Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Jepang-Korea</B></font><BR />Merayu Korea dengan Sejarah

Jepang mencoba membuka pasar Korea Selatan dengan mengembalikan aset-aset sejarah Korea yang diambil di masa pendudukan.

22 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian Luar Negeri Korea Selatan panik bukan kepalang. Sebuah kata yang tidak diharapkan tiba-tiba muncul dalam teks terjemahan pidato Perdana Menteri Jepang Naoto Kan ke dalam bahasa Korea, Sabtu dua pekan lalu.

Teks yang telah dialihbahasakan itu mengatakan Jepang ”mengembalikan” sejumlah aset sejarah Korea. Padahal pidato yang dibacakan dalam pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Yokohama itu berbunyi: Jepang ”mengalihkan” sejumlah aset bersejarah milik Korea Selatan.

Kesalahan kecil, tapi akibatnya luar biasa. Tiga hari berselang, pemerintah Korea Selatan resmi meminta maaf kepada Jepang, dan sekonyong-konyong langkah ini pun menjadi sasaran kecaman para diplomat dan politikus. ”Saya tidak tahu mengapa pemerintah Korea Selatan perlu bersusah payah mengoreksi sesuatu yang sudah seharusnya Jepang lakukan,” ujar salah seorang diplomat Korea.

Di mata para pengkritik, istilah ”mengembalikan” justru lebih mengena daripada ”mengalihkan”. ”Aset itu dibawa Jepang secara ilegal saat zaman kolonialisasi,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Korea Selatan, Kim Young-sun.

Senin pekan lalu, Menteri Luar Negeri Korea dan Jepang, Kim Sung-hwan dan Seiji Maehara, menandatangani perjanjian kerja sama pengembalian 1.205 catatan kerajaan Dinasti Joseon (1392-1910) yang telah berpuluh tahun tersimpan dalam badan rumah tangga Kekaisaran Jepang.

Penandatanganan kesepakatan ini merupakan tindakan nyata setelah permintaan maaf Jepang kepada Korea, Agustus lalu. Kesepakatan ini juga dilakukan dalam rangka memperingati 100 tahun aneksasi Jepang terhadap negara-negara di Semenanjung Korea.

Salah satu yang dikembalikan Jepang adalah Uigwe, catatan yang berisi protokoler kenegaraan Korea, termasuk pemakaman raja-raja. Yang paling penting dalam Uigwe ini adalah ilustrasi pemakaman dan catatan kematian ratu terakhir Korea, Myeongseong (1851-1895). Sebab, kematian sang Ratu merupakan kejadian yang paling menyakitkan bagi bangsa Korea saat itu.

Ratu ini meninggal di kompleks keputren Okhoru di dalam Istana Gyeongbok karena dibunuh intel Jepang, yang menganggapnya kerikil politik dalam kolonialisasi Jepang saat itu. Karena itu, Uigwe dianggap pemerintah Korea Selatan sebagai harta bersejarah yang tidak ternilai harganya.

Selain menyerahkan 167 seri Uigwe, Jepang mengembalikan catatan Daejeonhoetong atau kerangka kerja yang menjadi dasar hukum modern Korea. Catatan ini ditulis dalam bentuk buku oleh Perdana Menteri Jo Du-sun semasa pemerintahan Raja Gojong (meninggal 1919). Jepang juga mengembalikan 99 buku ensiklopedia politik, ekonomi, agama, dan seni yang diambil sebelum era pemerintahan Dinasti Joseon yang disebut Jeungbomunheonbigo.

Padahal, pada 1965, Korea dan Jepang pernah melakukan perjanjian yang sama soal pengembalian aset bersejarah ini. Namun perjanjian itu selalu ditanggapi Jepang dengan dingin—sampai pertemuan APEC di Yokohama itu. Dalam pertemuan itu, Jepang berjanji mengembalikan semua aset bersejarah dalam waktu enam bulan, dengan syarat: perjanjian Korea-Jepang harus membuahkan hasil.

Beberapa kali Naoto Kan meminta Presiden Lee Myung-bak membuka dialog awal perdagangan bebas kedua tetangga ini. Alih-alih tidak mau terlena dengan program ”transfer” aset bersejarah, Lee malah membahas soal penguatan kerja sama di bidang suku cadang dan material.

Tapi Kan tak menyerah begitu saja. Ia kembali mengundang Lee melakukan kunjungan ke Jepang, agar Lee mau membuka dialog soal perdagangan bebas. Undangan itu ditanggapi dengan hangat oleh Lee. Namun Lee tetap pada pendiriannya bahwa tidak mudah membuka pasar di Korea Selatan.

Memang tidak mudah bagi bangsa Korea membuka hatinya kepada Jepang. Apalagi, saat Hiroshima dan Nagasaki dibom, negara terdekat yang terkena dampaknya adalah Korea. Meski ditanggapi positif, tetap saja penjajahan selama 35 tahun itu tidak bisa dilupakan begitu saja.

”Kami harus perih ketika mengingat sandal jerami yang harus kami pakai dulu, maka kami memusatkan perhatian untuk pengembalian ini, tapi kami melihat pada nilainya, bukan jumlahnya,” ujar Hyemun, biksu yang juga aktif menggalang pengembalian aset bersejarah Korea.

Cheta Nilawaty (Chosun Ilbo, Joong Ang Daily, Yeonhap, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus