Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI jam yang ramai itu, sepotong kiamat mengempaskan Provinsi Sichuan ke titik nadir. Tanah terbelah, rumah-rumah rebah ke bumi, gedung-gedung jangkung rontok dalam seketika. Kiamat datang—pada Senin pekan lalu—dalam wajah gempa 7,9 skala Richter, menggilas sekujur provinsi di barat daya Cina itu, tanpa ampun. Beichuan, Juyuan, Hanwang, Mianzu, Miayang, Deyang beralih rupa menjadi kota-kota hantu penuh jenazah lintang-pukang.
Lima puluh ribu lebih manusia tewas hingga Jumat malam pekan lalu. Puluhan ribu lain terkubur, melolong dari bawah reruntuhan, berpacu dengan maut. Yang selamat remuk oleh prahara yang merampas segenap kecintaan mereka: keluarga, sanak-kerabat, handai tolan.
Di kota kecil Juyuan, lindu itu melantakkan seisi kota saat anak-anak tengah belajar, pegawai Bank of China menghitung uang, orang ramai berbelanja, ibu-ibu menyiapkan makanan bagi buah hati mereka yang pulang sekolah. Yang tersisa cuma puing, ratapan, dan kota-kota yang lenyap dari peta.
Di Provinsi Sichuan, tanda-tanda kehidupan meredup tatkala satu generasi hilang, terkubur dengan tiba-tiba.
Yudono Yanuar, HYK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo