Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana cara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mendongkrak popularitasnya di mata rakyat Israel? Politikus ekstrem kanan Israel ini melenggang ke universitas dengan tradisi Yahudi yang kuat, Universitas Bar-Ilan, di Ramat Gan, wilayah sebelah timur Tel Aviv, Ahad malam dua pekan lalu. Ia mengusung berhalaman teks pidato saat popularitasnya yang rendah terjun bebas dari 28 persen menjadi hanya 16 persen.
Hasilnya, tepuk tangan membahana setiap kali ia membela keberadaan Israel di tanah Palestina. Setelah pidato itu, popularitasnya melesat tajam menjadi 44 persen lewat jajak pendapat koran kiri Haaretz.
Dalam pidatonya di hadapan sivitas akademika universitas terbesar kedua di Israel ini, Bibi, panggilan akrab Netanyahu, menawarkan perdamaian abadi dengan Palestina tanpa syarat sebagai dua negara. ”Saya katakan kepada rakyat Palestina: ’Kami ingin hidup dengan Anda dalam damai, tenang, dan hubungan bertetangga yang baik. Kami ingin anak-anak kami dan anak-anak Anda tahu tak ada lagi perang’,” ujar Bibi. ”Saya tak ingin perang. Tak seorang pun di Israel ingin perang.”
Toh, untuk mencapai semua keinginannya itu, Netanyahu menyodorkan sederet prasyarat, yang ia sebut sebagai prinsip pengakuan secara internasional perdamaian Israel-Palestina. Syarat pertama, Palestina harus mengakui Israel sebagai negara berpenduduk Yahudi. Kedua, seluruh wilayah Palestina tanpa militer. Ketiga, hak kembalinya pengungsi Palestina ke tanahnya di wilayah Israel saat ini dihapus. Keempat, Yerusalem sepenuhnya wilayah Israel.
Semua syarat itu saling terkait dan punya konsekuensi yang sama. Syarat pertama, pengakuan terhadap Israel sebagai negara hanya untuk penduduk Yahudi, mengakibatkan tak ada lagi hak bagi jutaan pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah miliknya yang kini diklaim sebagai wilayah Israel. Pengungsi Palestina itu terusir dari tanahnya pada masa awal pembentukan Negara Israel pada 1948. ”Kami butuh kesepakatan jelas untuk menyelesaikan masalah pengungsi Palestina di luar perbatasan Negara Israel,” ujar Netanyahu. Sebab, kata dia, tuntutan mengembalikan pengungsi Palestina di wilayah Israel kini berlawanan dengan eksistensi Negara Israel sebagai negara bagi penduduk Yahudi.
Netanyahu memukau pendengarnya di Universitas Bar-Ilan dengan menyebutkan hubungan bangsa Yahudi dengan tanah Israel telah berlangsung sejak 3.500 tahun lalu, ketika Yudea dan Samaria menjadi tempat nenek moyang mereka: Abraham, Isaac, dan Jacob. Tanah itu juga menjadi tempat tinggal nenek moyang mereka lainnya: David, Solomon, Isaiah, dan Jeremiah. ”Ini bukan tanah asing. Ini adalah tanah nenek moyang kami,” kata Netanyahu.
Prinsip bahwa Israel kini hanya untuk bangsa Yahudi ini juga membawa dampak Yerusalem sepenuhnya milik Israel, tak bisa dibagi dua sebagaimana tuntutan Palestina yang akan menjadikannya ibu kota. Israel secara sepihak menyatakan Yerusalem sebagai ibu kotanya.
Persyaratan yang paling menghebohkan adalah demiliterisasi Palestina. Menurut Netanyahu, tanpa prasyarat ini, ada ketakutan yang nyata terhadap Negara Palestina dengan peralatan militernya yang akan menjadi basis teroris melawan Israel, sebagaimana yang kini terjadi di Gaza dengan kemampuan militer Hamas. Netanyahu tak ingin rudal Palestina menghujani wilayah Israel. ”Kami ingin perdamaian,” katanya, yang dihujani keplok.
Bagi Netanyahu, demiliterisasi Palestina ini bukan hal yang baru di dunia. Ia menunjuk Jepang yang tak memiliki militer. Jepang dipaksa Sekutu tak memiliki jajaran militer, sebagai pernyataan menyerah, setelah dilantakkan bom atom Amerika Serikat pada Perang Dunia II. ”Kami tak bisa menyetujui Negara Palestina tanpa jaminan demiliterisasi,” katanya.
Jagat pun gegap-gempita. Dari Gedung Putih, Presiden Barack Obama terkesima. ”Presiden menyambut pidato Perdana Menteri Netanyahu sebagai langkah ke depan yang penting,” ujar pejabat pers Gedung Putih, Robert Gibbs. Menurut Gibbs, Presiden Obama berpegang pada prinsip dua negara: satu negara Yahudi Israel dan satu negara merdeka Palestina.
Reaksi yang senada muncul dari Uni Eropa. ”Ini merupakan satu langkah ke arah yang benar. Penerimaan satu negara Palestina ada di sana,” ujar Perdana Menteri Cek Jan Kohout, yang menjabat Presiden Uni Eropa.
Pidato Netanyahu yang digambarkan pengamat sebagai drama ini muncul tak lama setelah pemerintah Obama mendesak Israel membekukan sepenuhnya pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan mengakui solusi dua negara. Maklum, Netanyahu sebagai politikus radikal kanan selama ini menolak solusi dua negara, Israel dan Palestina.
Di dalam negeri, Netanyahu ditekan sekutu koalisinya, Menteri Pertahanan Ehud Barak dari Partai Buruh, dan Presiden Shimon Peres agar mengumumkan persetujuannya terhadap peta perdamaian dan keinginan mengakui satu negara Palestina dengan pembatasan keamanan. Netanyahu dikabarkan bertemu dengan Barak dan Peres membicarakan pidatonya itu.
Rakyat Israel pun takjub dengan pidato Bibi. Jajak pendapat koran Haaretz menunjukkan 90 persen pemilih Partai Likud, partai yang dipimpin Netanyahu, setuju dengan ucapan Netanyahu dalam pidato itu. ”Mungkin mereka sadar bahwa Negara Palestina tak akan pernah muncul sebagai hasil persyaratan Netanyahu itu, jadi mereka tak khawatir,” tulis Haaretz.
Pidato Netanyahu itu bahkan mengakibatkan 49 persen pemilih Partai Kadima, yang beroposisi, menyatakan pemimpin partai tengah ini, Tzipi Livni, seharusnya bergabung dalam koalisi kabinet Netanyahu. Hanya 37 persen pendukung Kadima yang tak setuju. Pemilih Partai Buruh pun mendukung Kadima bergabung dalam kabinet Bibi. Tapi sejauh ini Partai Kadima tetap beroposisi, meski mereka menghargai sikap praktis Netanyahu menyelesaikan isu Palestina.
Bagi kebanyakan rakyat Israel, hal yang benar dalam isu Palestina adalah kombinasi yang ditemukan dalam pidato Netanyahu: retorika sayap kanan bercampur dengan keinginan untuk perdamaian, Yerusalem yang tak terbelah, penentangan terhadap kembalinya pengungsi Palestina, perbatasan untuk pertahanan, dan demiliterisasi Palestina.
Satu survei yang diselenggarakan Lembaga Studi Keamanan Nasional Israel menyebutkan 64 persen populasi Israel mendukung gagasan dua negara untuk dua bangsa. Hanya 17 persen siap meluaskan permukiman dengan risiko berkonfrontasi dengan Amerika Serikat.
Tapi suara rakyat satu hal, suara partai lain hal. Anggota parlemen koalisi Netanyahu, Aryeh Eldad, dari Partai Nasionalis Agama, menuduh Netanyahu melanggar janjinya, dan mengatakan kelompok nasionalis tak akan lagi mendukung kebijakan Netanyahu. ”Hari ini Perdana Menteri kehilangan kepemimpinannya atas kubu nasionalis, tak cuma karena menabrak garis merah kami, tapi juga murtad dari keyakinan kami,” ujar Eldad.
Menurut Eldad, soal demiliterisasi itu omong kosong, karena tak ada satu pun negara di dunia yang bisa menghalangi negara lain mempersenjatai diri atau meneken kesepakatan militer dengan negara lain, sebagaimana yang dituntut Netanyahu. Anggota parlemen Partai Rumah Yahudi, Zevulun Orlev, menyatakan Netanyahu bermanis bibir dengan menyetujui demiliterisasi Negara Palestina. ”Ini mengecewakan sebagian besar partner koalisinya,” ujar Orlev.
Di Tepi Barat, reaksi terhadap pidato Netanyahu lebih panas. ”Pidato Netanyahu telah mensabotase semua inisiatif, melumpuhkan semua upaya yang dibuat, dan menantang posisi Palestina, Arab, dan Amerika,” ujar Nabil Abu Rudeinah, anggota staf Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas
Menurut Saeb Erekat, negosiator Palestina, Netanyahu telah mengakhiri negosiasi secara sepihak dan membuang kemungkinan pembicaraan damai dari atas meja. Bagi Erekat, tak ada kesempatan bagi rakyat Palestina menyetujui visi Netanyahu untuk negara mereka. ”Dia (Netanyahu) harus menanti 1.000 tahun sebelum menemukan satu orang warga Palestina yang akan bersamanya dengan negara yang lemah ini,” katanya.
Di Jalur Gaza, suara lebih keras lagi. ”Yang harus segera dilakukan adalah memutuskan semua hubungan dengan Israel,” ujar pemimpin senior Hamas, Ismail Radwan.
Raihul Fadjri (AFP, AP, Haaretz)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo