Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka bergerak seperti orang-orang yang baru bubaran menonton pertandingan sepak bola. Di pusat Kota Teheran, 9 Juni lalu, ratusan pendukung Mahmud Ahmadinejad—badan mereka terbungkus kaus berwarna bendera Iran hijau-putih-oranye—berjalan berkelompok-beriringan, merayakan kebebasan yang singgah empat tahun sekali di negeri itu. Orang-orang kelas menengah-bawah, kelas pekerja, kebanyakan dari bagian selatan Kota Teheran, meneriakkan dukungan kepada presiden sekaligus kandidat presiden yang selalu berkata-kata pedas kepada lawan bicaranya dalam debat calon presiden di televisi nasional pekan sebelumnya itu.
Pada sebuah persimpangan, seorang pendukung Ahmadinejad menjulurkan kepala lewat jendela mobilnya; ia menyanyi keras di depan kerumunan pemuda-mahasiswa pendukung kandidat presiden Mousavi. ”Mousavi lai, lai…,” dendangnya mengikuti nada ninabobo menurut versi Persia. Para mahasiswa yang berpakaian hijau dan berbandana hijau—warna identitas pendukung Mousavi—mencari asal suara itu, lantas berseru dalam sebuah kor panjang, ”Ahmadi bye, bye….” Semua tergelak, termasuk si pendukung Ahmadinejad.
Kedewasaan rakyat Iran dalam proses demokrasi yang ingar-bingar tapi tanpa kerusuhan dan tanpa pertumpahan darah itu memang istimewa. Pada 12 Juni, dengan tingkat partisipasi yang mencapai 85 persen, lebih dari 46 juta warga Iran memilih satu dari tiga calon presiden: Ahmadinejad yang konservatif, Mir-Hussein Mousavi yang reformis, dan Mehdi Karoubi yang liberal tapi sangat religius. Segalanya seakan-akan berjalan tanpa cacat sampai akhirnya mandat dari rakyat yang terkumpul di dalam kotak-kotak suara itu mulai dihitung, dan Mousavi menembakkan sebuah kejutan. Ia memproklamasikan kemenangan yang telak dalam perolehan suara, jauh meninggalkan dua kandidat pesaingnya. Apa yang terjadi di dalam kubu Mousavi?
Menurut sebuah sumber, Mousavi mencium kecurangan besar dalam penghitungan suara, lalu memutuskan menghentikannya. ”Keadaan yang sangat berbahaya, sesuatu yang menyerupai kudeta (melalui kecurangan penghitungan suara—Red.), telah terjadi,” katanya seperti dikutip The Economist. Ia memperkirakan ada sebuah konspirasi yang melibatkan Departemen Dalam Negeri, yang menyelenggarakan pemilihan, dan Dewan Garda Republik, lembaga pemerintah yang ikut mengawasi penyelenggaraan pemilu.
Sumber lain, masih di dalam kubu Mousavi, memperkirakan kandidat yang sangat dipercaya (mendiang) Ayatullah Khomeini dan pernah menjabat perdana menteri sepanjang perang Irak-Iran (1980-1988) ini salah hitung. Mousavi menyangka keunggulannya di Teheran merupakan bagian dari kemenangannya di seluruh negeri. Padahal Iran yang baru memilih calon presiden ini adalah negeri yang terbelah: para pendukung Mousavi terpusat di kota besar seperti Teheran, sedangkan para pendukung Ahmadinejad tersebar di daerah-daerah pinggiran kota dan pedesaan. Mousavi populer di antara kelas menengah-atas yang berpendidikan, sedangkan Mahmud Ahmadinejad di kalangan kelas menengah-bawah plus kaum miskin.
Apa pun penjelasannya, yang terang, beberapa jam setelah pengumuman Mousavi, sebuah kejutan lain meletus—kali ini ditembakkan oleh kubu Ahmadinejad dan ini menerbitkan gelombang demonstrasi pendukung Mousavi. Menjelang tengah malam, 12 Juni, Ahmadinejad menyatakan kemenangannya yang gilang-gemilang: menyabet 63 persen dari semua suara yang masuk, meninggalkan Mousavi, yang hanya berhasil mengumpulkan 34 persen suara. Menurut keterangan resmi pemerintah, Mousavi hanya menang di Teheran dan dua provinsi Iran.
Setelah dua kejutan dari dua kandidat di atas, Iran yang telah membuktikan kematangannya dalam proses pemilu itu mulai terperangkap dalam lingkaran kekerasan. Mahasiswa yang memprotes kecurangan dalam penghitungan suara dan menuntut pemilihan ulang itu turun ke jalan dalam gelombang lebih besar dan lebih berani. Dan belum lagi seminggu setelah pemilu, polisi menyerbu masuk kampus Universitas Teheran. Delapan orang tewas dalam rangkaian kekerasan yang terjadi di kampus dan di jalan-jalan Ibu Kota.
Sebagian mahasiswa tetap bergerak di jalan-jalan: mendirikan barikade dengan ban-ban mobil yang dibakar, seraya melempari polisi antihuru-hara. Sebagian lainnya menghindari kekerasan; mereka melancarkan protes dari balkon dan atap rumah mereka, meneriakkan ”kematian untuk sang diktator” bersahut-sahutan, diselingi ”Allahu Akbar”. Tiga dasawarsa silam, tepatnya pada 1979, gerakan mahasiswa seperti ini berhasil menumbangkan sebuah monarki yang didukung Amerika Serikat dan memiliki kekuatan militer nomor dua, setelah Israel, di kawasan itu.
Waktu itu, seorang ulama Syiah bersorban hitam, dengan sorot mata yang tajam, mengirimkan pesan-pesan dari pengasingannya di Prancis kepada para mahasiswa untuk melawan rezim Shah Reza Pahlavi. Pesan-pesan khusus itu direkam di dalam kaset-kaset yang didistribusikan melalui jaringan mahasiswa dan masjid. Dan kini para mahasiswa tidak menggunakan kaset—produk teknologi pada zaman itu—untuk mengirimkan pesan kepada dunia di luar Iran. Pemerintah Iran mematikan sistem komunikasi untuk layanan pesan pendek dan menutup situs-situs proreformasi dan pro-Mousavi. Tapi pesan keluar terus mengalir melalui sarana komunikasi Internet lainnya, seperti Twitter.
Senin dua pekan lalu, hari kesepuluh setelah pemilu, Teheran kembali dilanda demonstrasi raksasa. Hari itu, para demonstran pendukung Mir-Hossein Mousavi menggelar aksi massa di bundaran Azadi. Hari-hari sebelumnya, para pendukung Mousavi menggelar demonstrasi tanpa koordinasi. Tapi, mulai Senin itu, para pendukung Mousavi, yang kebanyakan dari kalangan pemuda, menyelenggarakan demonstrasi secara rutin yang dikoordinasi dengan rapi.
Pada Selasa, para demonstran melakukan pawai damai dari bundaran Park Vei hingga bundaran Vanak, yang berjarak sepuluh kilometer. Dalam pawai damai, mereka melakukan aksi diam di depan kompleks Islamic Republic Iran Broadcasting, yang disebut ”Aksi Diam Hijau”. Namun aksi diam para demonstran tiba-tiba berubah menjadi suasana gaduh, penuh sorak-sorai, dengan kedatangan putri Hashemi Rafsanjani, Faizah. Rafsanjani adalah Presiden Iran sepanjang 1989-1997 dan masih menempati posisi cukup menentukan sekarang.
Tanpa mimbar, putri Rafsanjani diberi kesempatan berbicara di depan para demonstran. Faizah mengajak para pendukung Mousavi terus melakukan aksi demonstrasi di jalan-jalan untuk menentang kecurangan yang diduga terjadi dalam pemilu presiden kesepuluh yang memenangkan Mahmud Ahmadinejad.
Faizah adalah salah satu tokoh reformis yang memberikan dukungan penuh kepada Mir-Hossein Mousavi. Bahkan, di masa kampanye, putri Rafsanjani ini membagikan 200 ribu jas perempuan berwarna hijau kepada para pendukung Mousavi. Di Teheran, pembagian jas hijau itu dilakukan di beberapa titik keramaian kota, seperti Tajrish, Mirdamad, Vanak, Haft-e-Tir, dan Arya Shahr. Jas itu sengaja tidak dibagikan di Teheran selatan atau wilayah bawah. Sebab, wilayah itu dikenal sebagai basis Ahmadinejad.
Para mahasiswa Iran yang energetik, bisa berbahasa Inggris, piawai menggunakan alat digital mutakhir, dan terlihat nyaman dalam fashion populer itu memang cepat menjadi pusat perhatian media massa internasional. Mereka mewakili generasi baru yang tumbuh dengan aspirasinya sendiri. ”Mereka simbol gerakan proreformasi, cukup vokal menyampaikan pendapat, dan sadar teknologi, tapi harus diingat mereka bukan mayoritas,” kata Ken Katzman, spesialis Timur Tengah untuk urusan penelitian di Kongres Amerika Serikat.
Di luar Kota Teheran, Ahmadinejad, yang selama memerintah kerap mendistribusikan dana dan fasilitas umum untuk kaum miskin, masih menjadi tambatan hati banyak pemilih. Bahkan salah satu slogan kampanye yang populer di antara pendukungnya berbunyi ”Ahmadi adalah kasih sayang”. Kemungkinan besar Ahmadinejadlah pemenang pemilu kesepuluh Iran ini. Tapi popularitas dan kemenangan itu bukanlah pijakan untuk melakukan bermacam represi terhadap lawan-lawan politik. Dan para mahasiswa pendukung Mousavi itu tetap berhak memprotes kecurangan dalam penghitungan suara.
Idrus F. Shahab, Alireza Alatas (Teheran), Reuters, BBC, Time, The New York Times, Guardian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo