Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Juara dari kebun apel

Martina navratilova lahir di praha di tengah keluarga pecinta tenis. mulai dari balita dilatih oleh ayah keduanya. ayah kandungnya bunuh diri. prestasinya menanjak setelah menyeberang ke as.

18 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG gadis kecil memandang ke luar di depan jendela. Ia menghitung pohon-pohon di kebun apel yang bukan lagi milik keluarganya. Kebun itu, delapan tahun sebelum ia lahir, telah diambil alih oleh pemerintah. Lalu, ia teringat, kadang kala ibunya berdiri juga di tempatnya kini, memandang dengan wajah sedih. Si gadis lalu menggeser pandangannya ke lapangan tenis yang rusak, yang akhir-akhir ini cuma menjadi tempat anak-anak bermain sepak bola. Tiba-tiba begitu saja terbit di hatinya: ia bertekad untuk memperoleh kembali pohon-pohon itu. Mungkin, itu sebuah isyarat dari Yang Di Atas. Sekian tahun kemudian, lewat perjalanan yang tak mudah, termasuk harus menanggalkan kewarganegaraan Ceko dan pindah ke Amerika Serikat, antara kebun apel dan lapangan tenis memang ada kaitannya. Dengan malang melintang di dunia yang dibelah oleh jaring itu, Martina memenangkan sejumlah turnamen, dan itu artinya uang. Dengan uang itulah, ibunya bisa kembali memiliki sejumlah pohon apel. "Setelah saya berada di Amerika saya bisa membantu orangtuaku memiliki rumah baru di Desa Revnice. Mereka menyuratiku, mereka kini memiliki 40 pohon apel." Itulah antara lain yang dituturkannya sendiri dalam Being Myself, otobiografi Martina yang terbit di AS pada 1985. (Setahun setelah bukunya terbit, akhir Juli 1986, ia memperoleh izin ke Ceko, mengikuti satu turnamen. Media massa setempat tak mengacuhkan berita besar itu, tapi ia sendiri gembira karena sambutan penonton. "Rakyat Ceko masih mengenaliku," katanya.) Nama Navratilova di belakang Martina kini sesungguhnya ia ambil dari nama ayah keduanya - ia tak pernah menyebut Miroslav Navratil sebagai ayah tiri. Sebelumnya, namanya tertulis sebagai Martina Subertova. Dan baru pada usia 23 tahun, setelah dikenal dunia, ia baru mengetahui ihwal Miroslav Subert, ayah kandungnya kebetulan nama depan kedua ayah itu sama. Ketika di rumahnya datang seorang ayah baru, ketika itu usia Martina baru sekitar empat tahun. Dan ia tak peduli ke mana ayahnya sebelumnya, karena ayah kedua ternyata begitu baik. Ia mendapat berita dari ibunya bahwa ayah kandungnya meninggal. Baru suatu saat, ketika ia telah di AS, nasib sang ayah diketahuinya. Pada usia tiga tahun ibunya bercerai, ayahnya menikah lagi. Dan ayah itu kemudian bercerai lagi karena berhubungan dengan wanita lain lagi. Ketika itulah si ayah harus operasi perut karena suatu penyakit. Ketika itu pula, pacarnya muncul dan bilang telah mendapatkan lelaki baru. Miroslav Subert, ayah kandung itu, kemudian bunuh diri di.rumah sakit. "Ayah kandungku seolah cuma sekelebat bayangan, yang kemudian hilang dalam kabut," tutur Martina. Martina lahir di Praha, di tengah keluarga pencinta tenis, pada 10 Oktober 1956. Neneknya, Agnes Semanska, juara nasional kedua Cekoslovakia sebelum Perang Dunia II. Ayah keduanya, Mirek panggilan akrabnya, penasihat ekonomi di sebuah pabrik, dan ibunya seorang pegawai kantor, keduanya administrator tenis negara. "Tiap hari mereka ke lapangan tenis, dan saya selalu dibawanya," katanya kepada majalah Sports Illustrated, 24 Februari 1975. Dan di situlah latihan pertama Martina. Ia memukul bola ke arah dinding dengan raket tua yang telah dipotong tangkainya oleh ayahnya. Martina balita biasanya tak mau berhenti. Biasanya, lalu ayah atau ibunya mengangkat anak itu, mendudukkannya di kursi, dan menyuruhnya diam. Tapi begitu kedua orangtuanya sibuk, kembali lagi ia akan memukul-mukul bola ke dinding. Melihat itu semua, ayah keduanya yakin bahwa anak perempuan angkatnya yang tomboi itu punya bakat tersembunyi. Dialah, si ayah itu, yang menjadi pelatih pertamanya. "Suatu hari, ketika usiaku dua belas tahun, ayah membawaku ke toko sepatu. Sampai keffka itu aku selalu dikira anak laki-laki. Di kelas, akulah anak perempuan yang paling akhir mendapatkan haid," tuturnya. Suatu ketika seorang tua minta tolong diseberangkan jalan, dan memanggilnya dengan "Scot", panggilan buat anak laki-laki Maka, begitu masuk ke toko sepatu, Martina lalu berdiri di depan cermin setinggi badan. Ia hampi menangis. "Saya memang seperti anak laki laki," katanya sendu. "Keluar dari toko, Ayah mencoba membesar kan hatiku. Katanya, bila besar aku akan jadi cantik. Lalu ia berbicara tentang tenis. Ia percaya, suatu hari aku akan menjuarai Wimbledon. Dan aku waktu itu pun yakin." Kira-kira pada usia enam tahun ayahnya mulai mengajarinya di lapangan. Martina mewarisi raket tua milik neneknya, yang sedikit bengkok di ujung, dan tanpa alas di pegangannya. Raket itu. konon, masih disimpannya. Mulai di hari yang masih diingatnya seolah terjadi baru kemarin "Sepanjang hari itu Ayah mengajariku. Hari itu aku merasa menjadi anak paling bersemangat dan paling sabar di dunia, kurasa," - dari hari ke hari, kekeranjingan tenisnya terus bertambah. Hingga teman-teman sekolahnya suka mengejek. "Martina, untuk apa kau main tenis terus?" katanya, menirukan kata teman-temannya. "Lalu, kataku dalam hati, 'Ah, suatu hari nanti kalian akan tahu." Singkat cerita, ia lalu menjuarai berbagai pertandinan nasional untuk anak-anak. Pertama bertanding pada usia 12, sempat masuk semifinal, sebelum digugurkan gara-gara dianggap masih terlalu bocah. Di sekolah ia juara ketiga. Ia menyukai Ilmu Bumi, dan sering membayangkan tinggal di New York atau Chicago. Pada 1973, di luar dugaan, ia diizinkan bertanding di AS. Setelah itu ia makin giat mengikuti berbagai pertandingan di Amerika, sampai suatu ketika pemerintah Cekoslovakia tak menghendaki ia terlalu lama berada di luar negeri. "Mereka ingin saya menyelesaikan sekolah. Mereka tak peduli apakah saya menjadi juara atau cuma jadi pecundang," tuturnya suatu ketika. Maka, 6 September 1975, sehabis kalah di semifinal dalam satu turnamen di AS, ia resmi mengajukan lamaran jadi warga negara AS lewat Imigrasi New York. Dan dari saat itulah, seorang bintang baru di dunia tenis, seorang juara yang fantastis, muncul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus