Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tidak Cukup Label Internasional

Sejumlah rumah sakit di Indonesia mencantumkan label internasional. Belum ada peraturan tentang pencantuman embel-embel itu.

22 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG ibu membawa anaknya yang suhu tubuhnya tinggi ke unit gawat darurat sebuah rumah sakit dengan label internasional. Tak banyak pasien malam itu. Namun si ibu baru dilayani satu jam kemudian. Kekesalan makin memuncak saat pengambilan obat di bagian farmasi, dia harus menunggu dua jam. Alasannya, komputer yang memproses data mati. Halah! ”Aneh, masalah komputer mati, kami dipaksa menunggu begitu lama. Namanya saja wah, internasional, tapi faktanya nol besar,” ujar ibu itu.

Memakai nama ”international” di belakang nama rumah sakit memang membuat konsumen tersihir. Namun semuanya berbalik arah tatkala kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni International Alam Sutera, Tangerang, Banten, pecah. Publik makin skeptis dengan label internasional.

Menurut Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Omni merupakan rumah sakit swasta dalam negeri yang tidak ada kepemilikan asingnya. ”Omni itu sebenarnya bukan rumah sakit internasional, hanya namanya,” kata Siti kepada Koran Tempo.

Memang, menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Mulya Hasmi, perbedaan antara rumah sakit internasional dan rumah sakit non-internasional terletak pada ada-tidaknya modal asing. Maksudnya, modal asing tidak serta-merta identik dengan peningkatan standar pelayanan.

Dengan acuan modal asing, salah satu contoh rumah sakit ”internasional” adalah masuknya saham Ramsay Health Care Australia ke Indonesia 10 tahun silam. Tiga rumah sakit jaringan Ramsay adalah Rumah Sakit Mitra Internasional Jakarta Timur; Rumah Sakit Internasional Bintaro, Tangerang; dan Rumah Sakit Surabaya Internasional, Jawa Timur.

Soal standar operasional atau SOP—ini yang lebih berkaitan dengan kualitas pelayanan—menurut Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, dokter Marius Widjajarta, tak bisa ditentukan sendiri oleh masing-masing dokter atau rumah sakit. ”Harus ada lembaga yang kredibel yang mengaturnya,” katanya.

Yang terjadi sekarang, menurut Marius, sebuah rumah sakit bisa memakai label ”internasional” di belakang namanya, namun kualitas pelayanannya masih di bawah standar pelayanan minimal (SPM). ”Pakai nama internasional ditambah dengan bangunan mewah, pasti orang yang tidak tahu akan percaya begitu saja akan kualitas mereka,” ujarnya.

Untuk mengukur mutu rumah sakit, menurut Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Natsir Nugroho, bisa dilihat dari cara rumah sakit memberikan pelayanan terbaik kepada semua pasien. Misalnya dengan membuat sistem yang menjauhkan pasien dari kemungkinan kekurangan atau kecelakaan, menghormati hak otonomi pasien, dan memberikan pelayanan lanjutan. Nah, rumah sakit akan mematok mutu pelayanan terbaik berdasarkan ketersediaan sumber daya. ”Sehingga berlakulah tingkatan mutu rumah sakit, mirip hotel, ada bintang empat, bintang tiga, dan sebagainya, sesuai dengan ketersediaan sumber daya yang dimiliki rumah sakit tersebut,” ujar dokter spesialis kandungan yang berpraktek di beberapa rumah sakit Islam di Jakarta itu.

Sistem mutu yang umum dipakai adalah akreditasi. Di Indonesia, sistem itu dijalankan oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Dari 1.278 rumah sakit di bawah perhimpunan, menurut Natsir, baru separuhnya yang bersedia ikut akreditasi itu. ”Jadi, jika rumah sakit ingin memberikan mutu terbaik, minimal sudah terakreditasi. Tapi sayangnya pemerintah tidak bisa mewajibkannya,” ujarnya.

Karena pemerintah sebagai regulator tidak bisa memaksakan, organisasi profesi juga tidak bisa menekan rumah sakit agar memiliki akreditasi mutu. Ini yang membuat banyak pihak sulit mengetahui pasti kualitas pelayanan sebuah rumah sakit.

Standar akreditasi yang kita punya itu sebenarnya adalah standar minimal yang diterapkan pemerintah. Fokusnya lebih pada peralatan dan administrasi. ”Namun itu pun tidak semua rumah sakit mau melakukannya,” tutur Natsir.

Jika rumah sakit ingin mencari sistem mutu yang lebih bagus, digunakan International Organization of Standardization, (ISO) 9001:2000. Di Indonesia rumah sakit yang memberlakukan mutu ISO, menurut Natsir, baru seperlima dari semua rumah sakit.

Sistem ISO mengharuskan semua pelaku di rumah sakit membuat standar yang disepakati. Ada penghargaan dan hukumannya, yang ditentukan melalui proses audit. ”Sistem akreditasi tidak bisa memaksa, tapi ISO bisa memaksa dokter untuk bersepakat dengan mutu yang sudah disepakati oleh peer group dan manajemen rumah sakit. Sehingga arogansi dokter bisa diminimalkan,” kata Natsir.

Dengan ISO, semua sistem, misalnya alat medis seperti timbangan, mesti dikalibrasi tiga bulan sekali. Kalibrasi dilakukan oleh badan pelaksanaan kalibrasi dari luar rumah sakit. ISO mengaudit sebuah rumah sakit setiap enam bulan sekali. ”Tapi ISO itu belum menjadi syarat international,” katanya.

Nah, jika rumah sakit ingin mencapai level internasional, menurut Natsir, standar mutunya lebih tinggi dari ISO, yaitu standar mutu Join Commission International Accreditations (JCI). ”Itu standar mutu tertinggi di dunia yang diberikan oleh badan independen tingkat dunia,” ujarnya. Di Indonesia baru rumah sakit Siloam Lippo Karawaci yang memperoleh akreditasi JCI pada November 2007. Kenapa baru satu? Karena, menurut Natsir, biayanya sangat mahal.

Bagi Marius, label internasional pada nama rumah sakit itu seharusnya menjadikan pelayanannya bersahabat, memiliki kemampuan komunikasi yang bagus, transparan, efisien, seperti di Singapura. ”Pasien datang disambut seperti raja, meskipun nantinya duit kita diambil banyak,” ujarnya.

Rumah sakit di Singapura, menurut Marius, menjelaskan segala pertanyaan pasien atau keluarga pasien dengan baik, mulai dari soal operasi, perawatan, pasca-operasi, sampai biaya. Untuk bertemu dokter juga gampang. ”Kalau masalah kepintaran, dokter di Indonesia lebih pintar. Tapi pelayanan dan keramahan rumah sakit di luar negeri luar biasa, friendly, komunikasinya baik, bertanggung jawab,” kata Marius, yang sempat dua bulan kursus masalah lingkungan dan rokok di Rumah Sakit Tan Tock Seng, Singapura.

Apakah di Indonesia sudah ada rumah sakit yang layak disebut bersahabat? Marius tidak yakin. ”Tulisan, moto, atau iklannya saja yang menyebut friendly, tapi prakteknya tidak. Sehingga kasus seperti Prita meledak,” ujar Marius, yang juga yakin bahwa masih banyak kasus seperti Prita yang tersimpan, karena pasien takut atau malu.

Ahmad Taufik, Agung Sedayu

Jaminan Aturan

Tanpa tambahan label ”internasional” atau saham asing, bila pagar peraturan tentang kesehatan diikuti, kerugian pada pasien dapat dihindari.
(i) Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28-h ayat 1: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Pasal 34 ayat 3: Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(ii) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992
(iii) Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999: Pasien berhak tahu dan mendapat informasi yang jelas tentang kesehatannya saat ditangani seorang dokter.
(iv) Undang-Undang tentang Praktek Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004:

Pasal 3 Pengaturan praktek kedokteran bertujuan untuk:
memberikan perlindungan kepada pasien; mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan dokter gigi.

Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Nomor 40 Tahun 2004
(v) Keputusan Menteri Kesehatan tanggal 12 Maret 2008: Rekam medis itu milik pasien yang disimpan di rumah sakit. Sewaktu-waktu pasien ingin melihat resume rekam medis aslinya diperbolehkan, dan rekam medis tidak boleh tambah dan kurang.
(vi) Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit:

Memberikan pedoman pelaksanaan audit medis.
Audit medis terkait dengan upaya peningkatan mutu dan standardisasi, agar tercapai pelayanan medis prima di rumah sakit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus