Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font color=#FF9900>Pemilu Amerika Serikat</font><br />Kerah Biru Jadi Penentu

Hillary-Obama harus bertarung di lima negara bagian lagi. Mereka akan berebut dukungan kelas pekerja kulit putih untuk menang dalam pemilihan di putaran awal.

19 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Fairmont, sebuah kota kecil di West Virginia, Hillary Clinton disambut bak pahlawan. Dia datang menghadiri pemilihan awal—di Negara Bagian West Virginia—pada Rabu pekan lalu. Di tengah kota, warga Fairmont merentangkan spanduk selamat datang. Mereka mengenakan kaus-T bertulisan besar-besar: ”We Need A Mama, Not Obama” (”Kami butuh seorang Mama, bukan Obama”).

Silaturahmi Hillary ke kota-kota kecil di wilayah Pegunungan Appalachian tidaklah sia-sia. Dia mencatat kemenangan spektakuler: 58 persen suara melawan Barack Obama, yang keok di angka 33 persen. Mingguan The Economist menulis, ”Ini nyaris kemenangan terbesar dia selama putaran awal pemilihan.”

Rasa percaya diri Hillary serta-merta melonjak: ”Saya lebih yakin untuk maju setelah kampanye ini,” ujarnya di depan kaum buruh kulit putih. Dia tak lupa melontarkan puja-puji bagi warga setempat. Mengutip syair lagu Country Road dari John Denver, Hillary menyitir: West Virginia adalah ”almost heaven”, nyaris sebuah nirwana bagi dirinya.

Maklumlah, kekalahan di sejumlah negara bagian sempat membuat Hillary babak-belur—dan, tadinya, menipiskan kepercayaan diri dia juga. Apalagi sejumlah kaum tua Partai Demokrat mengusulkan bekas ibu negara itu mengalah saja guna melapangkan jalan bagi Obama. Alasan mereka: ketimbang seluruh Demokrat gigit jari karena kalah melawan jawara Partai Republik, John McCain.

Tapi sukses di West Virginia membuat Hillary tegak lagi: ”Dengan satu dan lain cara, kita akan menjejak Gedung Putih kelak,” dia berpidato disambut pekikan warga Fairmont. Betul, West Virginia adalah rekor yang layak dicatat para manajer kampanye Hillary. Tapi, secara keseluruhan, Obama masih memimpin dengan 1.875 suara. Nyonya Clinton baru meraup 1.697 suara delegasi. Dia tertinggal 178 suara dari Obama. Padahal kandidat Partai Demokrat butuh 2.025 suara untuk menjadi calon presiden.

Kekurangan itu akan direbut di lima negara bagian lagi. Pada Selasa pekan ini, pertarungan akan dibuka di Oregon dan Kentucky. Lalu di Puerto Rico pada 1 Juni. Dua hari kemudian, giliran Montana dan South Dakota. Di lima negara bagian itu, baik Obama maupun Hillary akan berebut 189 suara delegasi. Dengan selisih 178 suara, bisa kita lihat betapa rentannya posisi Hillary. Meminjam istilah The Economist, ”Diperlukan mukjizat untuk menyelamatkan peluang Mrs Clinton.”

Di pihak Obama, kekalahan di West Virginia membuat mereka harus bekerja jauh lebih keras. Negara bagian itu memang tidak ramah secara demografis bagi pria keturunan Kenya ini: pemilihnya 95 persen kulit putih, banyak pensiunan, berpendidikan rendah, miskin pula. Di kubu Demokrat, isu warna kulit belum lenyap. Dan Nyonya Clinton pandai memainkan kartu itu, yang telah mengantarkan kemenangan bagi dia di Ohio, Pennsylvania, dan Indiana.

Obama tentu tak mau kalah. Dia bergegas melakukan sejumlah manuver. Misalnya, Rabu pekan lalu, di acara televisi pagi hari, muncul John Edwards. Dia tokoh Demokrat yang menjadi calon wakil presiden pada kampanye 2004. Pada musim pemilu kali ini, Edwards turut bertarung. Dia kalah dalam putaran awal, tapi berhasil menggaet dukungan sejumlah delegasi.

Di televisi, pada acara pagi itu, Edwards berjanji mendorong 19 suara delegasi miliknya bagi Obama. Hadiah lain datang dari Liga Nasional Aksi Hak Aborsi. Mereka menyatakan mendukung Obama. Isu hak merontokkan janin cukup penting bagi Amerika dalam masa kampanye presiden. Pesaing Obama dari kubu Republik, John McCain, terang-terangan menentang aborsi.

Belum jelas bagaimana Edwards nanti membujuk kelas pekerja kulit putih untuk menyokong Obama. Tapi bekas senator itu punya modal sejarah. Dia tak pernah lelah mengingatkan pemilihnya bahwa dia anak pekerja kilang. Empat tahun silam, dia mengaduk perasaan pendukungnya dengan tema kampanye ”dua Amerika”: kaya dan miskin. Pada kampanye tahun ini, dia masih tampak populis. Dia menyerang perusahaan yang enggan mengubah kebijakan kesehatan dan kesejahteraan bagi pekerja.

Bagi Obama, bantuan Edwards tentu penting, setidaknya mencegah kekalahan besar bagi dirinya di Kentucky dan Oregon pekan ini. Obama amat memerlukan dukungan kelompok kerah biru—istilah untuk kelas pekerja Amerika—kulit putih. Ini modalnya untuk menghadang Hillary, yang bertekad mengecilkan suara delegasi loyal bagi Obama di akhir putaran awal pemilihan. Setidaknya di bawah 100 delegasi untuk lima negara bagian.

Nah, dari sinilah Hillary berencana bergerilya mengejar dukungan dari delegasi super (lihat ”Suara Super Jadi Rebutan”). Apalagi dia diunggulkan menang di Kentucky dan Puerto Rico. Adapun Obama, dia berharap bakal unggul di Oregon, Montana, dan South Dakota. Jika keduanya tidak kunjung berhasil menembus jumlah minimum suara—2.025—delegasi super akan tampil, memainkan peran penting.

Soal lain, Partai Demokrat akan rugi besar jika para pemilihnya tak lagi yakin pada kedua kandidat mereka dan memindahkan suara ke Senator John McCain. Prediksi ini bukan tanpa dasar. Hasil survei Gallup bulan lalu meramalkan sekitar 28 persen pendukung Hillary bakal berbelok ke McCain, ketimbang memilih Obama, dalam pemilu Presiden Amerika Serikat pada November. Dan 19 persen pendukung Obama, dalam survei itu, mengaku akan memilih McCain ketimbang Nyonya Clinton.

Tapi konsultan Demokrat tak begitu yakin dengan survei Gallup. ”Anda tak bisa membuat abstraksi semua pemilih bakal lari ke McCain,” kata Jim Jordan, konsultan Partai Demokrat. Dia mengutip hasil jajak pendapat lain dari Washington Post/ABC News pekan lalu. Di situ terlihat Obama masih memimpin jauh di atas McCain. Diperkirakan, pertarungan Obama versus McCain akan keras untuk merebut suara kelas pekerja. Di sinilah tokoh macam John Edwards menjadi penting betul untuk meneguhkan posisi Obama.

Pemilih independen adalah faktor lain yang perlu dihitung di ronde akhir. McCain, misalnya, telah membuat partainya kewalahan dengan kampanye soal pajak, keuangan, dan imigrasi. Dia bahkan dibenci kalangan tertentu di lingkaran dalam Partai Republik. Sebaliknya, Obama punya catatan berbeda. Dia mampu merangkul banyak kalangan. Isi pidatonya menghormati kaum konservatif, pemilih religius, dan sejenisnya. Dia mendengarkan suara kaum muda Demokrat.

Mungkin karena itu, McCain menuding Obama naif. Misalnya, Obama punya keyakinan seharusnya Amerika mau berdialog dengan negara musuh paling bandel sekalipun, seperti Iran. Bagi Republik, mereka ingin Amerika tetap memainkan peran penting seperti presiden—dari partai mereka—sebelumnya. Umpamanya Richard Nixon, yang berkunjung ke Cina pada akhir 1960-an saat Cina berkonflik dengan Uni Soviet. Tujuan Nixon saat itu adalah mencari keseimbangan kekuasaan di era Perang Dingin. Atau Ronald Reagan, yang berbicara tentang perdamaian dengan Uni Soviet pada akhir 1980-an.

Sikap ”lunak” Obama dalam soal politik luar negeri justru menjadi sasaran empuk kubu Republik. Mereka memberikan reaksi keras atas pernyataan Hamas, organisasi Islam radikal untuk pembebasan Palestina. Bulan lalu, lewat juru bicara Ahmed Yousef, Hamas mengatakan mendukung Obama jika dia menjadi presiden. Yousef menyebut Obama ”lelaki berprinsip”.

Kubu Republik justru melihatnya sebagai penyambutan kepada calon Presiden Amerika yang lemah terhadap terorisme. McCain pun berupaya menangguk laba. Kata dia, Obama jelas tidak menganut nilai yang sama dengan Hamas. ”Tapi adalah fakta bahwa juru bicara Hamas setuju dengan pencalonan Obama. Saya pikir itu menarik bagi rakyat Amerika,” ujar McCain. Veteran Perang Vietnam itu pun memotong di tikungan. Kalau dirinya terpilih, kata McCain, itu menjadi mimpi buruk buat Hamas.

Pihak Demokrat ganti menuding pemerintahan McCain kelak tak berbeda dengan ”George Bush jilid ketiga”, terutama soal Irak dan kebijakan ekonomi. McCain mendukung perang di Irak. Apalagi komentar dia soal ”kemajuan besar” ekonomi pada masa Bush. Kubu Obama bakal mengulang-ulang isu itu dalam kampanye mereka tentang energi yang kian mahal, ambruknya harga rumah, dan ketakutan yang meluas tentang resesi.

Nezar Patria, HYK (AP, Washington Post, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus