Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Azab kawin semarga

Ria siburian yang kawin lari dengan gadis dorlan tewas dihajar kakak dan ayah dorlan, mangatur dan domosian siburian. korban dianggap melanggar hukum adat karena kawin semarga.

18 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGKAH Mangatur Siburian tergopoh-gopoh. Tubuh gempalnya berguncang ketika rambut gondrongnya berkibar dikibas angin. Urat ajahnya tegang. Matanya seperti saga. Dia mara ke Desa Paranginan, Kecamatan Lintong Ni Huta, Tapanuli Utara, 272 km dari Medan. "Ria ada di sana," katanya kepada penduduk desa. Delapan di antara yang bertanya mengekor Mangatur. Kelompok itu menemukan Ria Siburian yang sedang nongkrong sarapan pagi di sebuah kedai. Ria, 47 tahun, terkejut dan tak sempat ambil langkah seribu. Ketika sebuah batu sebesar kuini menimpuk kepalanya, Ria kemudian menelupur di tanah. Mangatur dan teman-temannya, dengan kayu dan batu, lalu cerkas membantai Ria, hingga berselemak darah. Ria kemudian diseret ke rumah Mangatur di Dusun Lumban Saba Desa Lumban Sialaman, 3 km dari Desa Paranginan tadi. Seterusnya ia diikat di dinding rumah, dekat dapur. Kedua jempol tangannya di Jerat dengan kulit kayu, setelah ditelikung ke belakang. Ria mengerang, makin perlahan, dan tak berdaya lagi ketika celananya dibuka. Mangatur, 30 tahun, kemudian menggasak kemaluan Ria berkali-kali dengan gagang cangkul. Sedangkan kelompok tadi, yang kini jadi 12 orang, termasuk Domisian Siburian (ayah Mangatur), menghajar Ria bergantian, hingga "habis" di tempat itu. Mayatnya kemudian dikuburkan di semak-semak, tak jauh dari rumah Mangatur. Dendam yang sudah lama itu terlampias pada 1 Juli lalu. Kendati semarga, dan biasanya memelihara kekerabatan tinggi, hampir semua penduduk Lumban Saba itu, sekitar 70 rumah tangga, muak pada Ria. Ini karena Ria melanggar hubungan sosial yang selama ini dipanuti. Tetapi entah hantu jembalang apa datang menggoda Ria. Pada Januari 1985, ia lari kawin dengan Dorlan. Putri bungsu Domisian, yang berusia 19 tahun itu, sebenarnya masih "adik" Ria. "Ria telah membikin malu leluhur," kata Tombang Siburian, 45 tahun, pengetua adat di sana. Domisian paling terhina. Soalnya, karena kakek Ria dengan kakek Dorlan adalah abang beradik kandung, dan menurut adat Batak: kawin semarga diharamkan - apalagi dengan saudara satu alur. Domisian dan penduduk desanya tak menyangka Dorlan hidup serumah dengan Ria yang sudah punya bini dan lima anak, dan tinggal di Kutacane, Aceh Tenggara, 300 km dari Medan. Untuk mencari pelajar kelas III SPGA Kristen Tarutung itu, sebelumnya semua kota di Sum-Ut telah dilacak. "Hampir semua simpanan dan warisan dijual untuk biaya mencari Dorlan," kata Domisian. Pelacakan dihentikan. Ayah Ria, yang juga tinggal di Kutacane, menceritakan bahwa Ria kawin lagi dengan marga Sihombing. Ciri-ciri marga Sihombing itu, tak syak lagi, pastilah Dorlan. Padahal, Ria merahasiakan marga Dorlan yang sebenarnya, karena ayahnya mungkin tak setuju jika anaknya kawin dengan gadis semarga. Ayah Ria memang tak pernah mengenal Dorlan. Ia merantau ke Kutacane sudah 20 tahun lebih. Dan ketika ke kota ini, Mangatur tak menemukan Ria dan Dorlan kecuali istri pertama Ria yang telantar. Tetapi kabar dari ayah Ria itu justru menggait Mangatur untuk minta bantuan datu alias dukun. Sang dukun merapal hirap, mantra panggilan. Katanya, "Ria dan Dorlan tak lama lagi akan ditemukan." Petuah tetua marga juga didapat. Ini bak kata pepatah, Siarsikhon tu laut, sisurbuon tu tombak, sitabaon tu hau. Artinya, darah Ria halal diminum. Pertengahan Juni lalu Dorlan muncul di rumah kakeknya, di Sidikalang, 270 km dari Medan. Tak lama di sini, Dorlan lalu menyisih ke Pematangsiantar, 120 km dari Medan. Seharian, Dorlan seperti linglung, berputar-putar di terminal bis kota. Lalu, seseorang yang mengenalnya membawa Dorlan ke kantor polisi. Pada polisi, Dorlan memberi sejumlah alamat familinya. Akhirnya, Dorlan diantar ke rumah kakaknya di Desa Sungai Langgei, Simalungun, 132 km dari Medan. Kabar ditemukannya Dorlan segera merebak ke Desa Lumban Saba. Dorlan dijemput. "Selama dua minggu Dorlan tak mau bicara," kata Sumihar, ibu Dorlan. Belakangan, Dorlan mau juga "menyanyi". Selama jadi istri Ria, katanya, hidupnya tersiksa. Mereka tinggal di Rantauprapat, 288 km dari Medan. Di sini, Ria membuka praktek perdukunan. "Mistik Ria kuat, dan saya tak bisa berkutik," kata Dorlan, yang kini punya seorang anak dengan Ria. Menurut Dorlan, suaminya itu sering mencampurkan guna-guna ke dalam makanannya. Ria pun memasukkan azimat bule-bule ke dalam dompet Dorlan. Supaya istrinya tambah takut, Ria sering mengancam Dorlan dengan todongan pisau. Tetapi pengaruh itu tak dirasakannya lagi ketika Ria pergi ke luar kota. Saat itulah Dorlan kabur dan akhirnya bertemu dengan saudarasaudaranya. Ria "kecarian", bingung tak menentu. Akhir Juni lalu, hampir tengah malam, dia menyatroni rumah Domisian. Dengan bantuan mantra yang dibacanya ia melempar segenggam pasir ke atap rumah Domisian. Ria memang menyirep penghuni rumah itu. Tiga anjing hilang kesiagaannya, dan babi yang tidur di halaman tak menguik. Lamat-lamat, Sumihar, 52 tahun, mendengar suitan. Dan curiga. Tapi karena kantuk jadi penguasa, mereka mendengkur lagi. Kecuali Dorlan. Dia keluar rumah. Ria menarik Dorlan ke semak-semak di balik parik, pagar tanah timbun pembatas dusun. Mereka bersebadan. Ketika itulah Ria mengatakan, dia tinggal di Desa Paranginan. Setelah Ria berlalu, Dorlan melaporkan hal itu pada Mangatur, abangnya. Besoknya, Ria dieksekusi. Polisi yang mencium peristiwa itu segera memeriksa Mangatur. Semula ia mengelak. "Saya betul memukulnya, tapi Ria lari," kata Mangatur. Tetapi tetangga Mangatur menunjukkan kuburan Ria. Mangatur akhirnya mengaku juga. Dan setelah divisum, mayat Ria kembali dikuburkan di luar kompleks pekuburan desa. "Secara adat, kubur Ria tak bisa satu dengan kubur penduduk marga Siburian," kata Tombang, pengetua adat yang tadi. Mangatur dan Domisian kini ditahan di Polsek Lintong Ni Huta. Menurut Kapolsek Lintong Ni Huta, Lettu Jacob Tarigan, pembunuhan itu sebenarnya bukan direncanakan. "Tapi niatnya jelas. Kalau jumpa, Kia akan dibunuh," kata Jacob Tarigan. Penduduk desa tampaknya juga tak keberatan Ria dihabisi. Menurut Tombang, semua itu adalah untuk pelajaran bagi mereka agar tak mengikuti langkah Ria. "Malah kami ikut bertanggung jawab," katanya. Karena itulah, lalu 40 penduduk Dusun Lumban aba mendatangi kantor Polsek Lintong Ni Huta. Mereka minta supaya polisi ikut menahan mereka. Polisi tak melayaninya. "Untuk sementara, cukup dua orang itu saja yang ditahan," kata Jacob Tarigan. Menurut Letkol Tarzan Tampubolon, Kapolres Tapanuli Utara, hukuman adat seperti itu sudah puluhan tahun tak pernah lagi dilaksanakan. "Dulu, laki-laki yang kawin semarga harus dirajam," kata Tarzan. Karena masih banyak perempuan lain. Di tahanan, Mangatur dan Domisian yang panatua gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) itu tenang-tenang saja. "Saya puas membunuh Ria," kata Mangatur. "Hati saya sekarang sudah tenang. Tak ada lagi yang membikin saya malu," kata Domisian. Sedang Dorlan, malah, tak merasa kehilangan. Monaris Simangunsong, Laporan Muchtar Lubis (Biro Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus