Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berlimpah pada 2010

Harga gula di pasar dunia melambung akibat India dan Brasil terseok. Tahun depan, produksi nasional bakal berlimpah.

14 Desember 2009 | 00.00 WIB

Berlimpah pada 2010
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

BASROWI duduk santai menunggu toko grosirnya, Kamis sore pekan lalu. Ia baru saja merapikan belasan karung gula yang dikerjakan pria 34 tahun ini bersama karyawannya. Pedagang dan pengepul gula di Desa Boyolali, Kecamatan Purwoasri, Kediri, Jawa Timur ini memang baru saja kulakan 14 ton gula. Ia membeli Rp 8.600 per kilogram dari tangan petani sesuai dengan delivery order dan menjualnya Rp 8.675 ke pedagang grosir. ”Cuma untung Rp 75 sekilo,” katanya.

Padahal harga gula kini sedang tinggi-tingginya. Sampai di tangan konsumen, harga si manis bisa di atas Rp 10 ribu per kilogram. Di pasar dunia, harga gula yang biasanya hanya US$ 12-13 sen per pound naik dua kali lipat. Mencapai puncak di level US$ 25,39 sen per pound pada 30 September 2009, tertinggi sepanjang 28 tahun terakhir. Setelah itu, tak banyak bergeser, ajek di atas US$ 22 sen. Konon, penundaan impor oleh beberapa negara Asia sukses menggagalkan rally harga global. Di bursa berjangka New York, kantor berita Bloomberg melaporkan, gula mentah untuk pengiriman Maret 2010 mencapai US$ 22,7 sen per pound.

Menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, tingginya harga komoditas ini dipicu kegagalan panen tebu di negara-negara sentra gula. India dilanda kekeringan, sebaliknya Brasil diguyur hujan lebat. Akibatnya, India kehilangan sekitar 3 juta ton produksi gula dari target 16-17 juta ton tahun ini. Karena itu, kondisinya berbalik. Kekeringan berkepanjangan membuat India, yang dikenal sebagai eksportir, menjadi importir. Negara ini membutuhkan 6-7 juta ton untuk stok nasional.

Pasokan dari Brasil juga cekak. Sejak krisis minyak, yang melambungkan harga minyak mentah dunia pada 2007-2008, negara ini mengalihkan penggunaan tebu ke etanol. Akibatnya, suplai untuk pabrik gula berkurang, plus diguyur hujan lebat. Produsen lain, Pakistan dan Vietnam, juga mengalami tekanan produksi. Kondisi inilah, kata Bayu, yang membuat harga gula terkerek, menyeret harga domestik. ”Ini fenomena tidak lumrah,” katanya. Biasanya, ujar Bayu, harga gula dalam negeri lebih mahal karena efisiensi pabrik dan kebun yang relatif rendah. Kini kebalikannya, ”Harga dunia kian mengatrol harga domestik.”

Ndilalah, permintaan gula konsumsi dalam negeri naik. Ini lantaran industri kecil di bidang makanan dan minuman banyak menyerap gula konsumsi yang mestinya ”hanya” untuk rumah tangga. Diperkirakan, 300 ribu ton gula rumah tangga tersedot ke industri kecil. Kelompok industri seharusnya menggunakan gula rafinasi. Tapi kebijakan pemerintah memangkas 500 ribu ton impor gula jenis ini tahun lalu dampaknya dirasakan sekarang.

Celakanya, industri gula dalam negeri pun sedang melempem. Musim giling, yang biasanya berlangsung hingga Desember, mandek per akhir November lalu. Akibatnya, target produksi 2,9 juta ton tahun ini meleset. Departemen Perdagangan pekan lalu merilis data, produksi gula kristal putih—gula konsumsi—diperkirakan cuma 2,6 juta ton. Penurunan kinerja pabrik gula pelat merah antara lain disebabkan proses revitalisasi untuk meningkatkan kapasitas dan efisiensi giling belum berjalan seperti yang diharapkan.

Bayu membenarkan proses revitalisasi pabrik gula tidak secepat yang diinginkan pemerintah. Ia merujuk pada Sugar Group, pabrik gula kelas internasional, sebagai pembanding pabrikan pelat merah. Pemerintah menilai pabrik gula milik Gunawan Jusuf ini memiliki produktivitas tinggi, rendemen lebih tinggi, dan biaya produksi tidak besar. Ada perbedaan biaya pokok produksi Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per kilogram. ”Ini cermin dari efisiensi.”

Pemerintah juga melirik Industri Gula Nusantara, pabrik gula Cepiring di Kendal, sebagai contoh model. Di sini pemilik masih memanfaatkan pabrik gula lama, dikombinasi beberapa mesin baru. Mereka, kata Bayu, menambah 1-2 proses sehingga bisa mengolah tebu, gula mentah, atau gula berkualitas rendah menjadi lebih bagus. Tebunya pun memiliki rendemen tinggi.

Toh, ujung-ujungnya, pemerintah memberikan permakluman. ”Beberapa pabrik kita sudah tidak bisa diapa-apakan, memang harus diganti. Umurnya sudah 120-150 tahun.”

Gonjang-ganjing harga gula dalam negeri juga disebabkan tidak terealisasinya secara penuh impor gula mentah 183 ribu ton. Izin pengadaan tersebut diberikan kepada produsen gula kristal putih. Alasannya, semua pabrik gula—milik pemerintah ataupun swasta—sudah mendekati tutup giling. Padahal impor ini diharapkan bisa mengisi idle capacity.

Akibatnya, stok gula nasional tak memenuhi target 1 juta ton. Departemen Perdagangan mencatat cadangan cuma 500 ribu ton. Stok ini untuk memenuhi kebutuhan selama pabrik tidak berproduksi. Pabrik gula nasional rata-rata memulai musim giling pada Mei.

Kondisi ini tak mungkin dibiarkan karena bisa mengerek harga makin tinggi. Untuk menambal stok, akan diimpor 500 ribu ton gula putih kristal mulai 1 Januari hingga 15 April 2010. Ini adalah keputusan rapat koordinasi terbatas para menteri bidang perekonomian, 24 November lalu. Pemerintah menunjuk enam lembaga untuk mengadakan gula.

PTPN IX mendapat jatah 81 ribu ton, PTPN X 94,5 ribu ton, PTPN XI 103,5 ribu ton, PT Rajawali Nusantara Indonesia 85,5 ribu ton, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia 85,5 ribu ton, dan Perum Bulog kebagian 50 ribu ton. Gula impor tersebut akan didistribusikan langsung ke semua provinsi sesuai dengan kebutuhan (50 persen ke luar Jawa). ”Mau bagaimana?” kata Bayu. Pilihannya, ”Harga tinggi barangnya ada atau harga tinggi tapi barang kosong.”

l l l

PERKEBUNAN tebu nasional menyusut. Sekretaris Perusahaan PT Perkebunan Nusantara XI Adig Suwandi mencatat, setidaknya 20 ribu hektare lahan tebu beralih fungsi selama 2008-2009. Di area PTPN XI saja terjadi pengurangan sekitar 6.000 hektare, menjadi 76 ribu hektare. Bila tiap hektare lahan menghasilkan 6 ton tebu, berarti pasokan tebu nasional susut 120 ribu ton.

Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Arum Sabil malah memperkirakan lahan tak sampai 400 ribu hektare. Padahal semula tercatat 450 ribu. Angka itu sudah memperhitungkan area yang tidak tercatat alias tidak mendaftar sebagai mitra pabrik gula setempat, atawa tebu mandiri yang dibiayai sendiri.

Gara-garanya, harga gula saat itu tidak oke. Harga lelang di kantor pemasaran bersama PTPN beberapa kali cuma sekitar Rp 4.900 per kilogram. Padahal harga dasar atawa harga referensi yang ditetapkan pemerintah Rp 5.350 per kilogram. Akibatnya, petani berbondong-bondong meninggalkan tebu.

Sialnya, kualitas tebu pun menurun. Menurut Adig, faktor perubahan iklim menyebabkan penyerbukan dan pembentukan bunga lebih cepat. ”Januari-Februari 2009 sudah muncul. Biasanya April,” kata dia. Akibatnya, pertumbuhan batang terhenti. Ditambah lagi, turun hujan berkepanjangan pada awal musim giling 2009, yang membikin angkutan tebu dari kebun ke pabrik tersendat.

Kini yang terjadi sebaliknya. Petani ramai-ramai menanam tebu. Menurut Arum, tidak sedikit petani padi, jagung, atau kedelai yang berpaling ke tebu. Ia memperkirakan peningkatannya sekitar 10 persen. Dinas Pertanian Kabupaten Kediri, misalnya, mencatat area tebu di daerahnya meningkat dari 18 ribu menjadi 21 ribu hektare.

Artinya, tahun depan pasokan tebu akan membanjir. Hal ini berpotensi menjadi persoalan lagi nanti. Arum cemas, bila pabrik gula pelat merah tidak digenjot proses revitalisasinya, kapasitas terpasang tak akan menampung tebu yang berlimpah. Gambaran antrean truk dan lori pengangkut tebu sudah terbayang.

Persoalannya, tebu yang telah ditebang tidak bisa menunggu lebih dari 24 jam untuk digiling. Ada dampak yang berentetan bila tebu menunggu terlalu lama. Misalnya, terjadi penyusutan berat. Rendemen alias kadar gula dalam tebu juga turun. Padahal rendemen penting sebagai faktor penentu kualitas gula.

Menurut Arum, pabrik mesti sejak dini mengatur pola tanam dan tebang angkut, disesuaikan dengan kapasitas terpasang. ”Kalau ternyata ladang yang ditanami tebu melampaui kapasitas terpasang, harus disetop juga.” Sebab, bila berlebihan akan berbahaya. ”Bisa menimbulkan konflik.”

Bayu menjamin, kapasitas pabrik gula yang ada masih mencukupi. ”Masih lebih malah.” Pemerintah sudah membayangkan, produksi gula nasional tahun depan akan terdongkrak. Bayu optimistis produksi bisa tembus 3 juta ton.

Tapi produksi melimpah tahun depan malah membuat Muksin deg-degan. Petani palawija di Kediri yang berpaling ke tebu ini mengutak-utik hitungan biaya produksi: untuk sewa lahan, biaya tanam, pembelian bibit, pemupukan, hingga ongkos tenaga pemanen. Ia khawatir, ketika ia pindah ke tebu, justru harganya ambrol karena produksi membeludak.

Retno Sulistyowati, Hari Tri Wasono (Kediri), Viva Kusnandar (PDAT)


Fluktuasi Harga Gula (2008)*

11,82
(5 Jan)

13,90
(26 Mar)

18,65
(16 Jul)

23,71
(13 Agt)

25,39
(30 Sep)

25,39
(30 Sep)

*sen US$/pound

Harga Rata-rata Gula Domestik
(Desember, Rp/kg)

DKI Jakarta 9.478
Surabaya 9.156
Banda Aceh 10.722
Padang 9.911
Palembang 9.278
Denpasar 9.333
Kupang 10.000
Gorontalo 10.944
Pontianak 9.578
Samarinda 10.000
Manado 8.775
Makassar 9.000
Kendari 10.000
Jayapura 10.500
Ternate 11.000

  • Rata-rata Pulau Jawa: 9.291
  • Rata-rata Luar Jawa: 9.801
  • Rata-rata Nasional: 9.708

    SUMBER: DEPARTEMEN PERDAGANGAN

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus