Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=#FF9900>NEPAL</font><br />Sidang Kabinet di Puncak Dunia

Pemerintah Nepal menghelat pertemuan di kawasan puncak gunung tertinggi dunia. Kabinet Maladewa menggelar rapat di laut. Seruan penyelamatan bumi dari pemanasan global.

14 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESAU angin yang menggigilkan tulang tak mampu menahan pertemuan bersejarah itu. Awal Desember lalu, Perdana Menteri Nepal Madhav Kumar dan 23 menteri anggota kabinet mencetak rekor dunia: rapat kabinet pertama di kawasan puncak tertinggi dunia. Dataran tinggi Kalapattar, dekat puncak Everest, lokasi perhelatan, berada 5.300 meter di atas permukaan laut.

Para menteri yang mengenakan masker oksigen kuning dan syal ungu itu mengucap janji untuk menyelamatkan Himalaya. Dalam perhelatan yang terhitung murah, senilai US$ 8.000 atau setara dengan Rp 75 juta, tersebut mereka menandatangani undang-undang lingkungan serta memperluas daerah dilindungi di kawasan Gaurishankar Conservation Area, Nepal.

Dibutuhkan persiapan militer khusus untuk menggelar rapat itu. Para petinggi telah bermalam di Kota Lukla, sekitar 2.800 meter di atas permukaan laut, agar dapat menyesuaikan diri dengan cuaca dingin. Pagi harinya, mereka menuju Syangboche dengan ketinggian 3.900 meter, kemudian bertolak menggunakan helikopter menuju Kalapattar. Sebelum naik heli, rombongan diperiksa tim medis beranggotakan enam dokter.

Bikram Neupane, Presiden Asosiasi Penyelamatan Himalaya, menegaskan para politikus yang saat itu menggunakan jaket tebal dan peralatan tahan angin serta topi wol ini memiliki kadar oksigen cukup dalam darah mereka. Maklum, beberapa menteri tak dalam kondisi fit. Kumar, 59 tahun, baru saja sembuh dari influenza. Ada pula menteri yang kelebihan berat badan. Bahkan beberapa berusia di atas 70 tahun. Mereka pun tak lama berada di sana. Cukup 20 menit, agar para menteri yang tak biasa di ketinggian selamat dari penyakit dataran tinggi.

Segala kesulitan itu ditempuh demi satu tekad: menyelamatkan Nepal dari pemanasan global. ”Deklarasi Everest merupakan pesan bagi dunia untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim pada puncak Everest dan Pegunungan Himalaya lainnya,” ucap Kumar. Acara yang digelar sepekan sebelum perhelatan akbar Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, ini juga diharapkan dapat menarik perhatian dunia internasional. ”Terutama dampak pemanasan global terhadap negara miskin seperti Nepal,” kata Menteri Lingkungan Thakur Sharma.

Para pakar lingkungan dunia telah mengingatkan, gletser Himalaya mencair cepat. Desa-desa di kaki pegunungan terancam banjir bandang setiap saat. Kondisi ini juga mengancam persediaan air dan makanan bagi 1,5 juta penduduk di kawasan Asia Selatan.

Perhelatan ini sesungguhnya tak orisinal. Sharma mengakui rapat unik itu diadopsi dari pertemuan kabinet Maladewa, Oktober lalu. Negeri kepulauan yang terletak di Lautan Hindia itu lebih dulu menggelar rapat kabinet tak biasa. Bertempat lima meter di bawah laut, Presiden Maladewa Muhammad Nasheed dan sebelas menteri meneken deklarasi pengurangan emisi karbon sembari mengenakan pakaian menyelam.

”Kami menyampaikan pesan kepada dunia bila pemanasan global tak dihentikan,” ucap Nasheed. Jika pertemuan Kopenhagen gagal, konsekuensinya mengerikan. ”Kami akan tewas,” ucap alumnus hukum kelautan John Moores University, Liverpool, Inggris, ini. Para menteri menandatangani pakaian selam mereka untuk kemudian dilelang. Hasil lelang digunakan untuk menyelamatkan terumbu karang Maladewa.

Maladewa merupakan negara kepulauan yang terdiri atas 1.200 pulau karang. Sebagian besar pulaunya hanya 1,5 meter dari permukaan laut. Bila perhitungan para ahli benar, perubahan iklim akan memicu kenaikan permukaan air laut. Permukaan laut akan naik setinggi 18 sentimeter hingga akhir abad ke-21. Dan Maladewa hanya memiliki sedikit waktu sebelum tenggelam.

Setelah terpilih, Nasheed sempat menggulirkan ide merelokasi 396 ribu penduduk Maladewa ke lokasi lain. ”Kami tak akan tinggal di tenda pengungsian bila hal terburuk terjadi pada kami,” ujar pria 42 tahun itu. Ia sempat berburu lokasi ke India dan Sri Lanka, yang memiliki kesamaan budaya dan makanan. Sayang, sebagian besar penduduk menolak meninggalkan tanah yang telah dihuni lebih dari dua ribu tahun itu.

Sita Planasari (AP, CNN, BBC, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus