Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEPUK tangan terdengar dan senyuman pria itu mengembang setelah terbubuhnya tanda tangan pada secarik kertas. Berbalut setelan jas gelap, kemeja putih dengan dasi bergaris, wajahnya sumringah. Maklum, dia baru terbebas dari segala bentuk ancaman hukuman.
Pria itu Ali Abdullah Saleh, diktator yang bertengger di puncak kekuasaan Yaman selama 33 tahun. Pada rembang petang November tahun lalu, di dalam Istana Al-Yamama, Riyadh, ibu kota Arab Saudi, ia duduk di samping Raja Abdullah, sang tuan rumah. Ali menandatangani kesepakatan turun dari tampuk kepemimpinan di negeri yang sudah 11 bulan dilanda protes berdarah itu.
Meyakinkan Ali mundur tidak gampang. Ia pernah tiga kali batal teken. Perlu tekanan dari negara-negara Teluk Arab, yang didukung Amerika Serikat, untuk meyakinkannya. Bahkan, Oktober lalu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa harus mengeluarkan resolusi khusus untuk konflik Yaman, yang disepakati bulat oleh 15 negara anggotanya.
Dalam resolusinya, PBB menyesalkan ratusan kematian, terutama warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Pernyataan itu senada dengan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), yang juga mendesak pengunduran diri Ali.
Menurut Sekretaris Jenderal Liga Arab Nabil al-Arabi, konsep kesepakatan sudah digagas sejak April lalu. Oposisi Yaman pun sudah menandatanganinya sebulan setelahnya. Dalam kesepakatan itu disebutkan, Presiden akan turun dalam 30 hari dan menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Abedrabbo Mansour Hadi, yang akan membentuk pemerintah nasional pimpinan oposisi serta menyelenggarakan pemilihan umum dalam 60 hari.
Presiden Ali Abdullah Saleh adalah pemimpin keempat Arab yang terguling sejak pecahnya gelombang pergolakan Kebangkitan Arab. Ia menyusul koleganya, yakni Presiden Tunisia Zine el-Abidine Ben Ali, Presiden Mesir Husni Mubarak, dan pemimpin Libya, Muammar Qadhafi. Namun Ali paling beruntung. Sementara koleganya yang lain harus menghadapi proses peradilan, bahkan di Libya, Qadhafi tersungkur mati, Ali mendapatkan kekebalan atas semua kejahatan. "Hadiah" itu tidak hanya untuk dirinya, tapi juga kerabat dan kroninya.
Awalnya keterlibatan Amerika dalam kesepakatan pengampunan Ali sebatas dugaan para aktivis demokratis di Yaman. Namun sinyal makin kuat setelah juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, Victoria Nuland, mengatakan negosiasi kekebalan dilakukan sebagai bagian dari kesepakatan transfer kekuasaan di Yaman. Imunitas adalah salah satu bagian yang ikut disepakati, dan Amerika mendukungnya. "Ampunan merupakan paket agar era mereka berakhir," kata Nuland, Senin pekan lalu, di Washington.
Rakyat Yaman tidak bisa menerima jika tergulingnya Ali dinilai sebagai pemberian. Mereka yakin lengsernya Ali hasil perjuangan. Ribuan penduduk Yaman tetap menuntut bekas presidennya itu diadili. "Para bangsawan itu mengabaikan darah para martir, itu tidak bisa dibiarkan," teriak salah seorang pengunjuk rasa.
Badan Hak Asasi Manusia PBB berbeda sikap dengan Dewan Keamanan. Mereka menentang pengampunan terhadap Ali. Kepala Badan HAM PBB Navi Pillay mengatakan permohonan mendapatkan amnesti kepada semua orang yang terlibat dalam kerusuhan melanggar hukum internasional, termasuk sang presiden dan kroninya.
"Itu mencederai hukum HAM internasional dan kebijakan PBB," katanya. Sebab, menurut dia, amnesti tidak diberikan kepada yang bertanggung jawab dalam kejahatan internasional, termasuk kriminal perang serta pelaku kejahatan atas kemanusiaan, pembunuhan massal, dan kekerasan hak asasi manusia.
Nasi telah menjadi bubur. Ali dan kroninya sudah diampuni. Ada pengamat Timur Tengah yang yakin model penyelesaian ala Yaman akan menjadi solusi konflik yang tepat. Seperti menurut Abdul Ghani al-Iryani, pengampunan diberikan demi penghentian konflik. Sebab, kekuatan kroni Ali terlalu besar dan mengakar—diperkirakan berjumlah 1 juta orang. Mereka dengan mudah menjadi pemicu perang saudara di Yaman, negara yang pernah dilanda perang sipil sejak 1990 sampai 1994. "Pengampunan memberi jalan agar kejahatan beristirahat di Yaman."
Sandy Indra Pratama (Al-Arabiya News, BBC, Reuters, Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo