Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Australia</font><br />Repot Negeri Kanguru Urusi Manusia Perahu

Jumlah manusia perahu ke Australia meningkat 300 persen dalam dua bulan terakhir 2011. Diperkirakan bisa lebih dari 10 ribu orang pada 2012.

16 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAPAT tertutup selama dua jam antara pemerintah dan oposisi di parlemen Australia berlangsung alot. Pembicaraan soal penanganan para manusia perahu pencari suaka berakhir tanpa kesepakatan, tiga pekan lalu. Cekcok panas berlangsung di antara kedua pihak. Pemerintah, yang diwakili Menteri Imigrasi Australia Chris Bowen, berdebat hebat dengan anggota parlemen dari oposisi, Scott Morrison.

Sengitnya adu mulut terjadi setelah terulangnya tragedi manusia perahu yang tewas di perairan antara Indonesia dan Australia pada pertengahan Desember 2010. Kapal fiberglass berkapasitas 100 orang yang dijejali imigran itu tenggelam dihajar ombak di 40 mil laut dari Jawa Timur, Indonesia. Hanya 49 dari 250 orang yang terselamatkan, lainnya hilang.

Setelah itu, masih ada tiga kapal penuh pencari suaka bersandar pada pekan pertama 2012. Sebanyak 119 orang kembali digiring masuk tahanan khusus pendatang tanpa dokumen. Selama 2011, tercatat ada 4.465 orang yang menerobos masuk Australia dengan kapal-kapal kecil. Sepertiganya masuk pada November dan Desember 2011. Mereka berasal dari Afganistan, Irak, Iran, dan Turki.

Tragedi di Laut Jawa itu membuka kembali debat panjang soal nasib manusia perahu pencari suaka politik yang mencoba memasuki Negeri Kanguru. Perseteruan mengeras setelah pemerintah Australia ngotot membuka pusat penampungan pencari suaka di Malaysia, yang kesepakatannya ditandatangani Juli tahun lalu. Sedangkan oposisi memilih membuka kembali pusat pengungsi di Nauru—sebuah negara kecil di Pasifik (lihat "Kembali Ke Nauru"). Keduanya keukeuh dengan solusi yang mereka tawarkan untuk mengurangi gelombang kedatangan manusia perahu langsung ke teritori Australia.

"Soal menghentikan kedatangan perahu pernah kita lakukan dan akan kita lakukan lagi," ujar pemimpin oposisi, Tony Abbot, yang memberi sinyal kembali menerapkan "Solusi Pasifik" untuk penanganan manusia perahu. Solusi Pasifik adalah membelokkan destinasi para pencari suaka politik ke Australia ke negara-negara di Pasifik, antara lain Manus dan Nauru. Perdana Menteri John Howard-lah yang menerapkan kebijakan ini dari 2001 sampai 2007. Ada sekitar 5.500 orang pencari suaka, terutama dari negara-negara di Asia dan Timur Tengah, yang menetap di negara-negara Pasifik tersebut.

Oposisi kembali menekankan pentingnya Solusi Pasifik, karena pengadilan Australia memerintahkan penundaan penerapan kesepakatan antara pemerintah Australia dan Malaysia, untuk penempatan sementara para pencari suaka itu. Selain itu, mereka selalu berhitung beban jutaan dolar yang telah dihabiskan pemerintah untuk masalah manusia perahu selama ini. Menurut perhitungan oposisi, beban sejak 2000 sudah hampir mencapai A$ 2,4 miliar atau sekitar Rp 22,7 triliun.

Manusia perahu—istilah untuk para pencari suaka politik ke Australia yang datang dengan perahu—sebenarnya hanya sebagian kecil dari para pencari asilum dengan cara yang lebih "beradab", yaitu mendaftar dari negara asal atau datang dengan pesawat. Yang datang dengan perahu hanya 6 persen dari total jumlah pencari suaka.

Namun manusia perahu melahirkan kerepotan luar biasa karena rentan pelanggaran hak asasi manusia. Amnesty International banyak mengkritik pemerintah Australia dalam menangani manusia perahu ini, terutama terhadap mereka yang masih belum dewasa. Sedangkan di pihak pemerintah Australia, audit manusia perahu—apakah mereka benar-benar layak mendapatkan suaka atau sekadar ingin bermigrasi—lebih sulit karena dokumen mereka tidak lengkap atau sama sekali tak ada.

Imigran gelap dan pencari suaka memang masalah laten yang dihadapi pemerintah Australia. Setelah Perang Dunia II, banyak pengungsi datang ke Australia. Para pengungsi pertama datang dari Eropa, sesaat setelah Uni Soviet mengambil alih negara kawasan Eropa Timur. Ini adalah awal era kebijakan Australia soal pengungsi berkulit putih—hanya menerima imigran Eropa.

Pada 1978, manusia perahu pertama dari Vietnam berhasil mencapai Darwin, Australia. Mereka menyelamatkan diri dari pemerintahan komunis saat itu. Atas desakan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), era pengungsi berkulit putih pun berakhir. Australia mulai membuka pintu untuk pengungsi dari negara-negara Asia, seperti Vietnam, Kamboja, dan Timur Tengah.

Sikap terbuka Australia bagi para pengungsi sebenarnya tidak lepas dari kesepakatan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1970-an. Dalam perjanjian itu, Australia menyang­gupi menampung pencari suaka dari negara-negara yang sedang diamuk perang atau dikuasai rezim penganiaya. Sungguh kebijakan terpuji, pada awalnya.

Namun sekarang niat baik itu jadi bumerang. Sebab, beragam kerepotan tak henti-henti mendera Australia karena kedatangan para pengungsi—yang sering kali juga tidak layak masuk kategori pengungsi pencari suaka. Nah, mereka mengakibatkan antrean pendatang yang makin panjang. Selama masa penantian itu, mereka memadati tempat penampungan yang rata-rata sudah terlalu penuh. Padahal dibutuhkan antara 3,5 dan 10 tahun bagi seorang pencari suaka untuk memperoleh status penduduk tetap (permanent residency).

Sandy Indra Pratama (ABC, BBC, The Australian)


Kembali ke Nauru

NAURU. Negara yang tergambar sebagai sebuah noktah dalam hamparan peta Samudra Pasifik itu adalah republik terkecil di dunia. Luas negaranya minus lautan hanya 21 kilometer persegi, atau seperenam dari luas wilayah Jakarta Selatan. Pulau kecil ini terletak di selatan Pasifik, sekitar 42 kilometer di bawah garis meridian, berbatasan langsung dengan Kepulauan Solomon di timur laut Australia.

Tak banyak yang tahu soal Nauru. Negara jajahan Jepang itu mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1968. Uniknya, sejak berdiri, Nauru tidak punya ibu kota resmi. Itu karena sempitnya daratan yang mereka miliki. Namun Perserikatan Bangsa-Bangsa menggolongkan Distrik Yaren sebagai wilayah utama dari 14 distrik yang ada di sana.

Parlemen dan pemerintah Australia belakangan menyebut nama Nauru dalam panasnya pusaran polemik soal manusia perahu. Negara penghasil fosfat itu bakal kembali jadi penampungan para manusia perahu yang mencoba masuk ke Australia. Menghidupkan lagi kebijakan "Solusi Pasifik" milik Australia pada 2001 yang menunjuk Nauru sebagai tempat pengalihan tujuan para imigran.

"Kemarin ada yang telah berkunjung ke Nauru. Pusat penahanan di sana dilaporkan dalam kondisi baik, bisa dibuka kembali dalam hitungan minggu," kata pemimpin oposisi, Tony Abbot, seperti dilansir The Australian dua pekan lalu.

Solusi Pasifik dikenal saat John Howard memerintah Australia. Itu kebijakan Australia memangkas jumlah imigran gelap dengan jalan membelokkan tujuan mereka ke beberapa negara kecil di Pasifik. Kala itu Nauru salah satunya. Namun kebijakan itu tidak bertahan lama karena alasan kemanusiaan. Pada 2007, seiring dengan naiknya Kevin Rudd dari Partai Buruh Australia menjadi Perdana Menteri Australia ke-26 setelah John Howard, Nauru pun ditutup.

Lain dahulu, lain sekarang. Negara yang fosfatnya mulai tipis sejak 2000 itu mulai diguncang politik. November tahun lalu, Presiden Marcus Stephen ditumbangkan parlemennya, yang beranggotakan 18 orang. Ia didera isu korupsi. Kursi yang melompong langsung diduduki Freddie Pitcher—sebelumnya menjabat menteri perdagangan, industri, dan lingkungan. Namun itu pun sekejap. Sebab, lima hari kemudian ia tumbang. Parlemen kembali mengganjar mosi tidak percaya bagi Pitcher.

Pada pekan yang sama, Sprent Dabwido naik menjadi presiden. Dabwido, yang sebelumnya menjabat menteri telekomunikasi di kabinet Stephen, membelot ke oposisi. Ini berarti dalam sepekan Nauru berganti tiga presiden.

SIP (Sidney Morning Herald)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus