Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ROBERT Gibbs bergegas membangunkan Presiden Barack Obama tepat pukul enam pagi. Pejabat urusan media Gedung Putih itu kali ini tak membawa berita soal perang Afganistan atau Irak. Ia menyampaikan kabar mengejutkan: Obama terpilih sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian 2009.
Juri Komite Nobel Norwegia sengaja tak memberi tahu Presiden Amerika Serikat berusia 48 tahun itu tentang penghargaan tersebut sebelumnya. Obama baru tahu satu jam setelah pengumuman di Oslo, Norwegia, Jumat pekan lalu. Reaksi pertama sang Presiden: ”Saya tersanjung,” seperti dikutip pejabat senior Gedung Putih.
Beberapa media di Amerika Serikat menyebutkan Gedung Putih benar-benar terkejut dengan penghargaan tersebut. Mereka sama sekali tak mengira penghargaan bergengsi itu jatuh ke tangan Obama. ”Tak ada pembicaraan apa-apa sebelumnya. Tak ada sama sekali,” ucap Rahm Emanuel, kepala staf kepresidenan, kepada New York Times.
Majalah Time malah mempertanyakan perlunya pemberian hadiah Nobel Perdamaian bagi Obama. Biasanya penerima penghargaan menjadikan momen tersebut sebagai corong untuk menyuarakan ide-ide perdamaiannya. Sedangkan Obama memiliki Gedung Putih. ”Sebagai Presiden Amerika, dia tak perlu media lain. Orang pasti akan mendengar apa yang dia sampaikan,” tulis Time.
Obama diganjar hadiah Nobel Perdamaian karena dianggap telah melakukan usaha luar biasa dalam mendorong pelucutan senjata nuklir, menjalankan pendekatan perdamaian terhadap dunia Islam, dan mengedepankan jalur diplomasi. ”Sedikit orang sekualitas Obama yang mampu memberikan harapan untuk masa depan yang lebih cerah,” ujar Thorbjoern Jagland, Ketua Komite Nobel.
Panitia Nobel Perdamaian tahun ini menerima 205 nama. Selain Obama, yang diunggulkan adalah Perdana Menteri Zimbabwe Morgan Tsvangirai, seorang senator Kolombia, pembangkang asal Cina, dan aktivis hak asasi manusia asal Afganistan.
Obama menjadi Presiden Amerika ketiga, setelah Theodore Roosevelt pada 1906 dan Woodrow Wilson pada 1919, yang menerima hadiah Nobel Perdamaian saat berkuasa. Sebelumnya, mantan presiden Jimmy Carter menerima penghargaan serupa pada 2002 dan mantan wakil presiden Al Gore pada 2007.
Terpilihnya Obama sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian mengundang berbagai reaksi. Presiden kulit hitam Amerika pertama yang baru delapan bulan berada di Gedung Putih ini dianggap belum menorehkan kebijakan luar negeri yang tergolong sukses. Amerika masih terlibat perang di Afganistan dan Irak. Pengurangan senjata nuklir pun masih belum begitu signifikan.
”Saya bilang terlalu dini. Kontribusinya terhadap perdamaian dunia sejauh ini belum ada. Dia masih berada di tahap awal. Dia baru akan mulai melakukan perubahan itu,” ucap mantan Presiden Polandia Lech Walesa, penerima hadiah Nobel Perdamaian pada 1983. Walesa menilai penghargaan ini lebih sebagai penyemangat bagi Obama.
Pendapat lain dikemukakan peraih hadiah Nobel Perdamaian 1984, Archbishop Desmond Tutu dari Afrika Selatan, serta dari Yayasan Nelson Mandela atas nama Nelson Mandela, peraih Nobel Perdamaian pada 1993. Menurut Tutu dan Yayasan Mandela, penghargaan ini diberikan sebagai tanda dunia menaruh harapan besar pada Obama.
Di Timur Tengah, ketua tim perunding perdamaian Palestina, Saeb Erekat, berharap Obama dapat menciptakan perdamaian di Timur Tengah. ”Kami ingin ia meminta Israel menarik diri dari perbatasan yang disepakati pada 1967 dan menjadikan Palestina negara merdeka,” ucapnya.
Sebaliknya, pejabat Hamas di Jalur Gaza, Sami Abu Zuhr, berpendapat, ”Masih panjang perjalanan yang harus dilalui Obama dan masih banyak pekerjaan sebelum dia berhak atas penghargaan itu.”
Sebagai penerima penghargaan Nobel Perdamaian, Obama berhak atas hadiah uang 10 juta krona Swedia atau setara dengan Rp 13,5 miliar. Rencananya penghargaan ini akan diberikan di Oslo, Norwegia, pada 10 Desember mendatang.
Firman Atmakusuma (BBC, CNN, Reuters, New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo