Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Haiti</B></font><BR />Maut dari Artibonite

Korban tewas akibat kolera di Haiti sudah melebihi 1.500 orang. Pemilu 28 November tetap berjalan sesuai dengan jadwal.

29 November 2010 | 00.00 WIB

<font face=arial size=1 color=brown><B>Haiti</B></font><BR />Maut dari Artibonite
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Fecky D’Ayiti, 26 tahun, nelayan yang tinggal di bantaran Sungai Artibonite, termangu sedih. Pikirannya melayang mengenang Feconne D’Ayiti, 7 tahun, buah hati yang telah mendahuluinya. ”Dia mulai muntah dan diare, kemudian pergi,” katanya. Feconne meninggal beberapa jam setelah minum air Sungai Artibonite. Dia menjadi satu dari ribuan warga Haiti yang tewas akibat wabah kolera.

Bagi penduduk yang tinggal di kawasan itu, sungai yang bermuara di Teluk Gonave ini merupakan sumber kehidupan sehari-sehari. Mereka mandi, mencuci, dan minum dari sungai berair payau itu. Bahkan juga mencari ikan untuk dimakan.

Dari lembah Sungai Artibonite pula wabah kolera menjalar. Dalam hitungan minggu, wabah meluas ke berbagai penjuru kota yang masih dalam tahap pemulihan setelah gempa dahsyat Januari silam. Hingga Kamis pekan lalu, jumlah warga yang tewas mencapai 1.603 orang.

Organisasi Kesehatan dari Amerika di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (Pan-American Health Organization, PAHO) mengatakan, sejak 22 Oktober lalu, wabah ini telah menjangkiti 69.776 orang, dan 29.871 orang sudah dirawat di rumah sakit. ”Kami harus bersiap menghadapi peningkatan drastis kasus kolera,” kata Wakil Direktur PAHO Jon Andrus.

PAHO mengatakan Departemen Kesehatan Haiti membenarkan kabar bahwa wabah ini telah menyebar ke semua (sepuluh) daerah administratif Haiti. Tingkat kematian tertinggi berada di wilayah Artibonite, diikuti Nord, Quest, Port-au-Prince, dan Nord-Quest. Wabah bahkan telah menyebar ke Republik Dominika dan Miami, Florida.

Menghadapi wabah ini, PBB telah menggelontorkan dana sekitar US$ 164 juta. Komisi Eropa juga menyerukan negara-negara Eropa agar tak hanya mengirimkan bantuan uang, tapi juga obat-obatan, ke Haiti. Kanada berjanji akan memberikan US$ 1 juta. Bangladesh telah mengirimkan tim yang terdiri atas delapan dokter ahli kolera.

Di tengah keprihatinan atas wabah kolera, kerusuhan malah meletup di Haiti akibat kemarahan warga. Mereka curiga tentara Nepal sengaja menyebarkan wabah ke Haiti. Kendati sanitasi buruk, penyakit kolera memang tidak pernah tercatat sebelumnya terjadi di sana.

Pengunjuk rasa melemparkan batu ke pasukan penjaga perdamaian PBB, menyerang mobil orang asing, serta memblokade jalan dengan membakar ban dan merobohkan tiang lampu. Kepala Misi PBB di Haiti, Edmond Mulet, mengajak warga bersama-sama mencari musabab wabah tersebut. ”Suatu saat saya harap kita akan mengetahuinya,” katanya.

Meski wabah kolera meluas, rencana pemilihan umum untuk mencari pengganti Presiden Rene Preval ternyata terus berjalan. Permintaan empat dari 19 calon presiden untuk menunda pemungutan suara pada 28 November tak digubris. Ken Merten, Duta Besar Amerika di Haiti, mengatakan proses pemilu sudah berada di jalur yang benar.

Dia mengatakan 250 ribu pemilih baru yang terdaftar dan lebih dari 11 ribu tempat pemilihan suara telah diidentifikasi dalam pemilihan presiden kelima sejak jatuhnya diktator Duvalier. ”Haiti punya masalah kolera, tapi Haiti juga memiliki pemilu yang harus dilakukan, dan kami berada di sini untuk mendukung usaha tersebut,” kata Merten.

Kepala misi diplomatik Uni Eropa di Haiti, Fabert Luth, juga mendukung agar pemilihan presiden dan anggota dewan legislatif tetap dilakukan sesuai dengan jadwal. Penundaan pemilu dinilai bisa mengancam stabilitas bangsa.

”Saat ini, Uni Eropa tidak melihat rintangan terhadap pemilihan umum,” ujar Luth. Uni Eropa menyediakan 5 juta euro atau US$ 7 juta untuk membantu pelaksanaan pemilu. Mereka juga mengirim tujuh ahli pemilu untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu.

Jon Andrus mengatakan warga tak perlu khawatir tertular kolera saat berkumpul di tempat pemungutan suara. ”Kolera tidak tertular karena berkumpul,” katanya. ”Di tempat tertutup pun, jika ada yang terkena flu, risiko tertular sangat tinggi.”

Suryani Ika Sari (AP, AFP, Reuters, Kansas City Star, CNN, Sify)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus