Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kapitalisme ala Pemerintahan Prabowo

Danantara adalah kapitalisme ala pemerintahan Prabowo. Mewujudkan mimpi ayahnya.

16 Februari 2025 | 08.30 WIB

Kapitalisme ala Pemerintahan Prabowo
Perbesar
Kapitalisme ala Pemerintahan Prabowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Pemerintah meluncurkan Danantara pada 24 Februari 2025.

  • Danantara akan mengelola aset dan dividen BUMN menjadi jaminan investasi.

  • Pengurus Danantara dan BUMN menjadi kebal hukum dalam keputusan bisnis.

PRESIDEN Prabowo Subianto mengambil risiko tinggi dalam pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara. Bukan sekadar penswastaan badan usaha milik negara, lembaga baru itu merupakan wujud ekonomi terpimpin dengan gaya militeristik sang Presiden. Bukannya memperkuat, Danantara justru bisa membuat kepercayaan pasar global melemah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara yang disahkan pada 4 Februari 2025 menyebutkan Danantara akan menguasai 99 persen saham perusahaan negara. Sisanya dipegang Kementerian BUMN. Tugas Danantara yang rencananya diluncurkan pada 24 Februari 2025 adalah mengelola semua aset BUMN, termasuk dividen yang selama ini menjadi penerimaan negara bukan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Tahun lalu, setoran dividen 65 BUMN ke negara sebesar Rp 85,5 triliun dari Rp 10.402 triliun aset yang mereka kelola. Jumlah itu akan masuk ke kas Danantara dan dikelola menjadi investasi. Pemerintahan Prabowo mengklaim dividen dari perusahaan milik negara itu akan dikembangkan hingga jumlahnya terus membesar. Status Danantara membuat perusahaan-perusahaan yang mereka kelola bukan lagi kekayaan negara yang dipisahkan.

Direksi dan komisaris bukan lagi penyelenggara negara yang menjadi obyek Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mereka juga tak perlu lagi melaporkan harta kekayaan sebelum dan setelah menjabat pengurus perusahaan di bawah Danantara.

Para penyusunnya mengklaim aturan itu dibuat untuk melindungi direksi dan komisaris dari kriminalisasi atas keputusan bisnis yang mereka ambil. Karena itu, mereka terbebas dari kewajiban ganti rugi jika membuat keputusan keliru. Pengurus perusahaan pun tak perlu lagi berhubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, seperti yang selama ini terjadi.  

Danantara juga membuat perusahaan negara bukan obyek audit Badan Pemeriksa Keuangan. Sebagai ganti, kantor akuntan publiklah yang akan mengaudit mereka layaknya perusahaan swasta. Auditor BPK hanya bisa memeriksa perusahaan-perusahaan itu dalam audit dengan tujuan investigasi khusus atas izin DPR. Desain itu menghilangkan checks and balances sebagai prasyarat tata kelola perusahaan yang baik. Badan investasi akan mengelola aset jumbo yang sejatinya milik negara tanpa transparansi yang memadai.

Dengan menempatkan Danantara langsung di bawah kekuasaannya, Presiden Prabowo bisa dengan gampang memanfaatkan perusahaan negara untuk kepentingannya. Bukannya dikembangkan menjadi investasi, dana yang dikelola Danantara bisa digunakan untuk membiayai “program prioritas” pemerintah. Misalnya proyek makan gratis dan pembentukan pasukan militer baru di berbagai daerah.

Tak mengherankan, bahkan sebelum pembentukannya diumumkan, tingkat kepercayaan pasar terhadap perusahaan pelat merah merosot tajam. Harga saham bank negara year to date di bursa turun berbarengan: BRI melemah 4,75 persen, Bank Mandiri anjlok 16,07 persen, dan BNI turun 8,59 persen. Nilai saham BUMN nonbank seperti PT Semen Indonesia Tbk juga turun 22,49 persen. Prabowo sedang mempermainkan kepercayaan investor.

Jika ditarik ke belakang, Danantara merupakan proyek Prabowo mewujudkan cita-cita ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, sejak 1980-an. Menteri ekonomi Orde Lama dan Orde Baru itu punya ide membentuk lembaga investasi yang mengelola 1-5 persen laba BUMN. Namun Menteri Keuangan 1988-1993, J.B. Sumarlin, menolak ide itu. Sumitro lalu meneruskan gagasan tersebut kepada pemerintah Malaysia yang berbuah Khazanah Nasional Berhad pada 1993.

Prabowo mengkonfirmasi gagasan ayahnya itu dalam buku pamfletnya yang terbit pada 2022, Paradoks Indonesia dan Solusinya. Menurut dia, kekayaan Indonesia lari ke luar negeri lantaran sumber daya alam tak dikelola perusahaan negara. Prabowo terpukau oleh cara Deng Xiaoping memimpin reformasi Cina pada 1978-1989 dengan membentuk 150 ribu BUMN yang mengelola sumber daya alam mereka.

Maka, menurut Prabowo, solusi agar Indonesia bisa menyamai ekonomi Cina adalah menerapkan kapitalisme negara melalui BUMN. Cara berikutnya adalah mengubah sistem politik melalui demokrasi Pancasila tanpa pemilihan langsung. Prabowo memulai proyeknya itu melalui pembentukan Danantara dengan menyingkirkan praktik tata kelola yang baik. 

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus