Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan tiga jalur yang membentang sepanjang 400 meter itu seperti mau meledak, tak sanggup menampung penduduk Yangoon yang berkerumun di sana dengan alasan tunggal: mendengarkan pidato Daw Aung San Suu Kyi.
Ahad dua pekan lalu, Jalan Shwe Gondaing, Yangoon, di depan markas besar Partai Liga Nasional untuk Demokrasi, tidak seperti biasa. Di bawah terik matahari pukul 12 siang, manusia bertengger di pagar-pagar rumah penduduk, di pohon-pohon di sepanjang jalan, untuk menyimak kata-kata atau sekadar melihat tokoh prodemokrasi yang baru bebas sehari sebelumnya itu.
Polisi yang biasanya sigap menghalau kerumunan lebih dari tiga orang hanya memandang dari kejauhan. Dua orang intel berpakaian perlente kelihatan sibuk meneropong Suu Kyi dan massanya dengan binoculars.
”Kita mesti melakukan rekonsiliasi nasional,” begitu kata Suu Kyi. Mereka mendengar Suu Kyi mengajak menyingkirkan perbedaan antara kelompoknya dan junta. Setengah jam sebelumnya, Suu Kyi berbincang dengan para diplomat perwakilan negara asing seraya menjelaskan posisinya sekarang ini. ”Harus saling memberi maaf dan berlapang dada,” katanya hati-hati, seakan tak ingin merusak suasana kondusif sepekan ini. Dia ingin para diplomat memahami perubahan pendekatan yang dilakukan terhadap junta, yang baru saja menang pemilu.
Tak seperti tahun-tahun yang lalu, saat masih mendukung sanksi untuk Burma dari negara Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, kini Suu Kyi mulai mempertimbangkan segalanya. ”Dari sudut rakyat, apa maunya rakyat.” Setelah 15 tahun menghabiskan hidup sebagai tahanan—separuhnya di rumah—Suu Kyi mulai mendengarkan suara lain, yang kini juga mulai menimbang konstelasi politik internasional.
Suu Kyi dianggap seperti Nelson Mandela, yang berbicara soal rekonsiliasi setelah bebas pada 1990. ”Lebih sulit dari keadaan di sana. Sewaktu Mandela belum bebas, sudah ada proses ke arah demokrasi. Di sini belum sama sekali,” ujar perempuan kelahiran 65 tahun lalu itu. ”Dia terkesan bijaksana, setiap kalimatnya mantap dan optimistis, mukanya tampak cerah,” ujar Duta Besar Indonesia Sebastianus Sumarsono, yang hadir dalam pertemuan Suu Kyi dengan para diplomat itu, kepada Tempo melalui telepon.
Kepada PBB dan ASEAN, Suu Kyi mengucapkan terima kasih. Dua organisasi ini punya pendekatan berbeda kepada junta militer Burma. PBB, yang didominasi Barat, gemar memberikan sanksi dan kecaman, sedangkan ASEAN tak sekali pun memberikan sanksi.
Ruang pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Hanoi, Vietnam, akhir bulan lalu terasa panas buat Menteri Luar Negeri Burma Nyan Win. Meski tak masuk agenda organisasi, para menteri luar negeri menanyakan soal pemilu dan pembebasan Suu Kyi.
”Dalam pemahaman saya, Ibu Suu Kyi mestinya bebas pada 13 November ini. Silakan Anda bantah bila saya salah,” kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Nyan Win diam. ”Dalam bahasa diplomasi, gelagat itu artinya yang saya sampaikan ada benarnya.” Karena sinyal positif itulah ASEAN tak mendesak Burma melaksanakan pemilu yang mesti demokratis.
Bahkan, ketika hasil pemilu diumumkan, tak ada reaksi dari persekutuan negara di Asia Tenggara itu. ”Diplomasi dengan Burma memang mesti begitu. Jangan terus injak gas. Harus tahu kapan menginjak gas dan kapan mengerem,” ujar Marty ketika dihubungi.
Suu Kyi bebas sesudah menjalani hukuman tambahan 18 bulan, setelah seorang warga Amerika menyusup ke rumahnya di 54 University Avenue tahun lalu. Sepekan sebelum dia bebas, junta menang pemilu, menguasai 80 persen kursi parlemen, dengan bendera Partai Pembangunan dan Solidaritas Bersatu. Sisanya dikuasai partai yang mendukung junta dan partai prodemokrasi.
Dua momentum itu dianggap sebagai kartu truf junta untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa junta bisa berlaku demokratis. Tuduhan negara Barat selama ini sejak pembantaian mahasiswa pada 1988 membuat Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia menyetop segala bantuan kepada negeri itu—diikuti puluhan negara Eropa dan Amerika.
Sanksi selama ini membuat rakyat negeri itu menderita secara ekonomi. Apalagi setelah secara tak resmi negara Eropa mengimbau warganya tak mengunjungi negeri itu karena catatan hak asasi manusianya yang buruk.
Tidak cuma tak mengakui hasil pemilu yang memenangkan Liga Nasional, pada 1990, junta militer menangkapi anggota parlemen terpilih dan aktivis prodemokrasi. Hingga kini, masih ada 2.100 tahanan politik yang mendekam di penjara atau menjalani tahanan rumah. ”Saya minta mereka juga dibebaskan,” kata Suu Kyi.
Bebasnya putri pahlawan Burma, Jenderal Aung San, itu membuat negara Barat mulai berpikir melakukan perubahan pendekatan kepada junta. Amerikalah yang pertama kali mengumumkan perubahan pendekatannya kepada junta. ”Kami siap mengubah hubungan kami dengan Burma, tapi ada beberapa hal yang juga mesti dilakukan Burma,” ujar P.J. Crowley, juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika, Kamis pekan lalu.
Sanksi ekonomi dari Amerika Serikat akan diakhiri dengan perjanjian yang lebih mengikat junta untuk mengubah pola pemerintahannya menjadi lebih demokratis. ”Kami akan tetap memantau bagaimana perlakuan junta terhadap Ibu Suu Kyi. Terhadap junta, kami perlu melakukan lebih dari satu kebijakan.”
Perubahan pendekatan Amerika dan Barat ini juga tak lepas dari kekhawatiran akan semakin bengkaknya pengaruh Cina di Burma. Senator Demokrat, Jim Webb, menilai Presiden Barack Obama perlu meninjau sanksi dan boikot yang selama ini tak efektif. Selama ini, Burma jauh dari Barat dan semakin dekat dengan Cina, ”Bahkan sedikit demi sedikit menjadi ’provinsi’ Cina.”
Bekas Duta Besar Inggris di Thailand menilai pembebasan Suu Kyi merupakan momentum bagi Amerika dan Uni Eropa untuk meninjau ulang kebijakan terhadap Burma. ”Banyak peran yang bisa dia mainkan, termasuk konsultasi dengan para diplomat dan bicara dengan rezim.”
Peraih Nobel Perdamaian 1991 ini menilai apa yang kini diperjuangkan adalah bersatunya rakyat Burma, dan bisa sejahtera. ”Tapi akuntabilitas tetap perlu.” Sanksi ekonomi membuat rakyat Burma terpuruk. Di pihak lain, junta malah hidup berlebihan. Selain membangun kota baru sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan di pegunungan Bago Yoma, junta menikmati kelebihan memberikan ekspor besar-besaran buat gas dan minyak bumi kepada Cina dan India.
Dua negara itu memang menjadi kunci penggerak ekonomi Burma bagi junta dan elite di Burma. Mereka menikmati pendapatan besar dari komisi hasil eksplorasi kedua sumber daya alam yang memang diperlukan dua raksasa baru ekonomi itu.
Ada lebih dari 90 ribu miliar kubik persediaan gas dan 3,3 miliar barel minyak bumi yang belum dieksplorasi di Burma. Yang bisa masuk ke sana baru Cina, dengan CNOOC-nya, dan Kogas, BUMN Korea Selatan. Dari Asia Tenggara, baru Thailand yang berani masuk ke sana, dengan PTT Exploration, dan Malaysia dengan Petronasnya.
Lucunya, meski Abang Sam dan Prancis mendukung sanksi selama ini—lewat Uni Eropa, juga PBB—baik Chevron maupun Total tak terkena dampak apa pun dari junta. Keduanya sudah berjasa mengeksplorasi gas dan minyak di Burma jauh sebelum sanksi diberlakukan.
Sean Turnell, pakar Burma dari Universitas Macquarie, Australia, menilai pertarungan di sektor energi adalah agenda tersembunyi semua negara saat ini, untuk bisa mengeruk keuntungan ekonomi, sekaligus memoles junta menjadi lebih baik di mata dunia internasional.
Cina dan India serta Korea dan Thailand menjadi pemain yang sudah lihai di sektor sumber daya lain. Karet, kayu jati, dan mutiara menjadi barang yang dikeruk dari pegunungan di Burma. Bahkan BUMN Thailand, Ital-Thai, sudah mengintip proyek pembangunan pelabuhan dan kompleks industri di Tavoy, pantai Laut Andaman.
Alexander Chandra, Koordinator Regional Trade Knowledge Network Asia Tenggara, menilai memang sekarang waktunya pendekatan ekonomi lebih diutamakan terhadap junta. ”Tak bisa politik tingkat tinggi terus,” ujarnya. Sebab, terbukti, penciptaan kebutuhan pada junta bisa memberikan manfaat ekonomi buat negara yang bersangkutan.
Terbukti, inilah yang terjadi dengan Cina dan India. Cina kini bisa mempengaruhi Burma—meski unsur pengaruh itu tak dimainkan lebih jauh oleh Cina, yang masih ingin mengambil manfaat ekonomi untuk 1,5 miliar penduduknya.
Soal sikap Suu Kyi, Win Tin, anggota Komite Eksekutif Liga, menilai tak ada yang berubah. ”Dia tetap berkomitmen pada penegakan demokrasi, seperti sebelumnya,” ujarnya ketika dihubungi. Dia juga menilai rekonsiliasi nasional memang perlu dilakukan, tapi dengan kesepakatan adanya kondisi demokratis. ”Apakah kita ingin demokrasi? Iya, dan dia siap untuk bekerja sama.”
Yophiandi (BBC, CNN, Irrawaddy, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo