Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enam Tantangan Pembangunan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan

Ekonomi kelautan berkelanjutan menghadapi enam tantangan berat. Empat tokoh membahas hasil temuan Indonesia Ocean Justice Initiative tersebut.

7 Januari 2022 | 20.14 WIB

Indonesia Ocean Justice Initiative menggelar Diskusi Bersama Komunitas Pers bertajuk "Rekam Jejak Kebijakan Kelautan 2021 & Proyeksi 2022" disiarkan secara daring, Jumat (7/22)
Perbesar
Indonesia Ocean Justice Initiative menggelar Diskusi Bersama Komunitas Pers bertajuk "Rekam Jejak Kebijakan Kelautan 2021 & Proyeksi 2022" disiarkan secara daring, Jumat (7/22)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

INFO NASIONAL –Hasil penelitian Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) selama dua tahun terakhir mencatat enam temuan yang menjadi masalah dan tantangan pada pembangunan ekonomi kelautan dan berkelanjutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pertama, status pengarusutamaan pembangunan ekonomi kelautan berkelanjutan. Kedua, pengelolaan ekosistem karbon biru. Ketiga, keamanan maritim yang menghadapi ancaman kedaulatan serta permasalahan sampah plastik. Keempat, perlindungan hak asasi (HAM) pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan. Kelima kebijakan pengelolaan penangkapan ikan terukur, dan terakhir yakni perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Terkait tantangan pertama, CEO Indonesia Ocean Justice Initiative, Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M., mengatakan masalah mendasarnya karena belum tersedianya data akurat mengenai kekayaan laut, kesehatan laut, distribusi manfaat sumber daya kelautan, pembiayaan transformasi pembangunan kelautan, serta literasi kelautan.

Padahal Pemerintah memiliki landasan hukum untuk menjalankan komitmen dalam pembangunan ekonomi laut berkelanjutan. Antara lain RPJMN 2002-2025, RPJMN 2020-2024, dan Peraturan Presiden Nomor 16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. Presiden Joko Widodo juga telah membuat pernyataan terkait hal ini pada Deklarasi G20 di Romadan KTT Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, tahun lalu.

“Karena itu, IOJI merekomendasikan agar ditindaklanjuti dengan menyusun Rencana Pembangunan Laut Berkelanjutan (RPLB) yang terintegrasi dengan RPJMN di bawah koordinasi Kemenko Marves bersama Bappenas, BRIN, dan Kementerian KP,” ujar Mas Achmad, atau biasa disapa Pak Ota, dalam diskusi virtual bertema “Rekam Jejak Kebijakan Kelautan 2021 & Proyeksi 2022” pada Jumat, 7 Januari 2021.

Untuk tantangan terkait pengelolaan ekosistem karbon biru, kata Pak Ota, koordinasi di seluruh kementerian terkait harus ditingkatkan, mengembangkan insentif ekonomi bagi masyarakat lokal, serta menindaklanjuti pelaksanaan Perpres 88/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Indonesia (BRGM) berperan mewujudkan misi Indonesia terkait emisi karbon, karena hutan bakau dapat mereduksi emisi hingga 30 persen. Problemnya, laju deforestasi mangrove di Indonesia per tahun sebanyak 12.818 hektare atau setara dengan 40 kali luas Stadion Gelora Bung Karno di Senayan.

Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, S. Hut., M.Agr. Sc, mengatakan lembaganya telah melakukan sejumlah upaya konservasi di 13 provinsi melalui empat fase. Dimulai dari percepatan rehabilitasi selama 2021-2024, kemudian pengarusutamaan pengelolaan mangrove pada 2025-2027 dan fase pengelolaan mangrove lestari pada 2028-2030. Pada fase 4 setelah 2030, diharapkan mangrove sudah dapat meningkatkan daya dukung untuk ekonomi kelautan berkelanjutan.

Tantangan ketiga pada refleksi IOJI yakni ancaman keamanan terhadap kedaulatan laut Indonesia, turut menjadi sorotan Ketua Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Perikanan dan Kelautan Indonesia, Prof. Ir. La Sara, M.Si., Ph.D. Ancaman datang bukan hanya dari praktik pencurian ikan ilegal (illegal fishing), namun juga perang kedaulatan oleh Tiongkok yang menempatkan kapal induk di wilayah Natuna. Ada pula ancaman dari kelompok bersenjata di Filipina yang dipimpin oleh Abu Sayyaf terhadap nelayan-nelayan dari Sulawesi.

“Dalam catatan saya, Indonesia rentan dengan potensi ancaman. Kita akan terus berhadapan dengan ancaman keamanan laut,” katanya.La Sara sepakat dengan rekomendasi IOJI, bahwa Pemerintah haus berani tegas dan terus berdiplomasi untuk mempertahankan kedaulatan wilayah laut Indonesia.

Peneliti Senior Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN, Dedi Supriadi Adhuri, Ph.D., menyoroti tantangan terakhir yang dipaparkan IOJI, yakni perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil. Menurutnya, konsep ekonomi biru patut dipandang secara bijaksana dan komprehensif. Karena dari hasil riset justru dijumpai keberpihakan terhadap pengusaha besar atau investor. Alhasil masyarakat cilik semakin termarginalkan.

Dia mencontohkan perairan laut di Sulawesi Selatan, yang biasa dipakai nelayan untuk menangkap ikan (fishing ground) malah dipakai oleh perusahaan pertambangan pasir. Praktik semacam ini justru menjadi ancaman terhadap komiten membangun ekonomi kelautan berkelanjutan.

Jumlah nelayan kecil atau yang mengoperasikan kapal kurang dari10 GT mencapai 96 persen di Indonesia. Sudah sepatutnya Pemerintah memberi perhatian lebih, karena masyarakat pesisir yang berperan mensukseskan pembangunan. “Kalau kita bekerja sama dengan benar bersama masyarakat nelayan dan pesisir, bisa lebih cepat melaksanakan sustainable ocean economy,” kata Dedi. (*)

Prodik Digital

Prodik Digital

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus