Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo

Menggelar Kepahlawanan Tabrani dan Sanusi: Demi Trigatra Bangun Bahasa

Tabrani pada 1980 ketika mengenang sengitnya perdebatan soal bahasa persatuan Indonesia.

12 November 2023 | 18.29 WIB

Menggelar Kepahlawanan Tabrani dan Sanusi: Demi Trigatra Bangun Bahasa
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

INFO NASIONAL -

Maryanto

Widyabasa Ahli Madya

Badan Bahasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Badan Bahasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Suara menjadi 2 lawan 2 sebab Sanusi Pane menyetujui pendirian saya,” kata M. Tabrani pada 1980 ketika mengenang sengitnya perdebatan soal bahasa persatuan Indonesia. Tabrani memang penggagasnya. Gagasan bahasa persatuan bergerak maju dengan hadirnya Sanusi.

Di balik gelar Pahlawan Nasional yang pada 10 November 2023 disematkan kepada Tabrani, terdapat peristiwa dahsyat yang patut direnungi. Mengapa Tabrani berkubu dengan Sanusi untuk melawan M. Yamin dan Djamaloedin Adinegoro? Lalu, apa hikmah untuk Indonesia Emas 2045?

Sungguh dahsyat adu gagasan pergerakan nasional itu dalam merumuskan hasil Kongres Pemuda Indonesia Pertama pada tanggal 2 Mei 1926. Itu semua demi Indonesia (tanah air, bangsa, dan bahasa) yang hari ini dan esok pun terus diikhtiarkan bermaujud bangunan NKRI. Butir pamungkas—bahasa apa yang mempersatukan Indonesia—sekarang diatur penerapannya dalam ketentuan Undang-Undang (UU) No. 24 Tahun 2009 dengan gerakan trigatra bangun bahasa: utamakan bahasa Indonesia; lestarikan bahasa daerah; kuasai bahasa asing!

Paham dasar mengenai bahasa Indonesia

Bayangkan andai kubu Yamin tetap berpegang paham bahwa bahasa Indonesia tidak ada. Yang ada pada saat itu ialah apa yang dipahami dari teks pidato Yamin sebagai “bahasa-bahasa bumiputra (bahasa daerah)”. Secara lebih spesifik—sebagaimana tertulis dalam Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama (Muh. Nur, 1981:106)—Yamin menunjuk “bahasa-bahasa Melayu dan Jawa”. Pidato Yamin itu memang tidak ditolak oleh Tabrani selaku Ketua Kongres pada saat itu. Namun, melalui koran Hindia Baru (11 Februari 1926), Tabrani telah mencetuskan pergerakan penerbitan bahasa Indonesia yang tidak menggandung sifat imperialisme di antara sesama anak bangsa Indonesia.

Dalam perdebatan lebih lanjut, Sanusi Pane—sebagaimana disiarkan Antara (4 April 1940)—mengidentifikasi enam paham dasar mengenai bahasa Indonesia. Pertama—dalam urutan identifikasi Sanusi—adalah paham yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu, cuma namanya yang berubah. Yang lain berpendapat bahwa bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu modern, yaitu bahasa Melayu yang sudah mencernakan zat-zat yang baru. Yang ketiga menganggap bahasa Melayu Riau yang menjadi dasarnya. Paham yang keempat memandang soal bahasa Indonesia dari jurusan bahasa Melayu sekolah.

Penganut paham kelima disebutkan termasuk mereka yang menyangkal adanya bahasa Indonesia. Sementara itu, yang keenam teridentifikasi memakai nama “Melajoe Oemoem”. Lalu, Sanusi sendiri menyatakan bahwa pendapat umum belum ada. Menurutnya, pendapat umum itu masih akan lama. Ia berkata, “… tidak mengapa: dalil, formulae basa Indonesia akan makin dapat dinjatakan berbarengan dengan toemboehnja keboedajaan dan basa Indonesia.”

Berabad-abad membentuk bahasa negara

Setelah abad ke-20 berakhir, dalil bahasa Indonesia diikhtiarkan dalam formula UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Selain itu, ikhtiar penting juga berbentuk UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Pasal 5 menyatakan bahasa sebagai salah satu objek pemajuan kebudayaan. Untuk Pasal 5, terdapat penjelasan bahwa yang dimaksud dengan "bahasa" adalah sarana komunikasi antarmanusia, baik berbentuk lisan, tulisan, maupun isyarat, antara lain, bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Secara lebih lengkap, tiga bahasa didalilkan dalam UU No. 24 Tahun 2009 (Pasal 1). Dalil pertama berkaitan dengan bahasa (negara) Indonesia sebagai bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah NKRI. Dalil kedua berkenaan dengan bahasa daerah, yaitu bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah NKRI. Yang ketiga mendalilkan bahwa bahasa asing adalah bahasa selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Formasi trigatra bahasa itu tentu bersifat saling melengkapi dalam berabad-abad membentuk bahasa negara. 

Dalam hal bahasa identitas bagi NKRI, dengan menggelar kepahlawanan Tabrani pada hari ini, terbentanglah jalan berpikir Sanusi Pane bersama dengan tokoh lainnya. Tidak hanya dengan Tabrani untuk melawan kubu Yamin, tetapi Sanusi juga berkubu dengan dirinya sendiri untuk berpolemik menentang alam pikiran Sutan Takdir Alisjahbana. Kehadiran Sanusi yang berpolemik dengan Takdir ini faktanya tercatat menjadi sejarah ‘peperangan terbesar’ dalam memikirkan identitas berkeindonesian pada abad ke-20.

Ketika Takdir menentang semangat kedaerahan, Sanusi—melalui esai Persatuan Indonesia (1935)—berpendirian mengambil jalan sintesis Timur dan Barat. Pun demikian halnya bahasa Indonesia pada abad kekinian yang bergerak secara berkelanjutan dari abad-abad sebelumnya melalui sintesis antara bahasa daerah yang lestari dan bahasa asing yang terkuasai.

Teruslah gelar dan bentangkan kepahlawanan bahasa persatuan Indonesia ini dari penggagas dan penggeraknya—Tabrani dan Sanusi—demi generasi pelapis bangsa: Indonesia Emas 2045!

(*)

Prodik Digital

Prodik Digital

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus