak mengerti komputer." "Itu semua kami lakukan karena kami sadar bahwa hidup kami ini tidak sekadar untuk cari untung," utur Soebandono. "Kami tahu anggaran Pemerintah untuk pendidikan tidak bisa mencakup semua yang diharapkan. Tetapi, dalam GBHN kan juga disebut bahwa tanggung jawab pendidikan tidak semata-mata terletak di tangan Pemerintah. IBM adalah pemimpin di bidang teknologi tinggi, dan kami ingin menularkannya kepada masyarakat Indonesia - ladang kami mencari nafkah. Kami tidak ingin menggunakan perguruan tinggi sebagai kancah pertempuran untuk kekuatan-kekuatan pemasaran pabrik komputer. Kami justru ingin mengajak yang lain untuk ikut berlomba membantu perguruan tinggi." Tanggung jawab sosial ternyata memang tetap manis di mulut, tetapi mengambil porsi yang tidak kecil dari kantung. PT USI/IBM telah melaksanakannya sebagai bagian dari sumbangannya kepada masyarakat. "Masyarakat harus dapat menarik manfaat dari kehadiran kami di tengah mereka," simpul Soebandono. "Kalau ABRI punya proram ABRI Masuk Desa untuk lebih bisa diterima masyarakat, kami pun harus melakukan hal yang serupa untuk dapat akrab dengan masyarakat Indonesia." Pariwara dikelola oleh PT Mitra Pustaka Tama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini