Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAHNYA kusut seperti baru terjaga, rambut putihnya yang bergelombang mengembang ke atas. Duduk di belakang meja ruang besuk, Mochamad Slamet Hidayat cuma memakai kaus oblong putih. Sesekali ia menimpali senyum istrinya, yang berbaju hitam dan berbedak tebal, Kamis siang pekan lalu.
Hari itu genap sepekan mantan duta besar Indonesia di Singapura ini menghuni tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. ”Saya bisa istirahat dan tidur,” pria 55 tahun itu berkata dan mengaku sudah bisa menyesuaikan diri di sel berukuran tiga kali tiga meter. Tak buruk amat dibanding kamar tetangganya, tersangka pembalak ilegal dari Kalimantan, yang bergerombol enam orang.
Slamet adalah tersangka penggelembungan dana renovasi kantor kedutaan besar dan rumah dinas di Singapura. Bersama Slamet, mantan bendahara kedutaan, Erizal, juga ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Skandal ini merugikan negara Rp 10 miliar. Inilah kasus kedua yang melibatkan bekas diplomat papan atas setelah Rusdihardjo, duta besar di Malaysia, yang terlilit korupsi duit tenaga kerja Indonesia.
Meski sama-sama ditahan, Erizal tampak lebih ceria. Lelaki 51 tahun ini malah ”menikmati” kesehariannya di tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. ”Pagi saya salat, berdoa, olahraga, dan ngobrol dengan kawan-kawan senasib,” katanya. Soal sangkaan ia menilap uang negara, Erizal menjawab ringan, ”Saya kan bukan orang yang mulai, saya berada dalam lingkup terkecil. Ternyata masuk ke sini.”
Erizal mengaku hanya menjalankan perintah atasannya, Slamet. Apa merasa bersalah? ”Tanyakan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, saya tidak bisa menentukan,” katanya. Menurut pengakuan Erizal kepada tim Kejaksaan Agung yang menangani kasus ini pertengahan tahun lalu, ia membagi-bagi duit sisa proyek kepada atasannya dan sejumlah pejabat Departemen Luar Negeri. Erizal sendiri, yang menjadi bendahara proyek, mengantongi Rp 714 juta.
Penggelembungan dana di kedutaan itu sebenarnya kasus lawas yang sebelumnya ditelisik kejaksaan. Tim penuntasan tindak pidana korupsi, yang ketika itu dipimpin Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus Hendarman Supandji—sekarang Jaksa Agung—menerima laporan ihwal kongkalikong antara petinggi kedutaan dan Ben Soon Heng Engineering Enterprise, pemborong lokal.
Kisah penggelembungan bermula dari rencana merenovasi kantor dan rumah dinas pejabat kedutaan di Singapura, lima tahun silam. Alasannya, kondisi bangunan sudah rusak dimakan usia. ”Untuk menjaga image di mata penduduk setempat dan tamu yang datang,” demikian tertulis dalam laporan Slamet kepada Departemen Luar Negeri. Kedutaan mengajukan dana renovasi US$ 1,988 juta atau sekitar Rp 17 miliar.
Sudjadnan Parnohadiningrat, Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri saat itu, meneruskan permintaan dana ke Departemen Keuangan. Uang yang mengucur Rp 16,4 miliar. Pada November 2003, pekerjaan dilaporkan selesai. Sebulan berselang, John Lee Ah Kuang, pemilik Ben Soon, menerima bayaran dari kedutaan dan memberikan tanda terima bertulisan S$ 3,38 juta (Rp 20 miliar). Kedutaan membayar S$ 3,284 juta. Sisanya dinyatakan sebagai utang.
Menurut penyelidikan, sebenarnya uang yang diterima John Lee cuma S$ 1,68 juta. Itu pun dicicil sepuluh kali. Sisanya, S$ 1,697 juta (sekitar Rp 10,1 miliar), dikantongi pejabat kedutaan. Duit itulah yang dibagikan Erizal. Bancakan ini diungkap Kejaksaan Agung berkat laporan yang masuk pada Agustus 2006. Tim ini melacak langsung ke Singapura. Pada Maret lalu, penyelidikan dinyatakan selesai oleh Hendarman.
Selain Erizal, para penerima duit adalah Slamet S$ 220 ribu (Rp 1,3 miliar), Eddie Suryanto Harijadhi—wakil duta besar dan penanggung jawab tender renovasi—S$ 190 ribu (Rp 1,1 miliar), dan pegawai Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan S$ 120 ribu (Rp 714 juta). Adapun Sudjadnan, yang sejak Januari 2006 menjabat duta besar di Amerika Serikat, kecipratan US$ 200 ribu (Rp 1,2 miliar).
Dalam penyelidikan jaksa juga ditemukan aliran uang ke pejabat Departemen Luar Negeri yang punya pekerjaan sampingan sebagai pemborong rumah pribadi Slamet di Kalimalang, Jakarta Timur. Tim jaksa mendapatkan dokumen renovasi rumah yang diteken Kartini Hidayat, istri Slamet. Nilai pekerjaannya sekitar Rp 1,3 miliar. Jadi, ”Kasus ini tinggal expose (gelar perkara),” kata Hendarman Supandji.
Empat orang inilah—Slamet, Erizal, Eddie, dan Sudjadnan—yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh tim penuntasan. Tapi hingga tim itu dibubarkan pada Juli lalu, kasus tersebut tak kunjung ke pengadilan. Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Marwan Effendi, mengatakan bahwa kasus itu memang sengaja ditunda. ”Masalahnya, mereka telah mengembalikan uang,” katanya melalui pesan pendek kepada Tempo. Uang S$ 1,134 juta atau setara dengan Rp 6,74 miliar itu dikembalikan sebelum kasus ini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Soal penundaan, sumber Tempo punya cerita lain: ada campur tangan RI-1. Alasannya, pengungkapan skandal itu akan mencoreng citra diplomasi Indonesia. Salah satu tersangka, yaitu Sudjadnan, masih aktif menjabat duta besar. Marwan, dan juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng, membantah cerita itu. ”Justru Presiden memerintahkan semua penyimpangan di kedutaan diusut tuntas,” katanya.
Bagaimana kasus ini sampai ke meja penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi? Menurut juru bicaranya, Johan Budi S.P., pengusutan berkat laporan masyarakat. ”Tak ada surat pemberitahuan dari Kejaksaan Agung bahwa mereka juga menangani kasus ini,” katanya. Toh, belakangan setelah diumumkan ke publik, kedua lembaga penegak hukum itu berkoordinasi. Kejaksaan pun melepas kasus ini.
Marwan mengatakan, pemberitahuan ke Komisi Pemberantasan Korupsi telah disampaikan. Ia menduga surat pemberitahuan hilang atau terselip. ”Menurut undang-undang, jika ada dua lembaga melakukan pengusutan, kasus itu harus diserahkan ke Komisi,” kata Marwan. Ia menambahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi telah meminta data ke kejaksaan. ”Di kejaksaan pun kasus ini sudah ditindaklanjuti dan tinggal tahap akhir saja.”
Merujuk pada temuan kejaksaan, masih ada pelaku lain yang besar kemungkinan bakal dijadikan tersangka. Tapi Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Riyanto, mengatakan hingga saat ini fokus penyidikan masih pada dua tersangka, Slamet dan Erizal. ”Kami sedang mencari bukti,” katanya. ”Pemeriksaan terhadap pemborong, yaitu John Lee Ah Kuang, juga akan dilakukan.”
Sudjadnan, yang dihubungi Tempo pada Jumat pagi pekan lalu, mengatakan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Dikabari bahwa perkaranya telah diambil alih Komisi Pemberantasan Korupsi, ia menjawab singkat, ”Kalau saya mengomentari, berarti saya mencampuri proses hukum,” ujarnya.
Eddie Suryanto Harijadhi enggan menanggapi kasusnya. ”Saya tak bisa berkomentar,” katanya (Tempo, 11 November 2007). Adapun John Lee semula juga sulit dikorek. Karena tak mungkin dibawa ke Jakarta, warga Singapura itu diperiksa di kedutaan.
Awalnya, John Lee banyak berbohong. Hingga akhirnya jaksa tidak sabar. ”Kalau Anda tidak mau mengaku, kami beri tahu petugas pajak Singapura,” kata sang jaksa. John Lee ketakutan. Bos perusahaan cleaning services ini bakal repot bila diketahui petugas pajak merangkap jadi pemborong bangunan.
Dari John Lee diketahui bahwa pekerjaan renovasi tidak selesai tepat waktu. Proyek itu molor sampai 2004 karena dikerjakan bertahap atas perintah Erizal. Setiap pembelian material dan penyiapan kuitansi juga dikontrol Erizal. ”Saya diminta membuat tagihan fiktif. Alasannya, uangnya akan dibagi ke staf administrasi,” kata John Lee kepada jaksa.
Dihubungi melalui telepon, John Lee mengakui ikut dalam proyek renovasi kantor kedutaan. Tapi ia membantah ada penggelembungan dana. ”Tidak ada yang salah dalam proyek itu,” ujar John Lee kepada Tempo.
Adek Media, Yugha Erlangga, Purborini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo