Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayang-bayang Thaksin, eks penguasa-pengusaha Thailand yang kini tinggal di pengasingan, terus menghantui Bangkok. Rabu pekan lalu, pemerintah Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva memproklamasikan keadaan darurat. Pemerintah khawatir, massa loyalis Thaksin yang pernah bikin malu dengan keberhasilannya menggagalkan pertemuan para kepala negara Asean tiga pekan lalu di Pattaya itu akan kembali membuat rusuh.
Pengadilan tinggi di kota itu memutuskan untuk mencabut paspor diplomatik Thaksin. Diharapkan tindakan ini akan membatasi gerak Thaksin yang selalu mengganggu pemerintah Abhisit. Awal bulan ini ribuan anggota kelompok ”baju merah” pendukung Thaksin bentrok dengan polisi, meninggalkan dua orang tewas, 123 luka-luka.
Thaksin, 59 tahun, kini diyakini tengah mengobarkan perlawanan pendukungnya dari tempat pelariannya di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Sebelumnya, pengadilan menjatuhkan hukuman dua tahun untuk Thaksin atas tuduhan praktek nepotisme dalam kasus pembelian tanah negara di kawasan Ratchadaphisek, Bangkok, oleh istrinya saat ia memerintah. Tapi Thaksin tidak bisa disentuh. Dengan paspor diplomatik di kantong, ia bebas melenggang kabur ke luar negeri untuk menghindari hukuman, Agustus tahun lalu.
”Pemerintah dapat membatalkan paspor jika terbukti pemegangnya menyebabkan kekacauan di negeri ini,” ujar Panitan Wattanayagorn, juru bicara pemerintah.
Alih-alih tak bebas bergerak, bekas konglomerat telekomunikasi ini malah muncul di media internasional lewat foto dengan senyum lebar bersalaman dengan Presiden Nikaragua Daniel Ortega pada Kamis pekan lalu. Foto itu disertai pernyataan, pemerintah Nikaragua memberi Thaksin paspor diplomatik sebagai duta besar dengan tugas khusus. ”Presiden Ortega meminta Departemen Luar Negeri mengangkatnya (Thaksin) sebagai duta besar Nikaragua untuk tugas khusus demi memudahkan upayanya (Ortega) membawa investasi ke negeri ini,” begitu pernyataan pemerintah Nikaragua.
Pemerintah Nikaragua menganggap Thaksin sebagai korban kudeta militer pada 2006. ”Thaksin Shinawatra terpilih secara demokratis oleh mayoritas rakyat Thailand, dan kemudian dia dipaksa meninggalkan tugasnya dengan kudeta pada 2006,” ujar Rosario Murillo, ibu negara Nikaragua sekaligus juru bicara pemerintah.
Nikaragua menerbitkan paspor Thaksin pada Januari lalu, dan menyerahkannya ke Thaksin ketika bekas perwira polisi ini mengunjungi Daniel Ortega sebulan berikutnya. Rakyat Thailand kini bertanya-tanya, kenapa negara nun jauh di Amerika Selatan yang berhaluan sosialis itu menyelamatkan Thaksin, bekas konglomerat.
Hubungan Thaksin dengan Ortega terjalin sejak ia masih menjabat Perdana Menteri Thailand. Kala itu Ortega tertarik dengan investasi dalam bidang telekomunikasi dan energi. Meski Thaksin saat itu secara resmi tak lagi terlibat dalam perusahaan telekomunikasi keluarganya, Shin Corp, dialah yang membesarkan perusahaan itu sehingga menjadi konglomerat telekomunikasi di Thailand.
Dan Ortega, tokoh Revolusi Sandinista 1979 yang pernah menasionalisasi perusahaan asing dan perusahaan swasta nasional itu, mulai bersahabat dengan kapitalisme. ”Saya akan mendukung investasi asing untuk memerangi kemiskinan,” ujarnya dalam kampanye pemilu pada 2006.
Pencabutan paspor diplomatik di atas memang merupakan pukulan buat Thaksin. Sebab, dengan paspor itu, surat penangkapan yang dikeluarkan kepolisian Thailand tidak berarti apa-apa. Thaksin tetap leluasa menetap di Abu Dhabi, pada saat lain ia terbang ke Hong Kong sembari menggelar konferensi video untuk mengobarkan kemarahan kelompok ”baju merah” di jalanan kota Bangkok. ”Pemerintah bisa melakukan apa saja, tapi itu tak akan menghentikan kami,” ujar orang dekat Thaksin.
Bahkan, ”Ia berjanji akan pulang ketika militer memberangus aksi pendukungnya,” ujar Suchart Lainamngern, anggota parlemen pendukung Thaksin.
Sikap Thaksin dan pendukungnya yang terus mengganggu pemerintah Thailand, dan sebaliknya sikap keras Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva yang menolak berdamai dengan Thaksin, membuat Thailand terus membara. ”Kami ada di titik kritis sekarang,” ujar Thitinan Pongsidhirak, analis politik dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok.
Raihul Fadjri (The Nation, AP, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo