Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Sektor energi menjadi penyumbang emisi karbon terbesar yang 80 persen di antaranya disumbangkan dari perusahaan kimia dan petrokimia. Industri petrokimia sendiri merupakan sektor hulu yang menyediakan hampir seluruh bahan baku industri hilir seperti industri plastik, tekstil, cat, kosmetik hingga farmasi. Transformasi sektor ekonomi ini menjadi industri hijau mendesak dilakukan untuk mencapai komitmen Net Zero Emission 2060 yang disepakati pada COP26 di Glasgow, tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) diwujudkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah diperbaharui pada Juli 2021, termasuk di dalamnya Peta Jalan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laksmi Dhewanthi mengungkapkan bahwa peran dunia industri sangat signifikan untuk menurunkan emisi GRK. “Peran dunia usaha sangat menentukan keberhasilan penurunan emisi GRK. Upaya pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pengurangan energi fosil, tidak hanya menciptakan cost effectiveness, namun juga berkontribusi pada sosial dan lingkungan sekitarnya,” ujar Laksmi pada diskusi daring Ngobrol@Tempo bertajuk ‘Indonesia Net Zero Emission 2060, Transformasi Industri Petrokimia menjadi Industri Hijau’, Jumat, 28 Januari 2022.
Kegentingan untuk segera menurunkan emisi GRK juga menjadi fokus bagi Pupuk Kaltim sebagai perusahaan petrokimia untuk melakukan transformasi ke industri hijau sebagai adaptasi perubahan iklim. Transformasi menjadi industri hijau mengedepankan penggunaan energi ramah lingkungan terbarukan dalam proses produksinya dan masuk ke dalam roadmap perusahaan.
“Pupuk Kaltim sebagai penghasil amoniak dan urea, dengan bahan bakunya menggunakan gas alam. Apabila kita tidak melakukan apa-apa alias business as usual, emisi GRK mencapai 4,2 juta ton karbon per tahun. Namun kami secara proaktif melakukan terobosan untuk pengurangan emisi karbon sampai dengan 32,51 persen pada 2030. Jadi bukan hal mustahil pada 2060 atau lebih dari dua dekade, kami akan mencapai net zero emission,” kata Direktur Utama Pupuk Kaltim, Rahmad Pribadi.
Rahmad melanjutkan, pihaknya saat ini telah menggunakan campuran 1-5 persen biomassa pada boiler batu bara. “Biomassa berasal dari sampah organik, potongan kayu, cangkang sawit, serbuk gergaji, dan jerami. Ini berpotensi untuk mereduksi 5,4% emisi GRK. Selain itu kami mengembangkan konsep carbon capture, utilization, storage (CCUS). Salah satunya dengan membangun pabrik soda ash. Pabrik ini menampung karbon dan mengolahnya menjadi bahan baku kaca. Potensi reduksi emisi GRK sebesar 0,42 persen atau 17.715 ton CO2 per tahun,” tutur dia.
Langkah lain yang telah dilakukan badan usaha tersebut ialah reaktivasi pabrik urea Proyek Optimasi Kaltim (POPKA-2) yang berpotensi mengurangi emisi 3,4 persen atau sebesar 145.408 ton CO2 per tahun. Sementara untuk carbon storage, Pupuk Kaltim menyiapkan kapasitas penyimpanan 130 MM ton CO2 atau sekitar 21% dari total potensi penyimpanan karbon di Indonesia. Kerjasama dengan mitra strategis ini berpotensi mereduksi karbon sebesar 17,5 persen atau 742.000 ton CO2 per tahun.
Sebagai langkah adaptasi perubahan iklim, Pupuk Kaltim juga membangun keterlibatan masyarakat sekitar melalui kehutanan berbasis masyarakat bernilai ekonomis, seperti lewat program penanaman 50.000 pohon berbagai jenis, antara lain mangrove, matoa, mahoni, durian, jati, mangga, dan nangka. Hal tersebut juga akan berdampak positif pada penyerapan CO2, dengan potensi reduksi karbon sebesar 37.500 ton CO2 per tahun, khusus dari konservasi mangrove. Selain itu, melalui penanaman pohon tersebut juga dapat memberi potensi nilai tambah pada makanan kosmetik, obat, wisata dan lainnya.
“Kami mengembangkan budaya ramah lingkungan sebagai bagian dari program Environment, Social, and Governance (ESG). Mulai tahun ini, kami mengganti kendaraan operasional berbahan baku fosil menjadi kendaraan listrik. Hal ini dilakukan sekaligus mendorong inisiasi carbon offset pada karyawan internal perusahaan,” ujar Rahmad.
Di forum yang sama, Direktur Jenderal Industri Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Muhammad Khayam menanggapi bahwa industri hijau dapat mendukung penerapan circular economy yang didesain untuk mempertahankan setinggi mungkin nilai suatu produk dan material di dalamnya.
“Program industri hijau, selain mendukung pengurangan energi fosil, peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan, juga dapat menumbuhkan circular economy,” kata Khayam. (*)