Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

25 Bahasa Daerah Terancam Punah, Jarang Dipakai Dalam Percakapan Harian

Pemerintah berusaha merevitalisasi 25 bahasa daerah yang nyaris punah dari Indonesia. Jangan sampai menyusul 11 bahasa yang sudah lenyap.

10 Maret 2024 | 18.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sedang mengupayakan revitalisasi bahasa daerah agar tidak hilang dari kehidupan masyarakat lokal. Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa atau Badan Bahasa, Hafidz Muksin, mengatakan sudah ada 11 bahasa daerah yang punah di Indonesia. Pemerintah berusaha menyelamatkan 25 bahasa daerah yang terancam ikut hilang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Hal ini yang perlu kita perhatikan dan antisipasi. Kalau bukan kita siapa lagi? kalau bukan sekarang kapan lagi?” tutur Hafidz, dikutip dari web resmi Kemendikbudristek pada Sabtu. 9 Maret 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut data kementerian, mayoritas bahasa yang punah ada di bagian timur Indonesia. Beberapa di antaranya adalah bahasa Tandia di Papua Barat, bahasa Mawes di Papua, bahasa Kajeli atau Kayeli Maluku, bahasa Piru Maluku, bahasa Moksela Maluku, dan lainnya.

Suatu bahasa daerah disebut terancam punah ketika tidak lagi dipakai oleh mayoritas penutur berusia 20 tahun ke atas dan generasi tua untuk berbicara kepada anak-anak. Pemerintah juga mencatat 5 bahasa daerah yang kritis atau yang penuturnya hanya dari kelompok masyarakat berusia 40 tahun ke atas.

Ada juga 19 bahasa dalam kondisi rentan, artinya masih dipakai oleh penutur anak-anak dan generasi tua tapi jumlahnya mengecil. Kementerian juga ingin merevitalisasi 3 bahasa daerah yang tergolong mengalami kemunduran.

Program revitalisasi bahasa daerah (RBD), ucap Hafidz, bertujuan menggelorakan kembali penggunaan bahasa daerah dalam berbagai ranah kehidupan harian, serta meningkatkan jumlah penutur muda. Tak hanya di Indonesia, pelindungan bahasa daerah menjadi isu global, terutama karena banyak bahasa etnis asli yang akhirnya lenyap dari bumi.  

“Revitalisasi tersebut dapat dilaksanakan dengan berbasis sekolah, komunitas, dan/atau berbasis keluarga,” kata dia.

Menurut Hafidz, bahasa daerah terancam karena tidak dipakai oleh para penuturnya dalam percakapan sehari-hari, bahkan dalam keluarga. Tuntutan dan perkembangan globalisasi juga ikut menggerus keragaman bahasa daerah. Aset verbal itu juga bisa hilang akibat perkawinan antarsuku.

Untuk mengatasi fenomena kepunahan bahasa daerah, Kemendikbudristek melebarkan ruang kreativitas kepada generasi muda untuk berbicara bahasa deerah sesuai minat masing-masing. Bentuk kreativitas itu kemudian dilombakan dalam Festival Tunas Bahasa Ibu yang menyasar siswa SD dan SMP.

Program revitalisasi bahasa disosialisasikan juga dalam Rapat Koordinasi Pemangku Kepentingan dalam rangka Revitalisasi Bahasa Daerah di Pulau Bangka, Kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung, pada 7 Maret lalu. Dalam agenda tersebut, Sekretaris Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Naziarto, memastikan akan mengajak guru dan lembaga pendidik dalam program tersebut.

“Sehingga para siswa dapat menuturkan bahasa daerah,” kata Naziarto.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus