DUA tahun lalu Gubernur DKI Jakarta pernah digugat Rp 2,5 milyar oleh jemaah Masjid Baitul Mukhlisin, Karet Semanggi, Setiabudi, Jakarta. Mereka menuduh Gubernur telah mengubah tanah wakaf masjid itu menjadi milik negara. Gugatan itu ditolak Gubernur, dengan alasan: tanah tersebut tidak ada akta ikrar wakafnya. Persoalan seperti ini mungkin tidak akan terjadi apabila tanah Masjid Mukhlisin itu memiliki sertifikat. Untuk itulah, antara lain, bila Jumat pekan lalu soal pengaturan amal jariah yang berbentuk tanah wakaf ini disepakati bersama oleh Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dengan instruksi bersama itu, kini tanah wakaf yang belum memiliki sertifikat dimungkinkan segera memilikinya -- dan diatur selambat-lambatnya pada akhir Pelita V nanti. Menurut Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, H. Andi Lolo Tonang, S.H, jumlah tanah wakaf di Indonesia pada Semester I 1990-1991 sebanyak 312.220 persil, atau seluas hampir 42.000 ha. Tapi baru hampir 25.000 persil (kurang dari 8%) yang sudah bersertifikat, dan 68.500 persil (hampir 19%) yang diperleng- kapi akta ikrar wakaf (AIW) atau akta ikrar pengganti wakaf (AIPW). Bayangkan saja berapa hektare tanah wakaf yang bisa hilang begitu saja, seandainya instruksi bersama belum juga ada. Dari soal itulah, diadakanlah pertemuan antara Departemen Agama dan Badan Pertanahan Nasional, Jumat pekan lalu, pertemuan yang melahirkan instruksi bersama itu. Menurut Andi Lolo Tonang, pertemuan itu sebenarnya merupakan kelanjutan pembentukan tim koordinasi perwakafan tanah milik yang dibentuk pada 30 Agustus 1990. Sebetulnya, tim ini tidak perlu ada kalau saja peraturan-peraturan yang ada tidak dilupakan. Misalnya dalam PP Nomor 28, ditetapkan hukuman 3 bulan bagi yang melanggar status tanah wakaf. Sayangnya, sanksi tersebut sering tidak dilaksanakan. "Inilah yang perlu ditertibkan," kata Soni Harsono. Diperkirakan banyak persoalan akan muncul bila soal tanah wakaf ini tidak segera ditangani. Sebab, dalam pertemuan antara Komisi IX DPR dan Departemen Agama, hampir selalu dikemukakan kasus-kasus tanah wakaf yang diselewengkan. Jual-beli tanah -- oleh sementara orang tanah dianggap investasi yang aman -- memang tak pernah surut. Untuk daerah perkotaan, misalnya, dengan pesatnya perkembangan kota yang menyebabkan harga tanah semakin tinggi, jual-beli tanah semakin ramai. Nah, bila di kawasan itu terdapat tanah wakaf, tanah untuk keperluan ibadah ini bisa saja "hilang." Beberapa masalah dikemukakan oleh Ir. Soni Harsono, Kepala Badan Pertanahan Nasional itu. Misalnya, kalau ada ahli waris yang berpindah agama, ia punya hak menuntut warisan dari orangtuanya, termasuk tanah yang sudah diwakafkan. Hal yang paling sering terjadi, tutur Soni, tanah wakaf diselewengkan oleh pengelolanya. Kasus-kasus semacam ini tidak akan terjadi kalau saja ada ikrar wakaf atau sertifikat tanah wakaf. Tapi selama ini pengurusan tanah wakaf memang tak jelas. Misalnya, siapa yang mesti mengurus surat-suratnya, dan atas biaya siapa pula. Kini, hal ini diperjelas dan dipermudah oleh instruksi bersama itu. Ini menjadi, "semacam proyek operasi nasional pertanahan," kata Soni. Selain biayanya minimal, biaya itu pun disediakan oleh Departemen Agama. Masalahnya kemudian, bagaimana menyebarluaskan ketentuan itu. Biasanya tanah wakaf terletak di pinggir kota, bahkan di desa-desa yang agak jarang disentuh informasi -- satu fakta juga yang menyebabkan tanah-tanah itu mudah diselewengkan. JK, Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini