Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Momen

22 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haiti
Amuk Wabah Kolera

Wabah kolera di Haiti terus menelan korban. Sampai Jumat pekan lalu, 724 orang meninggal. Dalam 24 jam terakhir, korban tewas bertambah 80 orang. Jika tak segera diatasi, wabah kolera ini diperkirakan akan membunuh hingga 10 ribu orang.

Kementerian Kesehatan Haiti, Rabu pekan lalu, mengatakan saat ini terdapat 1.100 orang yang meninggal sejak wabah kolera terjadi akhir Oktober lalu, dan jumlah yang dirawat setidaknya 18.382 orang. Presiden Dominika Leonel Fernandez mengadakan pertemuan darurat dengan kabinetnya Rabu pekan lalu untuk menentukan cara terbaik memerangi penyakit ini. Pejabat Dominika khawatir ketakutan infeksi dapat berdampak buruk pada industri pariwisata mereka, generator pendapatan utama negara.

Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menyerukan agar dunia internasional membantu memerangi wabah kolera. Bantuan yang diperlukan diperkirakan mencapai US$ 164 juta atau hampir Rp 1,64 triliun. Juru bicara PBB, Elizabeth Byrs, mengatakan tanpa bantuan dunia, segala upaya menghadapi wabah ini terancam gagal.

Irak
Presiden Tolak Eksekusi Mati

Presiden Irak Jalal Talabani menolak menandatangani eksekusi mati, hukuman gantung, terhadap mantan menteri luar negeri Tariq Aziz. ”Saya kasihan kepada Tariq Aziz karena dia seorang Kristen Irak. Dia juga sudah tua, di atas 70 tahun.”

Talabani pun telah menolak surat perintah eksekusi mati atas anggota rezim Saddam Hussein lainnya, termasuk mantan menteri pertahanan Sultan Hashim al-Taie, yang menandatangani gencatan senjata dengan pasukan pimpinan Amerika Serikat, yang mengakhiri Perang Teluk 1991, dan kini masih berada dalam tahanan.

Talabani menambahkan penolakan dirinya atas hukuman mati terhadap menteri luar negeri era Saddam Husein itu sesuai dengan posisinya sebagai seorang sosialis demokrat yang menentang hukuman mati.

Dalam Konstitusi Irak, hukuman mati harus disahkan oleh presiden. Namun upaya Talabani itu tidak serta-merta menyelamatkan Aziz. Sebab, ada mekanisme lain yang dapat meloloskan hukuman mati itu: melalui persetujuan parlemen atau persetujuan dari salah satu deputi Talabani.

Juru bicara Kementerian Kehakiman, Abdul-Sattar Bayrkdar, mengatakan hukuman mati dapat dilakukan terlepas dari penolakan presiden menandatangani perintah eksekusi. ”Jika presiden menolak menandatangani eksekusi, itu bukan sebuah pembatalan atas hukuman yang dijatuhkan,” kata Bayrkdar. Aziz divonis mati pada 26 Oktober lalu oleh peradilan khusus yang dibentuk setelah pendudukan Irak sejak 2003.

Portugal
Pertemuan NATO

Para pemimpin 28 negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menghadiri konferensi tingkat tinggi di Lisabon, Portugal, Jumat pekan lalu. Pertemuan yang berlangsung dua hari ini rencananya juga akan membahas strategi mengakhiri perang di Afganistan, termasuk penarikan pasukan NATO dari Afganistan pada 2014 dan perbaikan hubungan dengan Rusia.

”Kami telah membuat banyak kemajuan di Afganistan. Memang belum sepenuhnya, tapi akan kami upayakan semuanya tercapai tahun ini,” kata Duta Besar NATO di Afganistan, Mark Sedwill. Sedwill menambahkan kemajuan itu diperoleh setelah Presiden Amerika Serikat menurunkan 30 ribu anggota pasukan untuk menghalau Taliban. Sekretaris Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen yakin mereka berada ”di jalur yang benar”.

Namun, dalam sebuah wawancara, Presiden Afganistan Hamid Karzai justru meminta pengurangan peran militer Amerika di Afganistan. Sebab, target penggerebekan yang dilakukan merupakan dukungan yang kontraproduktif. Badan-badan bantuan internasional juga mendesak NATO mengambil berbagai langkah untuk melindungi warga sipil. Keamanan warga sipil semakin lemah. Data PBB menunjukkan lebih dari 1.200 warga Afganistan tewas dalam enam bulan pertama tahun ini, jauh lebih tinggi daripada periode yang sama tahun lalu.

Thailand
Peringatan Tragedi April-Mei

Ribuan demonstran antipemerintah kembali turun ke jalan-jalan di Bangkok, Thailand, Jumat pekan lalu, untuk memperingati enam bulan setelah aksi militer yang menewaskan 91 orang dan melukai sedikitnya 1.800 orang. Mereka memaksa pemerintahan Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva mundur dari tampuk pemerintahan.

Para pendukung perdana menteri terguling Thaksin Shinawatra ini berkumpul di distrik perbelanjaan, khususnya di persimpangan Ratchaprasong, yang terkenal di jantung Kota Bangkok, tempat terjadinya kerusuhan April-Mei lalu.

”Sudah ada protes pendek dan sporadis seperti ini selama beberapa waktu. Mereka ingin memberikan energi kepada masyarakat dan mengingatkan pemerintah bahwa kebencian itu masih ada, tapi bukan untuk memaksa,” kata direktur independen think tank Siam Intelligence Unit, Karn Yuenyong.

Para pengunjuk rasa menyematkan mawar merah-hitam, berkumpul di luar sebuah penjara Bangkok, untuk membebaskan demonstran yang masih ditahan dan pemimpin mereka. Setidaknya 150 orang masih ditahan.

Iran
Pertemuan Rusia-Iran

Presiden Rusia Dmitry Medvedev dan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad mengadakan pertemuan bilateral di ibu kota Azerbaijan, Baku, Kamis pekan lalu. Pertemuan ini diharapkan dapat memperbaiki hubungan kedua negara sebelum menghadiri pertemuan di antara lima negara pesisir Laut Kaspia yang akan membahas soal klaim tumpang-tindih batas lautan kaya energi itu.

Seorang sumber delegasi Rusia mengatakan Medvedev memahami pentingnya pertemuan dengan Ahmadinejad. ”Kami percaya orang perlu berunding, perlu bicara, untuk mencoba meyakinkan,” kata sumber itu. Para analis berpendapat pertemuan itu merupakan peluang terakhir memperbaiki hubungan persekutuan Iran dan negara kuat dunia sebelum memasuki krisis saat ini.

Ketegangan Rusia-Iran terjadi September lalu ketika Moskow—setelah meng ulangi penundaannya—secara resmi mencabut rencana akan memasok rudal S-300 berpresisi tinggi kepada Teheran dan pengiriman senjata penting lainnya. Iran agak menyembunyikan ketidaksenangannya terhadap penarikan Rusia itu. Ahmadinejad pada bulan ini menuduh Rusia jatuh di bawah pengaruh Amerika Serikat dan menjual senjata-senjata itu untuk musuh.

Pertemuan Kaspia yang merupakan pertemuan ketiga negara peserta, termasuk Azerbaijan dan negara-negara Asia Tengah, Kazakstan dan Turkmenistan, dinilai sulit mencapai kesepakatan atas pembagian Laut Kaspia. Iran berkeras membagi Kaspia menjadi lima bagian yang sama, sedangkan Azerbaijan memancing untuk memperoleh akses sesuai dengan garis pantai masing-masing negara.

Suryani Ika Sari (BBC, AP, AFP, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus