Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Anwar Ibrahim: </B></font><BR />Mereka Ingin Mendongkrak Suara Pemilih

18 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara tegas ketua oposisi Anwar Ibrahim mengecam serangan dan pembakaran terhadap gereja di beberapa tempat di Malaysia. Sejak awal dia telah mencium aroma politik ketimbang isu religiositas dalam kasus ini.

Kendati berada jauh di Libanon, Anwar tetap memantau situasi tanah airnya. ”Mereka tak peduli bila nantinya terjadi perselisihan di masyarakat.” Melalui surat elektronik, Ketua Partai Keadilan Rakyat itu menjawab pertanyaan Yophiandi dari Tempo.

Anda menilai pembakaran gereja dan pelarangan kata ”Allah” bernuansa politis?

Memang ada hal-hal sensitif atas pemakaian beberapa kata di Malaysia. Tapi penggunaan kekerasan dalam beberapa hari terakhir belum ada presedennya. Bukti-bukti menunjukkan adanya motif politik. Beberapa pihak menggunakan ini untuk meningkatkan tensi ketegangan, memaksakan motif tersembunyinya.

Maksud motif tersembunyi?

Banding pemerintah atas keputusan pengadilan tinggi Malaysia yang membolehkan kata ”Allah” dipakai umat non-Islam tak ada basis teologinya. Alasannya lebih karena desakan berbau hasutan beberapa pihak. Kelompok itu memaksa penggunaan isu ini untuk mendongkrak jumlah pemilih, berharap mendapatkan suara dari pemilih pinggiran. Mereka tak peduli bila terjadi perang antarmasyarakat karena isu ini.

Membuat hubungan umat Islam dan Kristen jadi rawan?

Saya tak bisa bilang begitu. Reaksi umat Kristen sangat positif dan terukur. Apalagi beberapa kelompok Islam malah mendukung kelompok Kristen, misalnya membentuk komite untuk melindungi gereja. Ini bisa membuka kesempatan meningkatkan rasa saling memahami dan membuka dialog.

Penyerangan atas gereja merupakan bagian dari pelarangan kata ”Allah”?

Sepertinya bagian upaya memecah belah masyarakat. Menggunakan isu ras dan sentimen keagamaan dan menggunakan pemerintah yang mengontrol media. Apalagi pemerintah membolehkan unjuk rasa. Biasanya unjuk rasa damai saja dibatasi, bahkan dilarang polisi. Kecurigaan ini juga karena polisi tak cepat menangkap pelaku kekerasan.

Parahkah hubungan Islam dan Kristen di Malaysia?

Konstitusi Malaysia menyatakan Islam agama resmi negara, dan agama lain bebas melaksanakan ibadahnya. Dilema Malaysia adalah kurangnya demokrasi. Pengadilan yang korup, media yang terkungkung, dan kurangnya kebebasan berpendapat membuat partai berkuasa bisa seenaknya menafsirkan konstitusi. Kali ini agama dipakai sebagai alat untuk meningkatkan suara. Tak cuma ini, juga dengan korupsi dan sentimen ras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus