Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Mashal, penjaga sebuah toko di Bagdad, ada yang lebih menakutkan ketimbang polisi atau tentara. Di matanya, mereka lebih berkuasa dibanding tentara Irak.
”Empat laki-laki mendatangi toko dan menodongkan senapan ke arah saya,” kata Mashal, menceritakan kejadian akhir April lalu. Tanpa banyak tanya, mereka menutup mata Mashal, menyeretnya ke mobil, dan membawanya ke suatu tempat. Mashal hanya tahu tempat itu dekat dengan masjid karena dia bisa mendengar azan sangat jelas.
Di tempat itu, Mashal disiksa hingga pingsan. Sehari kemudian mereka datang lagi. ”Kami tahu kamu seorang gay,” kata Mashal mengutip pernyataan mereka. Kemudian mereka membacakan daftar nama orang yang dicurigai homoseksual. ”Saya tahu empat nama masih hidup dan seorang lagi sudah mereka bunuh,” kata Mashal.
Tiga jam berikutnya menjadi ”neraka” bagi Mashal. Mereka kembali menyiksa dan memaksanya menyebutkan nama teman-teman gay-nya. Dia dilepaskan setelah keluarganya menjual sebagian besar harta dan menyetorkan uang tebusan.
Beberapa saat setelah pasukan Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat menginvasi Irak pada 2003 dan Saddam Hussein tumbang, kontrol pemimpin agama lokal lebih longgar. Sekalipun tetap dianggap tabu, kelompok homoseksual menikmati kebebasan sesaat. Mereka bisa nongkrong di kafe atau menghadiri pesta kaum homoseksual. Lewat Internet, mereka bisa berhubungan tanpa takut dan membentuk komunitas.
”Madu” kebebasan itu tak lama mereka reguk. Qaisar, nama samaran dan salah satu korban, mengatakan kelompok militan memburu pria-pria homoseksual sejak 2004. ”Puncaknya Februari hingga Maret lalu,” katanya. Surour, juga bukan nama sebenarnya, menyatakan belasan temannya menjadi korban pembunuhan. Bagi mereka, rasa aman sudah lama hilang. Memelihara rambut kelewat panjang atau mengenakan baju dan jins terlalu ketat bisa menjadi alasan seseorang dikenai tuduhan sebagai gay. ”Ke mana pun kami pergi, selalu ada pemeriksaan. Dan saat mereka melihat kami, mereka tahu siapa kami,” katanya setengah putus asa.
Memang belum jelas benar berapa jumlah korban pembunuhan dan penganiayaan terhadap gay ini. Ali Hali, Ketua Iraqi Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender di London, mengatakan kaum homoseksual yang dibunuh di Irak sejak 2004 sekitar 680 orang. Dalam lima bulan terakhir saja 70 orang homoseksual mati dibunuh. Tujuh di antaranya perempuan.
Sebenarnya tak cuma di Irak kaum homoseksual diburu. Di Arab Saudi, polisi dari Komisi Promosi Nilai-nilai rajin berpatroli mencari orang-orang yang mempunyai perilaku seksual menyimpang, seperti homoseksual. Samir, nama samaran, terpaksa pergi ke Thailand atau Libanon supaya bisa berasyik-masyuk dengan pacarnya. Tapi Irak, kata Hali, ”Merupakan tempat hidup paling buruk bagi kaum homoseksual.”
Menurut kesaksian sejumlah korban kepada Human Rights Watch, lembaga perlindungan hak asasi manusia internasional, pelaku utama di balik perburuan gay di Irak adalah Tentara Mahdi, sayap militer kelompok yang dipimpin Moqtada al-Sadr.
”Kami sangat senang ’anak-anak anjing’ itu terbunuh,” ujar Ali Abu Kara, 23 tahun, salah satu anggota Tentara Mahdi. Abu Hamizi, anggota Tentara Mahdi lainnya, mengatakan kaum homoseksual itu telah mencemari reputasi Islam yang telah dengan susah payah dibangun selama berabad-abad.
Scott Long, Direktur Human Rights Watch untuk Perlindungan Homoseksual, menilai pemerintah Irak tak berbuat apa pun untuk mencegah dan menindak pelaku pembunuhan-pembunuhan tersebut. Salah seorang pejabat kepolisian mengatakan mereka mengalami kesulitan menangkap pelaku karena tak pernah ada yang melaporkan pembunuhan tersebut. ”Untuk melindungi mereka, kami kan perlu nama dan lokasi,” katanya berkilah. Bahkan, menurut Mashal, korban penganiayaan di Bagdad, saat dia diculik, patroli polisi ada di muka tokonya, seolah tak melihat kejadian itu.
Hingga saat ini, belum satu pun pelaku pembunuhan ditangkap dan masuk pengadilan. Lebih buruk lagi, menurut Human Rights Watch, sebagian pelaku pembunuhan merupakan keluarga sendiri. Para gay itu dibunuh karena dianggap mencemarkan reputasi keluarga. Lengkap sudah penderitaan.
Sapto Pradityo (BBC, Guardian, Washington Post, Observer)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo