Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka menghamparkan harapan di sekujur jalan. Tak ada ruas yang tersisa. Semua bergegas. Semua berkerumun menumpahkan suaranya dari satu bundaran ke bundaran berikutnya, melewati jalan-jalan utama di pusat Kota Teheran, sembari mengacungkan poster: ”Where is My Vote?”
Mereka, para mahasiswa dan pemuda itu, bergerak dari Taman Firdaus, lalu ke Jalan Enghelab, sebelum sampai di bundaran Azadi. Ribuan demonstran lain memilih berjalan dari bundaran Park Vei, melewati kantor Presiden Mahmud Ahmadinejad, sebelum berakhir di bundaran Vanak. Sepanjang pekan lalu, para pengunjuk rasa praktis membanjiri sejumlah wilayah ibu kota Iran itu sejak pemilihan presiden 12 Juni lalu.
Kantor dan toko tutup lebih awal. Dani, warga Indonesia yang bekerja di Vanak, salah satu kawasan pusat bisnis di Teheran, misalnya, terpaksa pulang lebih cepat. Biasanya baru meninggalkan ruang kerjanya pada pukul enam sore, kini pukul tiga siang ia sudah berkemas. ”Daripada terjebak macet,” ucap Dani kepada Tempo di Teheran pekan lalu.
Gelombang aksi unjuk rasa merebak di Teheran dan beberapa kota lain setelah diumumkannya hasil pemilihan umum presiden. Para pendukung calon presiden reformis Mir-Hossein Mousavi, yang mayoritas orang muda dan kaum menengah perkotaan, menolak hasil pemilu yang kembali dimenangi presiden incumbent Mahmud Ahmadinejad itu. Mereka menuding terjadi kecurangan dan menuntut pemilihan ulang.
Awalnya para mahasiswa bergerak tanpa komando. Aksi mereka brutal dan anarkistis. Bentrokan dengan aparat tak terhindarkan. Delapan nyawa melayang. Gholam, salah satu koordinator aksi unjuk rasa, saat ditemui di Haft-e-Tir pada awal pekan lalu, menyatakan aksi itu telah disusupi. ”Kerusuhan dan aksi perusakan biasanya terjadi setelah demo. Itu sudah di luar kendali kami,” ujarnya.
Gholam, 25 tahun, mahasiswa teknik S-2 Universitas Teheran, menyesali isu-isu provokatif yang sengaja diembuskan di kalangan pendukung Mousavi. Ia menuding aparat keamanan berada di balik kerusuhan itu sehingga punya alasan menangkap para pengunjuk rasa.
Gholam mengibaratkan persaingan antarkandidat dalam pemilu kali ini bak pertandingan dua tim besar sepak bola Iran: Persepolis dan Esteghlal. Terkadang, menurut dia, pertandingan harus memakai wasit dari luar negeri agar netral. Ia pun melihat netralitas pengawas pemilu lokal kurang memadai dan meminta pemantau asing, yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa, turun tangan.
Keterlibatan mahasiswa dalam berbagai aksi unjuk rasa dan politik praktis di Iran memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang. Cikal-bakalnya terjadi sekitar 80 tahun silam. Kala itu pemerintah mengirim beberapa mahasiswa ke Jerman dan Prancis untuk belajar. Terpengaruh oleh pandangan politik di kedua negara tersebut, para mahasiswa membentuk kelompok yang dinamai ”Sekte Revolusi Republik Iran”. Mereka menghasilkan manifesto pertama yang dikirim ke kubu oposisi.
Sekembali ke Iran, para mahasiswa melanjutkan kegiatan politik mereka. Ketika Universitas Teheran didirikan pada 1934, beberapa anggota baru direkrut. Kegiatan politik praktis akhirnya mereka wujudkan dengan mendirikan partai politik: Partai Toodeh, yang berhaluan komunis, dan Partai Iran, yang nasionalis dan disokong kaum religius.
Peran mahasiswa dalam kehidupan politik di Iran semakin nyata ketika mereka mendukung gerakan ”Nasionalisasi Perusahaan Minyak” oleh Perdana Menteri Mossadegh, yang terkenal sangat nasionalis. Namun, pada 1953, Shah Iran dukungan Amerika mendongkel Mossadegh. Mahasiswa bergejolak. Kekuatan militer dikerahkan untuk menenangkan mahasiswa.
Pada 7 Desember 1953, kampus Universitas Teheran digerebek. Sempat terjadi perlawanan. Akibatnya, tiga mahasiswa tewas dalam aksi tersebut. Peristiwa ini kemudian diperingati sebagai awal dari pergerakan mahasiswa melawan rezim pemerintahan. Ketiga mahasiswa itu merupakan korban pertama dalam bentrokan antara aparat dan mahasiswa.
Dalam periode 1953 hingga revolusi Islam pada 1979, muncul dua kekuatan politik di dalam kampus: grup Islam dan grup sayap kiri. Shah Iran condong ke grup religius. Meski begitu, mahasiswa tak mau didikte dan selalu menganggap rezim Shah Iran sebagai musuh mereka. Kedua grup itu akhirnya berkoalisi dan puncaknya menjadi motor revolusi Islam pada Februari 1979. Setelah revolusi, grup komunis dan sayap kiri tersingkir dari percaturan politik Iran.
Berganti rezim, berganti kebijakan. Kehidupan politik mahasiswa lambat-laun meredup. Mereka dikondisikan menjadi kalangan terpandang dan memiliki status sosial tinggi. Aspirasi politik mereka mulai terkungkung. Meski begitu, tak semua mahasiswa bisa menerima kondisi tersebut. Secara garis besar ada tiga aliran utama dalam kehidupan kampus: mereka yang ingin terus berpolitik, mereka yang mencari status sosial, dan mereka yang peduli terhadap soal akademis.
Tampil kembalinya Mir-Hossein Mousavi, yang tak terlibat politik praktis dalam dua dekade terakhir, di bawah slogan ”Revolusi Hijau” membawa angin segar bagi mahasiswa yang menghendaki kebebasan. Ia menjadi tokoh reformis yang tepat untuk dipilih. Dalam aksi unjuk rasa sepekan ini, Gholam mengaku mendapat dana dari para pejabat yang berafiliasi dengan Mousavi.
Memasuki hari ketiga, aksi unjuk rasa lebih terkoordinasi. Aksi damai mereka dengungkan. Simpati dari warga pun mulai berdatangan. Massa yang kian hari kian banyak itu memadati jalan-jalan utama Teheran. Rabu pekan lalu, pawai damai bergerak dari bundaran Park Vei hingga bundaran Vanak, yang berjarak 10 kilometer. Uniknya, aksi kali ini tanpa mengeluarkan suara. Mereka menyebutnya ”Aksi Diam Hijau”.
Aksi simpatik ini mendapat dukungan dari putri mantan Presiden Iran Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, Faizah Rafsanjani. Di hadapan para demonstran, Faizah menyerukan agar para pendukung Mousavi ini terus berunjuk rasa di jalan-jalan menentang kecurangan yang diduga terjadi dalam pemilihan presiden, yakni penggelembungan suara.
Faizah dikenal sebagai salah satu tokoh reformis yang memberikan dukungan penuh kepada Mousavi. Sebagai bukti nyata dukungannya, ia membagikan 200 ribu jas berwarna hijau kepada para pendukung Mousavi. Dalam pantauan Tempo di Teheran, pembagian jas hijau dilakukan di beberapa titik keramaian kota, seperti Tajrish, Mirdamad, Vanak, Haft-e-Tir, dan Arya Shahr.
Bagi warga Iran, warna hijau identik dengan sayid, sebutan untuk keturunan keluarga Rasulullah SAW. Dalam aksi unjuk rasa kali ini simbol warna hijau tersebut diidentikkan dengan pendukung Mousavi, yang diyakini masih mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah SAW. Mousavi berasal dari daerah Khameneh, dengan marga Mousavi, yang garis keturunannya menyambung ke Imam Musa al-Kadzim, imam ketujuh Syiah.
Keturunan Rasulullah SAW atau sayid sangat dihormati di Negeri Mullah ini. Itu sebabnya sejumlah warga Iran mendukung Mousavi dengan alasan dia seorang sayid. Dan bagi para mahasiswa, memilih perdana menteri di masa perang Iran melawan Irak itu akan mendatangkan kebebasan.
Alireza Alatas (Teheran), Yophiandi, Firman Atmakusuma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo