Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pers Tunisia Kagum Moderasi Beragama di Indonesia

Kebhinekaan masyarakat Indonesia dipersatukan oleh ideologi Pancasila.

21 Oktober 2022 | 18.37 WIB

pimpinan media besar di Tunisia, Sofien Rejeb dari ''Dar es Sabah'' dan Najmeddine Akkeri dari ''Asysyourouk'', saat berkunjung ke kantor DPP PDI Perjuangan, Kamis (20/10/22).
Perbesar
pimpinan media besar di Tunisia, Sofien Rejeb dari ''Dar es Sabah'' dan Najmeddine Akkeri dari ''Asysyourouk'', saat berkunjung ke kantor DPP PDI Perjuangan, Kamis (20/10/22).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL - Dua pimpinan media besar di Tunisia, Sofien Rejeb dari ‘’Dar es Sabah’’ dan Najmeddine Akkeri dari ‘’Asysyourouk’’ menyatakan kekaguman terhadap toleransi, keragaman, dan kehidupan beragama masyarakat Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

‘’Setelah melihat langsung Indonesia, kami menyadari Indonesia jauh lebih bagus dari yang kami bayangkan sebelum kami berkunjung. Indonesia ternyata negara yang aman, modern, masyarakatnya juga ramah. Kami ingin tahu lebih jauh, mengapa masyarakat Indonesia yang berbicara dengan banyak bahasa bisa dipersatukan oleh satu bahasa saja,’’ kata Sofien Rejeb saat berkunjung ke kantor DPP PDI Perjuangan, Kamis, 20 Oktober 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kedatangan mereka disambut oleh Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Luar Negeri, Ahmad Basarah, didampingi tiga anggota Fraksi PDI Perjuangan, Andreas Pareira, Diah Pitaloka, dan Putra Nababan. Sedangkan rombongan Tunisia didampingi atase ekonomi Kedubes RI di Tunisia Baskoro Ramadani dan staf lokal KBRI di Tunisia, Lamia.

Hal menarik yang dicatat Sofien Rejeb adalah bahwa dia menyaksikan kaum perempuan di Ibu Kota Jakarta tidak semuanya mengenakan jilbab, padahal Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Menurut dia, pemandangan seperti ini bisa disaksikan juga di Tunisia. Kaum perempuan di negara itu bebas memilih mengenakan jilbab atau tidak.

‘’Baik di kota maupun di kampung, mereka keluar mengenakan jilbab bukan atas perintah negara seperti di negara tertentu, tapi karena mereka memerlukannya untuk melindungi kepala mereka dari sinar Matahari,’’ tutur Sofien Rejeb.

Sementara menurut Najmeddine Akkeri, ada kesamaan yang banyak antara Tunisia dan Indonesia. Kedua negara dihuni oleh penduduk mayoritas Muslim, namun toleransi antarumat beragama berlangsung baik di mana mayoritas tidak melakukan diskriminasi atas minoritas. Tunisia kini berpenduduk 10.777.500 jiwa dengan mayoritas (98 persen) beragama Islam beraliran Sunni, sementara sisanya beragama Kristen dan Yahudi.

‘’Kendati kami mayoritas Muslim, tapi negara kami punya menteri beragama Yahudi. Kaum Yahudi dari berbagai penjuru dunia juga datang ke Tunisia untuk melakukan ritual keagamaan, sebagaimana seluruh umat Islam dunia datang ke Makkah,’’ jelas Najmeddine Akkeri.

Merespons kekaguman dua pimpinan media massa Tunisia itu, Ahmad Basarah menjelaskan bahwa kebhinekaan masyarakat Indonesia dipersatukan oleh ideologi Pancasila. Kendati mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim, Indonesia bukan negara Islam, melainkan negara kebangsaan.

‘’Para pendiri bangsa kami bersepakat bahwa untuk masyarakat Indonesia yang beragam, tidak mungkin satu agama tertentu menjadi ideologi negara buat mereka. Karena itulah para pendiri bangsa sepakat memilih Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Seseorang menjadi pemimpin di negeri kami bukan karena latar belakang agama yang dianutnya atau latar belakang sukunya, tapi karena prestasinya,” tutur Ahmad Basarah.

Ahmad Basarah juga mengapresiasi sikap moderat mayoritas Muslim di Tunisia yang menghargai posisi dan peran politik kaum perempuan di berbagai bidang. Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Jika Tunisia kini memiliki kepala pemerintahan perempuan bernama Najla Bouden, Indonesia juga pernah dipimpin oleh presiden perempuan pertama, Megawati Soekarnoputri.

Walau demikian, kedua pimpinan media massa Tunisia itu mengaku mendengar ada radikalisme dan fanatisme keagamaan di kalangan tertentu di Indonesia, tapi hal itu mereka nilai lumrah. Fanatisme beragama bisa terjadi di negara mana pun.

‘’Sejauh ini kami menilai Indonesia moderat, salah satunya terlihat dari diakuinya kepemimpinan perempuan. Kondisi yang sama juga terjadi di Tunisia, banyak perempuan kami masuk dalam pemerintahan dan menjadi pemimpin organisasi-organisasi termasuk menjadi pimpinan partai,’’ kata Sofien Rejeb. (*)

Prodik Digital

Prodik Digital

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus