ASURANSI SOSIAL TENAGA KERJA (ASTEK) MITRA PENGUSAHA MELINDUNGI PEKERJA Lahir 5 Desember 1977, ASTEK melangkah maju sebagai mitra pengusaha dalam memberikan perlindungan dasar bagi pekerja, dalam usia ke 13, pemerintah mengubah PERUM ini menjadi P.T. (persero), perjalanan prestasi yang mengesankan. SEBUAH keberanian yang mengagumkan. Bak seorang pemain akrobat, lelaki yang menggelantung di sisi luar dinding Monumen Nasional (Monas) itu hanya terkait pada seutas tambang yang meliliti pinggangnya. Ia tengah membersihkan marmer di sekujur badan monumen sejangkung 120 meter. Sementara sebuah konfigurasi wadah maut: lantai luar monumen, deretan pagar runcing dan aspal jalanan, seperti menunggu jatuhnya pekerja dari atas sana. Itulah satu dari banyak kemungkinan bahaya yang membayangi seorang pekerja. Namun resiko yang jauh lebih besar sesungguhnya dihadapi keluarga yang ditinggalkannya, bilamana nasib sial menimpa. Misalnya pekerja tadi jatuh, remuk lalu mati. Atau seorang pekerja kebersihan kota naas tertabrak tewas ketika pada dinihari lengang menyapu jalanan. Resiko yang sama bukan tak mungkin dialami juga oleh pekerja berdasi di gedung-gedung megah. Nasib keluarga setelah seorang pekerja tertimpa resiko yang mungkin terjadi itu, menjadi pertanyaan yang membebani setiap pekerja. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1969 memang sudah mengatur kewajiban setiap perusahaan untuk memberi perlindungan bagi tenaga kerja. Ringkasnya, sang pengusaha mengambil alih resiko yang mungkin menimpa pekerjanya. Meski sebenarnya kewajiban itu berlaku bagi semua perusahaan, negara agaknya masih "berbaik hati" dalam pelaksanaannya. Hanya perusahaan yang mempekerjakan 25 karyawan atau membayar upah 1 juta rupiah ke atas yang diminta melaksanakan bunyi undang-undang tadi. Apa yang diminta oleh undang-undang itu sesungguhnya wajar saja. "Pengusaha disuruh memperhatikan nasib pekerja dan keluarganya karena yang pertama kali memetik manfaat dari tenaga kerja adalah pengusaha," lontar Sutopo Yuwono, Direktur Utama Astek. Toh dengan demikian tenaga kerja bisa mencurahkan tenaga dan pikirannya secara lebih baik, tenang dan lebih produktif. "Dan pengusaha pula yang menerima keuntungannya," lanjutnya. Untuk membantu pengusaha melaksanakan kewajibannya, pemerintah membentuk Asuransi Sosial Tenaga Kerja -- lebih populer dengan sebutan "ASTEK." Kepada badan usaha inilah pengusaha mengoper kewajibannya. Dengan demikian, Astek berfungsi melaksanakan kewajiban pengusaha. "Astek mengambil alih resiko yang mungkin menimpa tenaga kerja yang menurut undang-undang mestinya menjadi kewajiban perusahaan di mana seseorang bekerja," beber letnan jenderal purnawirawan itu. Maka, tak salah anggapan orang bahwa, "Astek sesungguhnya adalah mitra pengusaha," sambungnya dengan nada pasti. Menurut mantan Kepala Bakin ini, jika tiap-tiap perusahaan dibiarkan melaksanakan sendiri kewajibannya maka akan terjadi perbedaan perlakuan terhadap satu tenaga kerja dengan yang lainnya. "Hanya pekerja di perusahaan besar yang menikmati kelimpahruahan fasilitas perlindungan. Sedangkan pekerja di perusahaan yang pas-pasan cuma mendapat ala kadarnya," ujarnya. "Padahal semua tenaga kerja adalah sama-sama warga dari bangsa yang merdeka, lanjutnya dengan serius. "Dengan diambil opernya kewajiban tadi maka dapat memenuhi azas pemerataan, di samping sang pengusaha sendiri menjadi tidak mengeluarkan tenaga dan biaya untuk unit tersendiri yang mengurusnya," papar Sutopo. Maka, "Astek bukan mau membuat susah, justru negara memberi alat yang bisa membantu pengusaha menjalankan kewajibannya." Kewajiban itu mencakup perlindungan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, kematian dan kesehatan -- perlindungan dasar dalam kehidupan manusia. Bahwa pelaksanaannya oleh badan usaha ini berupa asuransi, "itu hanya sistem yang ditetapkan karena berbagai penimbangan efektifitas pelaksanaannya," jelas mantan Sekjen Depnaker berusia 63 tahun itu. Namun masih banyak pengusaha yang belum mengikutkan pekerjanya sebagai peserta program Astek. Bahkan ada di antaranya pengusaha kelas konglomerat yang belum tahu sama sekali manfaat Astek. Meski demikian, Astek telah menghimpun 3.840.288 peserta -- baru 25 persen dari total pekerja yang semestinya menjadi peserta. Itulah hasil yang dicapai selama 13 tahun usia badan usaha yang kerap disebut para pekerja sebagai "malaikat pelindung" itu. Selama kurun panjang itu Astek hanya menempuh cara-cara persuasif walaupun ada sangsi yang dapat diterapkan bila perusahaan menampik kewajibannya. Langkah simpatik itu ditempuh dengan, misalnya, mengunjungi langsung ke lokasi usaha, lokakarya, seminar dan konsultasi. Di samping itu, "kami sendiri mengoreksi diri. Karyawan kami secara bertahap dididik untuk mengetahui persis filosofi mengapa lahir undang-undang tadi. Agar ketika datang ke pengusaha jangan hanya menyodorkan aturan tanpa bisa menjelaskan dengan meyakinkan," papar Busji Indrijo Hatmono, Direktur Umum Personalia Astek. Apa yang sekarang populer sebagai Astek, awalnya lembaga Dana Jaminan Sosial (DJS). Berdiri pada 23 Januari 1964 berdasarkan Keputusan Kementrian Perburuhan Nomor 5 Tahun 1964, lembaga ini bertugas pokok membantu penyelenggaraan kepentingan sosial tenaga kerja -- kurang lebih sama dengan tugas yang diemban Astek sekarang. Namun, pertumbuhan sektor usaha dalam era pembangunan -- yang dengan sendirinya melahirkan banyak masalah sosial tenaga kerja, tak mampu dicakup oleh kapasitas DJS. Kenyataan tersebut melahirkan gagasan untuk menyelenggarakan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja. Ide itu pertama kali dilontarkan pada awal 1970-an, baru tujuh tahun kemudian direalisasikan dengan mendirikan Perum ASTEK berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1977. DJS pun lantas dilebur ke dalam perum baru itu. Kelahirannya dibidani banyak pakar, antara lain, Subroto, Emil Salim, Widjoyo Nitisastro, J.B. Sumarlin dan Awaloedin Djamin. Teknorat-teknorat itulah yang memikirkan dan membahas masalah asuransi sosial tenaga kerja menjadi satu program yang dijalankan perum ini. Hari-hari pertama perum ini merupakan hari-hari berat. Toh, bayi Astek dapat berjalan -- meski tertatih-tatih. Perkembangan pesat dan hasil yang dicapai selama 13 tahun usianya ternyata mengantarkan Astek pada perubahan bentuk hukum badan usaha. Dari Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan (P.T. Persero). Perubahan status itu mencerminkan kepercayaan pemerintah. Penilaian akuntan pemerintah menunjukkan posisi wajar tanpa syarat (un qualified opinion). Tengoklah posisi keuangannya sampai akhir 1990. Assetnya sudah mencapai satu triliun rupiah. Laba bersih tahun 1989 mencapai Rp 58 milyar, meningkat lebih 100 persen dibanding posisi laba bersih tahun sebelumnya -- yang hanya Rp 24,5 milyar. "Sebagian kami raih dari lantai bursa," ungkap Drs. A. Djunaidi, Direktur Keuangan & Investasi Astek. Untuk tahun 1989, keuntungan yang diraih dari kegiatannya di Bursa Saham tak kurang dari Rp 25 milyar. Pada saat ini dana Astek yang diinvestasikan jumlahnya Rp 250 milyar, 72 persen di antaranya (Rp 180 milyar) dalam bentuk obligasi. Sisanya saham. Tanpa penampilan prestasi usaha sebaik itu, tak mungkin pemerintah mengijinkan suatu perubahan bentuk hukum. Hanya karena pengakuan itulah maka keluarlah PP No. 19 tahun 1990 yang mengatur perubahan tadi. Konsekuensinya, BUMN tersebut harus semakin dapat hidup mandiri. Di sisi lain, menegaskan makna strategis Program Astek sebagai sarana mewujudkan komitmen politik pemerintah untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja di negeri ini. Ketika didirikan pada tahun 1977, Astek menawarkan produk asuransi dalam satu paket yang meliputi Asuransi Kecelakaan Kerja (AKK), Tabungan Hari Tua (THT) -- yang dikaitkan dengan, Asuransi Kematian (AK). Ketiga produk yang memberikan jaminan tunai secara sekaligus (lumpsum) itu masih tetap dijadikan sebagai program pokok hingga kini. Produk AKK memberikan penggantian biaya kepada tenaga kerja yang mengalami kecelakaan -- di tempat kerja dan dalam perjalanan pergi-pulang ke tempat kerja. Adapun yang dijamin terdiri dari biaya perawatan, transport dari tempat kecelakaan, upah selama tidak bekerja, tunjangan cacad, biaya prothese anggota badan, tunjangan kematian dan biaya pemakaman -- bila meninggal dunia. Melihat lengkapnya jenis perlindungan dan besarnya nilai jaminan, masuk akal jika para pekerja akan merasa tenang bekerja bila menjadi peserta. Untuk biaya perawatan diberikan maksimum Rp 2.000.000, pengangkutan ke tempat perawatan maksimum Rp 100.000. Bila kecelakaan mengakibatkan tenaga kerja tidak sanggup bekerja sementara, akan mendapatkan jaminan sampai 4 bulan kali 100 persen upahnya. Setelah lebih dari 4 bulan, pekerja menerima hanya 60 persen dari upahnya. Jika meninggal karena kecelakaan jaminan diberikan sebesar 60 persen x 60 x upah terakhir dan kalau cacad ada tabel perhitungan tersendiri. Sampai akhir Agustus 1990, AKK yang telah direalisasikan sejumlah Rp 49,5 milyar untuk 234.795 penderita. Sedangkan Tabungan Hari Tua (THT) dibayarkan pada saat peserta mencapai umur 55 tahun. Atau bila tenaga kerja bersangkutan mengalami cacad tetap dan total atau meninggal dunia. Besarnya tergantung jumlah iurannya. Sampai akhir September 1990, THT yang telah direalisasikan pada 173.113 peserta dengan nilai jaminan sebesar Rp 32,8 milyar. Akan halnya Asuransi kematian (AK) memberikan jaminan kematian jika peserta meninggal dunia bukan karena kecelakaan kerja. Besarnya pun ditentukan berdasarkan jumlah preminya. Sampai akhir September 1990, realisasinya mencapai Rp 11,5 milyar untuk 33.587 peserta. Di samping itu telah direalisasikan pula jaminan Asuransi Kesehatan. Nilai jaminan yang telah dibayar sejak 1985 mencapai Rp 5,09 milyar untuk tenaga kerja dan keluarganya. Sebagai tambahan, yang sesungguhnya tidak termasuk dalam kewajiban Astek, adalah bantuan kepada anak para pekerja dalam bentuk bea siswa. Nilainya sudah mencapai Rp 3,6 milyar. Sementara untuk tahun 1990 ini sudah diberikan lagi pada 6.000 anak. Kecuali itu diberikan pula latihan ketrampilan kerja di Balai Latihan Kerja (BLK) di 16 provinsi dengan jumlah peserta mencapai 2.220 orang. "Dua paket bantuan ini merupakan tugas kemanusiaan dari Astek," tutur Sentanoe Kertonegoro M.Sc, Direktur Pembinaan dan Pelayanan Astek. Semua itu memperlihatkan upaya dan pelayanan yang terus-menerus sudah diberikan Astek untuk mendukung program pemerintah dalam memberikan jaminan perlindungan kepada para pekerja dan -- terutama kepada keluarga pekerja. Tak dapat disangkal bahwa semua itu sudah menciptakan iklim ketenangan bekerja sekaligus meningkatkan produktivitas mereka. Sesuai karakter bentuk hukum PT Persero, jelas banyak perbedaan dengan sistem kerja sebelumnya. Diperlukan penyesuaian langkah, dari citra perusahaan sampai penampilan manajemen, etos kerja yang lebih profesional, dan terpenting kualitas produk. Juga menimbulkan keraguan, apakah Astek akan mengubah orientasinya menjadi perusahaan yang murni mencari untung -- layaknya sebuah perseroan umumnya -- dan menomorduakan perlindungan tenaga kerja, missi utama yang diembannya? "Astek tetap bertugas pokok melindungi dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja," pesan Menteri Keuangan JB Sumarlin kepada Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara sebelum pemerintah mengeluarkan penetapan perubahan bentuk hukum tadi. "Ini justru tantangan meningkatkan kemampuan Astek. Bukan untuk mencari keuntungan semata. Sebaliknya, profesionalisme dalam, pengelolaan dan pelayanan Astek dituntut untuk makin baik," kata Djunaidi, 47 tahun. Sebuah tekad yang masih harus dibuktikan. Garis yang harus dijalani dan tekad melaksanakan tugas -- yang akan makin profesional -- itu, juga menggambarkan betapa pemerintah secara mendasar berkemauan menjalankan dan mewujudkan apa yang diamanatkan dalam pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 Deklarasi Hak-hak azasi Manusia dan Konvensi ILO ( International Labour Organization) No. 105 Tahun 1952. Itu pula yang menjadi landasan idiil berdirinya Astek. Meski menjadi PT Persero, toh pada akhirnya Astek tetap menciptakan kondisi yang menguntungkan pengusaha dengan program perlindungan tenaga kerjanya. Ini berkaitan erat dengan upaya pemerintah untuk memperkokoh rasa aman tenaga kerja dan pengusaha terhadap resiko-resiko yang mungkin dihadapi. Dan ini diakui oleh banyak pengusaha sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas. Bagi pengusaha, ASTEK menghilangkan kemungkinan terganggunya suasana dan kelancaran kerja, proses produksi dan program-program penyelenggaraan perusahaan, akibat tenaga kerja yang -- semoga tidak -- tertimpa resiko. Karena itu peranan Astek sangat vital dan strategis. Rasa aman yang diperlukan tenaga kerja dan iklim ketenangan berusaha bagi dunia usaha Indonesia, bagaikan dua sisi pada sebuah mata uang. Berlainan namun tak terpisahkan. (lihat box: "Agar Pintu Rumah Tak Diketuk Pekerja"). Lebih-lebih pada saat perkembangan dunia industri seperti sekarang yang melahirkan resiko pekerjaan yang makin beragam dan tinggi intensitasnya. "Itu makin membutuhkan sebuah paket perlindungan yang menyeluruh -- seperti apa yang sudah dan akan ditampilkan Astek," ujar Sentanoe. Dalam perkembangan operasionalnya, Astek banyak melahirkan program inovatif. Apalagi pemerintah sudah menggariskan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja tidak lagi didasarkan pada status hubungan kerja mereka. "Pokoknya semua tenaga kerja, yang tetap maupun borongan dan harian lepas wajib mendapat perlindungan," tegas Muslich Nitiamidjaja, Direktur Operasi & Kepesertaan Astek. Kemudian lahir, misalnya, produk inovatif untuk memberi jaminan terhadap tenaga kerja tidak tetap (tenaga kerja borongan). Program Khusus ini berdasarkan pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Dalam Negeri atau Gubernur. Tujuannya, memberikan perlindungan khusus untuk Asuransi Kecelakaan Kerja dan Asuransi Kematian bagi tenaga kerja tidak tetap yang banyak terdapat pada sektor jasa konstruksi. Golongan pekerja inilah yang selama ini belum tergarap dalam program kepesertaan Astek. Langkah inovasi juga menggapai nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri yang tidak dapat dilindungi oleh jaminan sosial di negara tempat mereka bekerja. Kepada TKI kini diwajibkan mengikuti kedua program AKK dan AK. Ini berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/MEN/1988. Dasar pertimbangan dilaksanakan Program Khusus tadi adalah bahwa tidak semua jenis tenaga kerja dapat diikutsertakan dalam ketiga program pokok Astek. Tenaga kerja lepas, musiman, borongan dan harian -- karena pekerjaannya yang bersifat jangka pendek dan tidak tetap -- tidak dapat diikutsertakan dalam tabungan hari tua yang berjangka panjang. Padahal, "sebagai manusia dan warga negara, pekerja jenis ini pun berhak sama memperoleh perlindungan. Karena itu perlu pengaturan khusus agar mereka mendapatkan hak tadi," beber Muslich. Astek, agaknya, tak cuma puas kemudian berhenti sampai di situ. Astek melakukan pula berbagai survei untuk melihat kemungkinan memberikan tambahan pelayanan yang sangat dibutuhkan pekerja. Sebuah survei di Jawa Barat akhirnya melahirkan jenis pelayanan baru, yakni Mantri Keliling. "Astek membayar sejumlah mantri kesehatan yang berkualitas untuk mengontrol kesehatan para pekerja, mulai dari mengobati sampai memenuhi kesehatan yang layak," ungkap Muslich. Kegiatan ini dimulai bulan Januari 1990, masih sebagai pilot project yang berlokasi di Bandung. "Kalau berhasil dan memang nyata bermanfaat akan dikembangkan sesuai kemampuan," sambungnya. Hasil pilot project ini, ditemukan sebagian besar pekerja musiman di sektor konstruksi ternyata memiliki kondisi kesehatan yang tak memenuhi syarat. Karena itu, tampaknya program ini akan dilanjutkan secara nasional. Dengan langkah inovatif seperti ini, "Astek akan tampil membuktikan bahwa Astek adalah benar-benar mitra pengusaha dalam memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja," papar pria yang tampak necis itu dengan bersemangat. Di samping itu, langkah inovatif ini menunjukkan niat baik Astek untuk selalu mencoba melihat segala sesuatu yang menjadi kebutuhan tenaga kerja. "Astek tak sekedar hanya menunggu terjadinya kecelakaan untuk diberi santunan," katanya lagi. Kegiatan lain adalah pilot proyek program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja (JPTK) di beberapa kota, yang diatur dengan surat Keputusan bersama Menaker -- Menteri Kesehatan. Program ini memberikan pelayanan medis yang komprehensif termasuk rawat jalan, rawat inap, persalinan, perawatan gigi dan mata. Dengan menggunakan prinsip-prinsip penyelenggaraan asuransi kesehatan modern, program ini dapat memberikan pelayanan medis yang lebih efektif dan efisien serta pengendalian biaya yang lebih rasional daripada jika perusahaan menyelenggarakan program kesehatan sendiri bagi karyawannya. Pengembangan program Astek belakangan ini dilakukan berdasarkan Keppres 19/1990 tanggal 5 Mei 1990. Dalam Kepres baru ini digariskan bahwa pengembangan dan perluasan program dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan program pokok: Asuransi Kecelakaan Kerja, Asuransi Hari Tua, dan Asuransi Kematian. Maka, Program Tabungan Hari Tua, yang pada dasarnya tidak berbentuk asuransi itu, akan dikonversi menjadi Program Asuransi Hari Tua. Dengan demikian dapat memberi manfaat yang lebih besar dan jaminan akan lebih baik. Upaya perluasan sasaran peserta yang terbaru, dan mulai diberlakukan tepat pada HUT Astek ke-13 pada 5 Desember 1990, adalah "memberikan Jaminan Pensiun Berkala dan Santunan Hari Tua pada para pensiunan pekerja perkebunan," ujar Muslich. Jaminan untuk mereka selama ini dipegang oleh Yayasan Dana Pensiun yang tersebar di banyak pabrik gula dan PT Perkebunan (PTP). "Tanggungjawab yayasan dana pensiun itulah yang akan dialihkan pada Astek," sambungnya. Pengalihan yang diatur dalam SKB Menteri Pertanian dan Menteri Tenaga Kerja itu, "tentu saja menuntut kami memberikan jaminan yang lebih baik dari yang sebelumnya." Peserta Astek terdiri dari tenaga kerja tetap, baik bulanan maupun harian yang bekerja di perusahaan, dan tenaga kerja lepas yang bekerja -- kebanyakan -- di proyek-proyek konstruksi. Jumlah peserta program paket AKK, THT dan AK -- hanya untuk pekerja tetap -- sejak 1978 meningkat rata-rata 14 persen. Sampai tahun 1990 ini pesertanya tercatat 3.840.288 pekerja. (Lihat Tabel 1). Mereka berasal dari 28.562 perusahaan -- pencapaian dengan tingkat pertumbuhan 22 persen tiap tahunnya. Sementara peserta tenaga kerja lepas berjangka pendek setiap tahun rata-rata sekitar 1.000.000 orang, yang mengikuti program setengah paket -- hanya AKK dan AK. Sedangkan peserta program asuransi kesehatan masih terhitung kecil, hanya 106 ribu orang pada 583 perusahaan di 18 kota. Diharapkan dengan penyerahan pengelolaan kepada Astek sejak 1990 ini, jumlah peserta asuransi kesehatan akan bertambah. Adapun bentuk perusahaan yang diwajibkan atau sukarela menjadi peserta Astek adalah Badan Usaha Swasta, termasuk yang didirikan berdasarkan PMDN, PMA, dan joint venture. Selain itu, BUMN termasuk Perum, Persero, Perusahaan Daerah, Perusahaan yang didirikan berdasarkan undang-undang tersendiri, seperti bank pemerintah dan Pertamina. Lembaga lain seperti koperasi, sekolah, rumah sakit dan yayasan diharuskan menjadi peserta. (Lihat Tabel 2). Untuk melancarkan pelayanan kepada peserta, terlebih setelah menjadi PT (Persero), Astek bertekad untuk berbenah diri. Kalau dulu sering dikeluhkan bahwa pelayanan Astek -- terutama dalam hal penyelesaian jaminan -- lamban dan bertele-tele, hal tersebut dijanjikan tak bakal terjadi lagi. "Sejauh mungkin kami akan menghindari proses yang terlalu birokratis -- sejauh syarat formal dipenuhi," janji Sentanoe dengan nada mantap. Sebuah janji yang melegakan dan sudah mulai dirintis. Sejak tahun 1988, dilaksanakan "pelayanan 2 x 24 jam." Dengan pelayanan cepat ini diharapkan tidak terjadi lagi pihak tertanggung menunggu dalam waktu yang tidak jelas. Tak akan ada lagi kesan bahwa Astek hanya minta premi dan mengabaikan jaminan. Astek kini bertekad tampil lebih profesional, seiring dengan tuntutan perkembangan zaman. "Jika seluruh dokumen klaim lengkap, hanya dalam tempo dua hari pekerja atau keluarganya yang berhak sudah akan mendapat jaminan," kata pria yang turut merintis berdirinya Astek itu. Untuk melancarkan pelayanan itu, Astek kini memiliki satu Kantor Pusat yang megah, 30 Kantor Cabang, dan 34 Kantor Perwakilan. Dengan meningkatnya beban operasi dan administrasi sebagai akibat dari pertambahan kepesertaan dan meluasnya pelayanan jaminan, Astek pun kini ditunjang oleh sistem komputerisasi dan otomatisasi di hampir semua kantornya yang menyebar di seluruh Indonesia. Pemanfaatan teknologi tinggi yang memang tak terelakkan. Dengan demikian, kantor-kantor Astek sampai tingkat paling bawah sekalipun, sejak tahun 1988 sudah dapat melakukan desentralisasi pelayanan sehingga kian mempercepat pelayanan. Direncanakan seluruh kantor Astek pada akhir 1991 sudah dilengkapi sarana otomasi ini. Peningkatan peralatan berteknologi canggih tentunya akan mubazir jika sumber daya manusia, yang berada di belakang peralatan itu, tidak ikut dikembangkan. Maka, pengembangan sumber daya manusia ini mendapat perhatian serius. Berbagai program pendidikan dan pengembangan disusun untuk segenap lapisan karyawan. Pengetahuan mereka terus ditingkatkan, agar dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat -- terutama peserta. Seiring dengan itu, kesejahteraan mereka pun ikut ditingkatkan secara bertahap agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dalam upaya mencapai tujuan perusahaan. Sampai Mei 1990, pegawai Astek tercatat 2.339 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan asset itulah PT (Persero) ASTEK bertekad melangkah maju mengemban tugas paling pokok: menjadi mitra pengusaha dalam melindungi tenaga kerja. Kami mengambil alih resiko pekerja yang menurut undang-undang menjadi kewajiban pengusaha. Juga menjalankan tugas menghimpun dana bagi negara, lontar Sutopo Yuwono. Sebuah paket tugas mulia yang penuh tantangan untuk mewujudkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini